Katakepo.blogspot.com - Jika Anda melewati jalur pantura, sejak Cikampek hingga Surabaya, maka
sepanjang jalan Anda akan menyaksikan warna-warni baliho dan spanduk
calon anggota legislatif, dengan beragam ukuran dan beragam posisi.
Tentu saja ajang promosi diri menjelang Pemilu 2014 itu merusak
pemandangan dan mengganggu perjalanan.
Tetapi siapa mau
menertibkan? Jangan harap pada petugas pemda. Selain kurang tenaga,
pemda justru diuntungkan oleh maraknya baliho: pendapatan reklame naik.
Belum lagi, penguasa pemda adalah orang-orang politik, yang tentu saja
tidak mau mencari masalah dengan koleganya yang memasang baliho dan
spanduk sembarangan.
Mengapa tidak memberdayakan pengawas pemilu
yang memang tidak banyak kerjaan? Pada pemilu sebelumnya, pengawas
pemilu di kecamatan yang berjumlah tiga orang dan seorang pengawas
lapangan di desa/kelurahan, memang aktif melakukan pembersihan terhadap
alat-alat peraga kampanye yang dipasangan sembarangan.
Namun
kini, mereka merasa itu bukan tugasnya. Mereka menunjuk pegawai pemda
sebagai pihak yang harus bertanggung jawab. "Tugas kami hanya mengawasi
dan menunjukkan adanya pelanggaran pemasangan," begitu kira-kira dalih
mereka. Padahal kalau mereka mau memanfaatkan waktu luangya, bisa
mendapat "pahala".
Oleh karena itu, hadirnya PKPU No 15/2013
diragukan dapat mengatasi kesemrawutan pemasangan alat peraga kampanye,
khususnya baliho dan spanduk. Alih-alih bisa menggerakkan petugas pemda
dan pengawas pemilu untuk melakukan penertiban dan pembersihan, lahirnya
peraturan tersebut sudah dipersoalkan.
Partai politik dan calon
anggota legislatif merasa dirugikan, karena peraturan itu membatasi
ruang gerak mereka dalam berkampanye. Padahal baliho dan spanduk efektif
untuk memperkenalkan diri ke pemilih. Bagaimana bisa meyakinkan pemilih
jika mereka tidak tahu siapa calon yang akan mereka pilih? Begitu
dalihnya.
Peraturan ini memang memperketat pemasangan alat peraga
kampanye, seperti baliho dan spanduk. Partai politik hanya boleh
memasang satu baliho di setiap desa/kelurahan. Baliho pun hanya berisi
gambar dan nomor, visi misi dan program. Gambar caleg tidak boleh
nongol. Sedang caleg hanya boleh memajang gambar dan pesannya berdasar
zona. Misalnya, zona caleg DPR ditentukan berdasar kabupaten/kota, zona
caleg DPRD provinsi berdasar kecamatan, dan zona caleg DPRD berdasar
desa/kelurahan.
Jika hal itu benar-benar bisa diterapkan, maka
baliho dan spanduk yang mengganggu pemandangan, akan hilang atau
setidaknya berkurang dari ruang publik. Masalahnya, ya itu tadi,
efektivitas penerapan peraturan ini di lapangan, diragukan.
Pertama,
sanksi terhadap partai dan caleg yang melanggar hanya berupa teguran
lisan dan tertulis, sehingga mereka tidak akan kapok. Apalagi kebanyakan
caleg percaya pemasangan baliho dan spanduk efektif mempengaruhi
pemilih. Setidaknya inilah jalan pintas untuk menemui pemilih, jika
badan dan jiwa masih banyak urusan di tempat lain.
Kedua, jika
tetap melanggar siapa yang harus membersihkan dan menertibkan baliho dan
spanduk yang dipasang sembarangan tadi, karena pengawas pemilu merasa
bukan urusannya, sementara petugas pemda merasa ada banyak pekerjaan
lain yang harus diselesaikan. Jadi, masyarakat harus sabar melihat dan
berada dalam ruang publik yang semrawut oleh alat peraga kampanye.
Tunggu sampai pemilu selesai.
Tidak mudah memang mengurus partai
politik dan caleg yang orang-orangnya cenderung mau enaknya sendiri.
Mereka maunya mengatur orang lain, sedang dirinya sendiri tidak mau
diatur. Barangkali seperti itu mereka memaknai pengertian legislator.
No comments:
Post a Comment