Katakepo.blogspot.com - Tak dapat dimungkiri, perubahan lebih mudah diucapkan daripada
dilakukan. Dari ketika dijalankan, Anda bukan hanya berhadapan dengan
kaum resisten, melainkan juga mereka yang bakal kalah pamor.
Ya, kalau Anda gigih dan berhasil menaklukkan resistensi, maka
akan ada kelompok-kelompok lain yang menjadi terlihat “tidak bekerja”,
“asal bunyi”, atau “provokator”. Seperti kata George Carlin, mereka
menggenggam ayat yang bunyinya begini, “Jika engkau tak bisa
menaklukkannya, buatlah orang lain membencinya.” Mereka berkampanye agar
tidak percaya pada apa yang mereka lihat.
Jadi inti dari perubahan sebenarnya: Mendapatkan kepercayaan.
Obat resistensi itu, pertama-tama, adalah kepercayaan. Jujur dan berani
adalah satu hal. Tetapi, ini tidak cukup bila pemimpin gagal memberikan hope
melalui kemenangan-kemenangan kecil pada tahun pertamanya. Diperlukan
pendekatan khusus untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab, provokator juga
hanya "mati" di tangan mereka yang sangat dipercaya publik.
Mengubah resistensi itu sendiri ibarat membuka hati manusia yang
terluka. Kita tak bisa “menjebol batin” mereka yang terluka untuk
membersihkan nanah-nanahnya, kecuali mereka mengizinkannya. Nah, "minta
izin membuka hati" ini ada caranya: terlalu lembut tidak tembus,
kekerasan hanya membuat mereka jatuh ke tangan para penyamun.
Demikian juga dalam merespons para penyamun yang menghalangi perubahan, selalu ada psikologinya. Nan S Russel, dalam Psychology Today
(2012), memberikan tipsnya: tetap respek, hindari komunikasi membalas
dengan menyalahkan, sadar diri, jauhkan arogansi, jaga kehormatan dan go beyond yourself (utamakan kontribusi pada publik).
Diplomasi makan malam
Jauh
sebelum Jokowi memimpin Jakarta, saya pernah diberitahu pendekatan yang
digunakan masyarakat Tionghoa dalam mengatasi berbagai masalah. Semua
urusan bisa diselesaikan di meja makan. Dan kalau perut sudah disentuh,
hati manusia akan adem. Tetapi, di Tokyo, ternyata juga sama. Bahkan,
pekerja-pekerja Jepang hingga larut malam masih menjinjing tas kerja dan
jas hitamnya bersama atasan mereka di bar-bar di sepanjang daerah Ginza
atau Shinjuku. Dalam ocehan yang terucap, mereka mengatakan, “Kita
menanggung sama-sama.”
Saat diserang calo tanah dan warga yang tak mau pindah ke rumah
susun yang telah disediakan (dari area waduk Ria-Rio), kita membaca,
Jokowi ternyata juga melakukan cara yang sama. Prosesnya begitu cepat.
Bahkan jauh lebih cepat dari yang ia lakukan di Solo saat memindahkan
PKL dari tengah kota.
“Saat itu saya ajak PKL makan siang dan makan malam 54 kali,”
ujarnya. “Setelah itu baru saya sampaikan bahwa mereka akan dipindah.
Dan mereka diam semua. Saya katakan, kalau begitu setuju ya... dan
mereka menjawab, 'Iya, Pak...'."
Ia memberikan refleksinya sebagai berikut:
Pertama, PKL adalah businessman, sama seperti yang lainnya. Mereka itu pasti berhitung untung ruginya.
Kedua, pada awalnya, setiap diundang makan malam ke Balaikota
mereka tahu bahwa mereka akan digusur, karena itulah mereka datang
dengan LSM dan advokat-advokat. "Karena itu, saya tak bicara apa-apa,
saya hanya mengajak mereka makan malam meski mereka kecewa tak ada
omong-omong," ujarnya.
Ketiga, mereka khawatir, di lokasi baru bisnis mereka akan rugi atau diperlakukan tidak adil.
Di Jakarta, saat menghadapi warga-warga yang tinggal di bawah
waduk Ria Rio, Jokowi mengatakan, “Saya tak ingin berhadap-hadapan
dengan rakyat, rakyat tak boleh ditindas.” Itu sebabnya, ia memilih
melayani mereka di meja makan, dan mereka pulang dengan enteng. Jokowi
benar, jika perubahan membutuhkan koalisi perubahan, maka berkoalisilah
dengan rakyat.
Diplomasi Sentuhan
Blusukan adalah satu hal, tetapi di balik branding Jokowi itu ada diplomasi sentuhan yang luput dari perhatian para elite. Jangan lupa setelah Gen C (connected generation), kita tengah menghadapi Gen T (touch generation).
Bila mesin saja baru terlihat smart kalau disentuh,
apalagi hati manusia. Rakyat yang selalu menjadi korban dalam perubahan,
merindukan pemimpin-pemimpin yang tak berjarak, yang bisa mereka
sentuh. Saya ingin menceritakan kejadian ini.
Suatu ketika Fadel Muhammad bercerita saat ia menemani kandidat
cagub DKI dari Partai Golkar yang datang ke sebuah masjid di daerah
Kwitang dengan kawalan voorijder. Pedagang di jalan harus minggir, dan cagub tersebut bertemu Habib sebentar, lalu pergi. Setelah itu datanglah cagub incumbent. Kali ini bukan hanya voorijder,
melainkan juga camat, lurah, dan hansip sehingga semua PKL tak bisa
berjualan. Jalan raya tiba-tiba berubah menjadi lengang dan benar-benar
bersih.
Lantas bagaimana saat Jokowi datang? Ia datang tanpa pengawal,
menyalami pedagang dan peziarah di sepanjang jalan sehingga agak lama
baru sampai di pelataran masjid. Peziarah terkesima karena Jokowi sama
seperti mereka, berpakaian seperti rakyat biasa, tak berjarak. Pemimpin
yang tak berjarak menyentuh tangan dan pundak rakyatnya, sedangkan
pemimpin yang berjarak justru menghindarinya. Bagi mereka, blusukan hanyalah pencitraan, bukan sentuhan hati. Padahal, di situ ada pertautan kepercayaan.
Jadi, kepercayaanlah dasar dari setiap karya perubahan. Dan,
pemimpin yang pandai akan memisahkan ilalang dari padi-padi yang harus
dipelihara agar menghasilkan buah. Inilah tugas penting para pembuat
perubahan di tengah-tengah low trust atau bahkan a distrust society.
Maka, daripada menjegal Jokowi, mengapa tidak bergabung saja dan salami dia sebagai role model. Kalau Anda cinta perubahan, orang-orang seperti ini justru harus diberi apresiasi. Seperti kata Jim Henson, "If you can not beat them, joint them."
No comments:
Post a Comment