Katakepo.blogspot.com - Melki Temanjang sudah putus asa. Mimpinya menjadi dokter memang
tercapai, namun cita-citanya meningkatkan kesehatan warga di kampung
halamannya, Timika, Papua, harus sirna.
Saya sudah 12 kali
mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Butuh kerja keras
setiap mengikuti ujian," kata Melki saat dihubungi merdeka.com
melalui telepon selulernya Jumat pekan lalu. Paling dekat saya harus
mengikuti di Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, Jawa Timur.
Lelaki
yang sembilan tahun kuliah kedokteran ini mengaku kesulitan untuk
mengikuti ujian itu. Buat sekadar mendaftar melalui Internet, dia harus
menempuh 75 kilometer untuk mendapatkan koneksi. Biaya dipersiapkan
sampai puluhan juta. Apalagi, keterbatasan transportasi dan cuaca
memaksa dia beberapa kali mengurungkan niatnya pergi ke Surabaya.
Melki
menjelaskan dia mesti naik pesawat dua kali buat sampai ke tanah Jawa.
Penerbangan dari Timika ke Jayapura menumpang pesawat merpati kecil
dengan dua baling-baling sekali jalan Rp 2,5 juta. "Lalu bayar ujian Rp
600 ribu. Kadang saya ikut bimbingan Rp 450 ribu dan penginapan sampai
Rp 1,5 juta. Itu belum termasuk biaya sehari-hari, keluhnya.
Mengikuti
UKDI sejak 2010 sampai saat ini, Melki bisa menghabiskan Rp 10 juta
tiap sekali mengikuti ujian di Surabaya. Padahal untuk menyiasati
kebutuhan hidup keluarganya, bapak satu anak itu pernah dua tahun
menjadi dokter bantu di Rumah Sakit Bergerak Mindiptana, Boven Digoel,
Papua, berbatasan langsung dengan Papua Nugini.
Dia memperoleh
bayaran saban tiga bulan. "Rumah sakitnya seperti kontainer dipasang
landasan berbentuk rumah, bangunan dibuat sendiri kerjakan oleh Dinas
kesehatan. Dokternya hanya dua, saya dan direktur rumah sakit," tutur
Melki.
Sekarang agak lebih baik. Hampir setahun terakhir, dia
bekerja di Rumah Sakit Yayasan Caritas, Timika, Papua. Karena belum
mempunyai Surat Tanda Register (STR), dia hanya bisa memberikan
konsultasi soal penyakit pasien. Awalnya, Melki dijanjikan kontrak
setelah tiga bulan pertama, namun rumah sakit malah menggantung
nasibnya. Memang disini gaji mencukupi tapi tanpa sertifikat kompetensi
nasib kerja saya juga terkatung-katung, katanya.
Melki menganggap
UKDI membunuh semangat dan cita-citanya untuk mengerek tingkat
kesehatan warga di kampung halamannya. Lantaran tidak bisa membuka
praktik, dia mencoba mendaftar menjadi pegawai negeri. Padahal,
fasilitas medis di tanah kelahirannya masih bisa dihitung dengan jari.
Sekarang
modal untuk mengikuti ujian saja harus mencari utang atau membuat
permohonan bantuan dana ke bupati atau dinas kesehatan dengan proses
lama," ujarnya. Jika menjadi dokter, saya hanya bisa menjadi penonton di
rumah sendiri."
No comments:
Post a Comment