Katakepo.blogspot.com - Kini, banyak cara menarik untuk bisa mengenal sejarah bangsa sendiri.
Wisata sejarah pun telah dikemas dengan cara-cara yang menarik dan
menyenangkan. Salah satunya adalah yang akan saya ikuti, Plesiran Tempo
Doeloe di kawasan Kota Tua.
Saat itu jam 09.00 pagi. Seharusnya
matahari sudah meninggi. Tapi awan mendung masih setia memayungi Jakarta
di Sabtu pagi. Hari itu saya harus mengikuti sebuah perjalanan wisata
di Kota Tua dengan rekan-rekan media dan rekan-rekan dari Tauzia Hotel
Management.
Jalan yang belum begitu ramai membuat saya sampai
lebih awal di sana. Tapi ternyata saya bukan orang pertama yang datang.
Sudah ada beberapa orang yang berkumpul di dekat bus yang diparkir di
bahu Jalan Gatot Subroto. Sambil menunggu rombongan lengkap, kami pun
mengisi perut dengan makanan yang telah disediakan oleh penyelenggara.
Hari
ini kami akan mengikuti Plesiran Tempo Doeloe yang diadakan oleh Tauzia
bekerja sama dengan Museum Ceria. Kami akan berpelesir di kawasan Kota
Tua, Jakarta. Ketika saya bertanya tempat mana yang akan dituju, pihak
penyelenggara merahasiakannya karena mereka sudah merancang permainan
sedemikian rupa agar pelesiran kali ini berbeda dengan pelesiran
lainnya. Saya pun semakin dibuat penasaran.
Pukul 09.30, kami berangkat menuju Kota Tua. Perjalanan agak tersendat
di kawasan Glodok karena kondisi lalu lintas yang padat. Maklumlah,
sebagai destinasi wisata, Kota Tua memang banyak dikunjungi masyarakat.
Sesampainya
di Kota Tua pukul 10.30, kami langsung menuju ke Museum Bank Mandiri.
Di sana kami diberi arahan tentang cara bemain dalam wisata kali ini.
Pemandu mengarahkan kami untuk berpikir bahwa sekarang kami sedang
berada di Zaman Belanda, bukan tahun 2013, dan sebagai wartawan dari
Javasche Courant yang harus membantu seorang saudagar kaya, Tuan Kian
Guan Coy, menyelesaikan perkerjaannya.
Kami diarahkan untuk mengunjungi 3 museum di kawasan Kota Tua. Untuk
bisa mengetahui museum mana yang harus kami tuju, kami akan diberikan
petunjuk di tiap pos permainan yang telah dibuat. Tapi, tiap petunjuk
benar-benar mengharuskan kami berpikir sedang berada di Zaman Belanda,
karena semua nama museum atau tempat yang terdapat dalam petunjuk adalah
nama asli ketika bangunan-bangunan tersebut. Sungguh mengasyikkan. Dan
permainan pun di mulai.
Museum Bank Mandiri
Permainan dimulai di Museum
Bank Mandiri. Kami harus menyelesaikan tantangan di pos ini dengan
mencari dua saham perkebunan yang ada di ruang bawah tanah karena Tuan
Kian Guan Coy akan membeli saham perusahaan perkebunan. Selain bermain,
kami juga mendapat informasi-tentang museum ini dari petunjuk yang kami
dapat.
Tenyata Museum Bank Mandiri menempati gedung Nederlandsche
Handel-Maatschappij (NHM) atau yang dikenal juga dengan nama Factorij
Batavia. NHM merupakan perusahaan dagang Belanda yang kemudian menjadi
perusahaan perbankan.
Gedung bergaya Art Deco Klasik ini dibangun tahun 1929 dan mulai
beroperasi tahun 1933. Pada tahun 1960 NHM dinasionalisasikan menjadi
Bank Koperasi Tani dan Nelayan urusan Ekspor Impor (BKTN). Kemudian,
BKTN berubah menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Exim) dengan
gedung tersebut menjadi kantor pusatnya.
Tahun 1998 setelah Bank
Exim dimerger menjadi Bank Mandiri, gedung dialihfungsikan menjadi
museum. Sampai saat ini, eksterior dan interior gedung tetap
dipertahankan seperti aslinya.
Museum Wayang, Dulunya Gudang
Setelah
menyelesaikan permainan pertama, kami melanjutkan ke tantangan kedua.
Petunjuk mengatakan bahwa kami harus mengunjung gudang perusahaan
perkebunan Geo Wehry & Co dan menemui Tuan Kian Guan Coy. Wah, kami
pun kebingungan. Untungnya dalam petunjuk yang diberikan kami boleh
mencarinya di internet.
Ternyata tempat yang dulunya merupakan gudang perusahaan perkebunan
adalah Museum Wayang. Tapi sejarah tidak berhenti sampai situ saja.
Sebelum Geo Wehry & Co membeli tanah di tempat itu dan mendirikan
gudang perkebunan, tanah tempat berdirinya Museum Wayang merupakan bekas
bangunan Gereja de Oude Hollandse Kerk dan Niewe Hollandse Kerk yang
telah hancur akibat gempa. Di halaman gereja terdapat pemakaman yang
merupakan tempat JP Coen dan beberapa gubernur jenderal lainnya.
Menuju Toko Merah
Setelah mengunjungi Museum
Wayang, kami diberi petunjuk untuk mengunjungi Toko Merah dengan
menggunakan sepeda onthel. Kami pun bergegas menggayuh sepeda pergi ke
Toko Merah yang berada di tepi Kali Besar. Untungnya awan mendung masih
setia memayungi Jakarta sehingga terhindar dari terik matahari yang
menyengat. Tapi, tetap saja udara masih terasa panas.
Sesampainya di Toko Merah, kami ternyata harus makan siang. Ternyata,
pihak penyelenggara memasukkan makan siang ke dalam runtutan permainan.
Sungguh di luar perkiraan. Kami bisa bersenang-senang, belajar, dan
tentunya perut kenyang.
Dulu, Toko Merah pernah menjadi tempat
tinggal beberapa Gubernur Jenderal VOC, kemudian beralih fungsi menjadi
hotel. Tahun 1850-an seorang Kapiten Cina, Oey Liauw Kong membeli
bangunan ini. ia mengecat eksterior dan interior bangunan dengan warna
merah, menjadikannya rumah tinggal dan toko. Sejak saat itu bangunan ini
terkenal dengan nama toko merah.
Akhir Plesiran Tempo Doeloe
Selesai makan di
Toko Merah kami harus kembali ke kawasan Kota Tua. Setelah menerima
petunjuk terakhir Museum Seni dan Keramik, kami harus menuju tempat
terakhir sebagai titik berakhirnya permainan ini. Museum Seni adan
Keramik menempati gedung bekas Raad van Justitie (Dewan Pengadilan).
Garis
Finish pun berakhir di Café Batavia. Bangunan berlantai dua dengan
banyak jendela besar itu dulunya merupakan gudang perusahaan
perdagangan. Kini bangunan tersebut dijadikan kafe.
Saya beruntung mengikuti wisata kali ini. melalui Plesiran Tempo Doeloe,
saya bisa mengetahui sebagian sejarah dari Kota Jakarta. Pelesiran kali
ini benar-benar membuat saya merasa seperti hidup di Zaman Belanda.
Tauzia dan Museum Ceria telah mengemasnya dengan baik.
Kini
wisata sejarah tidak lagi membosankan. Mereka, para pecinta sejarah,
telah mengemas wisata dengan cara-cara yang menarik dan menyenangkan.
Semua itu dilakukan agar kita bisa mencintai sejarah juga seperti mereka
dan terus menjaga warisan sejarah yang tak ternilai harganya.
No comments:
Post a Comment