Katakepo.blogspot.com - Kemarin, Indonesia merayakan Hari Oeang. Ini sebagai peringatan
lahirnya mata uang Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah di bumi
Indonesia. Rupiah, yang secara resmi baru ditetapkan sebagai mata uang
sah empat tahun setelah kemerdekaan, juga sebagai tanda kedaulatan
bangsa Indonesia.
Namun ternyata, selama 68 tahun semenjak Indonesia merdeka,
keberadaan Rupiah belum jadi pilihan utama masyarakat Indonesia.
Khususnya untuk masyarakat di perbatasan. Mereka lebih memilih mata uang
negara tetangga dalam bertransaksi sehari-hari.
Kondisi inilah yang membuat prihatin Menteri Keuangan Chatib Basri.
Menkeu pun mengkritik Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas yang
bertanggung jawab terhadap peredaran Rupiah ini.
"Karena distribusi Rupiah sebagai mata uang RI belum merata," ujarnya
ketika memimpin upacara peringatan Hari Oeang Indonesia di Kementerian
Keuangan, Jakarta.
Pihak BI melalui Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas
sempat mengungkap bahwa masifnya peredaran mata uang asing di
perbatasan dikarenakan faktor pembayaran gaji masyarakat. Pasalnya,
masyarakat perbatasan lebih mudah mendapat kerja di negeri tetangga
dibandingkan di Indonesia.
"Uang rupiah yang beredar di perbatasan kurang dari 50 persen,"
tuturnya saat ditemui di acara kerjasama BI dengan TNI di Mabes TNI,
Cilangkap.
Menurutnya, Peso dan Ringgit menjadi mata uang yang paling banyak
beredar di daerah perbatasan. Ronald menegaskan daerah terpencil yang
menjadi sasaran distribusi uang di antaranya adalah Natuna, Nias, Maluku
dan Papua. Bank Indonesia menargetkan dalam 5 tahun peredaran uang
rupiah bisa menjangkau semuanya.
Ronald menekankan pentingnya peredaran Rupiah ini. Sebab, berkaca
dari pengalaman pada 17 Desember 2002, Indonesia harus kehilangan dua
pulau yakni Sipandan dan Ligitan akibat masyarakat di sana lebih banyak
menggunakan Ringgit Malaysia.
"Itu pertimbangan Mahkamah Internasional kala itu," ucapnya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Lambok
Antonius mengungkapkan alasan masyarakat perbatasan lebih memilih mata
uang asing ialah karena alasan efisiensi. Nilai mata uang tetangga lebih
tinggi dibandingkan Rupiah. Maka dari itu dirinya mengingatkan
pentingnya kebijakan penyederhanaan nilai mata uang atau redenominasi.
"Kalau mau beli kan pakai Ringgit cuma bawa berapa lembar, kalau pakai Rupiah kan itu bawa berlembar-lembar," jelas Lambok.
Cerita WNI yang memilih menggunakan ringgit sebagai alat transaksi
sehari-hari memang cukup miris. Seolah tidak ada penghargaan dan
penghormatan terhadap rupiah. Namun, yang mengejutkan justru datang dari
Timor Leste. Negara yang belum lama merdeka setelah cukup lama menjadi
bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Jika di wilayah Indonesia, beberapa WNI menggunakan ringgit sebagai
alat transaksi keuangan, hal berbeda ditemui di Timor Leste. BI
mendapati mata uang rupiah justru masih kerap digunakan oleh masyarakat
di Timor Leste untuk transaksi sehari-hari. Padahal, Timor Leste telah
lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak 2002 silam.
Selain rupiah, Timor Leste juga menggunakan mata uang dolar AS.
Demikian diungkapkan oleh Ronald Waas.
"Ada beberapa tempat punya keunikan sendiri. Di Timor Leste, rupiah
kita masih digunakan untuk bertransaksi di sana," ujar Ronald.
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo,
menjelaskan pihaknya berjanji mengupayakan berbagai program agar di
masa depan Rupiah bisa digunakan sepenuhnya di seluruh wilayah RI.
"Kami mendorong penggunaan rupiah ditingkatkan khususnya di sistem pembayaran," ungkapnya.
No comments:
Post a Comment