Katakepo.blogspot.com - Barcelona adalah sebuah sistem utuh yang memiliki pakem dan filosofi
yang jelas. Barcelona yang sedang kita saksikan saat ini adalah
Barcelona milik Johan Cruyff dan rasanya masih akan terus begitu dalam
beberapa waktu ke depan. Semua yang kita saksikan sekarang dari
Barcelona ini adalah penerapan dari sistem total football yang terkenal
itu dan Johan Cruyff (bersama Louis van Gaal) adalah filsuf yang
mengajarkan itu ke Barcelona.
Ketika Tito Vilanova harus
mengundurkan diri (semoga hanya untuk sementara waktu) dari hiruk pikuk
sepak bola, pencarian kandidat pelatih Barcelona sebenarnya hanya
dibatasi oleh satu aturan: siapaapun ia, haruslah menganut filosofi
dasar sepak bola yang sejalan dengan Barcelona. Untuk itu, pilihan
sebetulnya tidak cukup banyak. Lalu ketika pilihan petinggi Barcelona
jatuh pada seorang Gerardo ‘Tata’ Martino, para pengamat seperti
Jonathan Wilson dan Daniel Colasimone, masing-masing dalam kolomnya di
The Guardian dan Bleacher Report, mengatakan bahwa pilihan ini sama
sekali tidak mengherankan.
Sebagai latar belakang, Tata Martino,
sebagaimana halnya Josep Guardiola dan Mauricio Pochettino, adalah
murid Marcelo Bielsa. Martino dan Pochettino pernah bermain di bawah
arahan Bielsa di Newell’s Old Boys pada dasawarsa 1990-an, sementara
orang pertama yang dimintai nasihat soal bagaimana melatih Barcelona
oleh Pep Guardiola adalah Marcelo Bielsa.
Bielsa memang tidak
pernah secara langsung terlibat dengan Barcelona, akan tetapi, dua
entitas ini menganut paham yang sama. Bielsa adalah seorang master dalam
bermain sepak bola proaktif. Tim yang diasuh Bielsa sebisa mungkin
harus berinisiatif lebih dulu menguasai bola. Apabila bola lepas dari
penguasaan timnya, pressing ketat langsung diberlakukan kepada lawan.
Selain itu, ‘El Loco’ Bielsa selalu menuntut anak asuhnya untuk bisa
bermain di lebih dari satu posisi. Semuanya harus cair dan dinamis.
Familiar? Tentu saja, karena itulah cara bermain Barcelona yang biasa kita saksikan di layar kaca.
Tata
Martino mungkin tidak akan senekat Bielsa atau bertele-tele seperti
Guardiola. Menurut Daniel Colasimone, Martino lebih mirip dengan Tito
Vilanova yang cenderung lebih direct dibanding Guardiola. Martino juga
merupakan tipe pelatih yang mau berkompromi dengan dirinya sendiri.
Meskipun ia memilki filosofi yang kuat, ia bisa saja bertindak pragmatis.
Pragmatisme
Martino ini bisa disaksikan di tim Paraguay yang diasuhnya pada Piala
Dunia 2010 dan Copa America 2011. Martino sadar betul bahwa materi
pemain Paraguay hanya berkelas rata-rata. Maka dari itu, mau tak mau, ia
meninggalkan idealisme ball retention-nya dan menggantinya dengan shape
retention.
Paraguay memang jadi tim yang sangat tidak enak
untuk dilihat, tetapi mereka adalah finalis Copa America dan Martino lah
yang layak untuk menepuk dada.
Rasanya tidak akan banyak yang
diubah Martino dari Barcelona. Penyebabnya jelas. Bagaimana cara
mengubah cara bermain tim yang pakem dan filosofinya sudah ditanamkan
sejak para pemainnya masih kanak-kanak? Cara bermain Barcelona sudah
mendarah daging dan mengubah itu semua berarti mengkhianati filosofi
tim.
Martino akan tetap menggunakan pola 4-3-3 yang
sewaktu-waktu bisa berubah menjadfi 3-4-3 atau 3-3-4, khususnya dalam
situasi menyerang. Hal ini sudah jamak kita temui di Barcelona baik pada
era Guardiola maupun Vilanova. Dalam perubahan formasi itu, Sergio
Busquets yang secara normal menempati posisi gelandang bertahan akan
beralih fungsi menjadi seorang centre-half.
Posisi centre-half
ini, seperti dijelaskan Michael Cox dalam glosarium situs
ZonalMarking.net, merupakan posisi hybrid antara gelandang bertahan dan
bek tengah. Centre-half yang dimaksud di sini bukan merupakan bek tengah
seperti yang jamak dikenal oleh orang-orang Inggris. Centre-half yang
akan diperankan Busquets ini mirip dengan peran yang dilakoni Carsten
Ramelow di Bayer Leverkusen beberapa tahun silam.
Kemudian,
ketika Busquets sedang melakoni peran unik ini, duo full-back Barcelona,
Daniel Alves dan Jordi Alba/Adriano, akan merangsek naik ke lini tengah
dan berubah fungsi menjadi wing-back. Dalam kasus ekstrem, seperti
ketika menghadapi Santos di final Piala Dunia Antarklub 2011, Alves
bahkan bisa berperan sebagai winger kanan ekstra.
Di lini tengah
dan depan, cara bermain tidak akan berubah banyak. Selain itu,
kedalaman materi yang dimiliki Barcelona di dua lini ini akan memudahkan
Martino untuk merotasi pemain-pemainnya. Jika ada yang berubah,
paling-paling hanya instruksi Martino untuk membawa bola lebih cepat ke
depan dan sedikit mengurangi tiki-taka yang bagi sebagian orang,
membosankan itu.
Meskipun terlihat sempurna, sejatinya Barcelona
masih menyimpan kelemahan yang sama dari tahun ke tahun. Pertama, lini
belakang mereka sangat rapuh terutama dalam situasi serangan balik.
Sudah tidak terhitung berapa gol yang bersarang di gawang Barcelona
akibat kelemahan ini. Kedua, soal physicality alias kekuatan. Jika Anda
menyaksikan bagaimana Barcelona dihabisi Bayern Muenchen di Liga
Champions musim lalu, akan kentara betul bagaimana Barcelona tidak mampu
berbuat banyak melawan tim yang punya skill seimbang, namun memiliki
kekuatan fisik yang lebih baik.
Dua problem ini sebetulnya sudah
disadari betul oleh pihak Barcelona. Hingga saat ini, mereka masih
terus mencari seorang bek tengah handal untuk menggantikan Carles Puyol
yang menua dan kian rentan cedera.
Nama-nama macam David Luiz,
Laurent Koscielny, hingga Daniel Agger acapkali disebut-sebut sebagai
kandidat, namun realisasinya belum nampak sama sekali.
Kemudian,
soal kekuatan fisik itu sebetulnya sudah ingin diselesaikan Barcelona
lewat kedatangan Alex Song. Namun, sampai saat ini, Alex Song masih
lebih sering terlihat seperti pemain yang tersesat dan tidak mampu
menyesuaikan diri dengan filosofi permainan Barcelona.
Pada
akhirnya, Barcelona tidak akan mengalami banyak perubahan di bawah
komando Tata Martino. Barcelona masih akan bertahan dengan cara bermain
yang sama, memiliki kekuatan serta kelemahan yang sama, dan masih akan
selalu menjadi Barcelona yang disegani, baik di Spanyol maupun Eropa.
No comments:
Post a Comment