Katakepo.blogspot.com - Gubernur Banten
Ratu Atut Chosiyah mungkin sedang harap-harap cemas menanti langkah KPK
yang akan segera memeriksa dirinya dalam kasus suap yang melibatkan
adiknya Tubagus Chaeri Wardana. Jika saja Atut lolos dari kasus ini, KPK
sebenarnya bisa mengusut Atut dalam kasus lain. Apa itu?
Ketua
Divisi dan Litbang Forum Pembela Kebenaran (Forpek) Nusantara Banten,
Dimas Kusuma mengungkapkan, pihaknya memiliki sejumlah data penyimpangan
anggaran yang dilakukan Gubernur Atut. Data itu dikumpulkan lembaganya
dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan laporan penggunaan
anggaran yang dirilis Pemprov Banten.
"Kami memiliki data
penyaluran hibah 2011 sebesar Rp 340 miliar dan tahun 2012 sebesar Rp
304 miliar. Ada indikasi penyalahgunaan hibah," kata Dimas saat ditemui
merdeka.com, di kantornya di Serang, Rabu (9/10).
Dimas
menjelaskan, yang paling mencolok adalah dana hibah untuk Forum
Tripartit, forum yang berisi pemerintah, pengusaha dan buruh yang biasa
bertemu membahas tuntutan kenaikan upah.
"Pada 2011 ada hibah sebesar Rp 4,5 miliar dan tahun 2012 ada hibah sebesar Rp 2,5 miliar," ujar Dimas.
Yang
menjadi permasalahan, Tripartit itu forum yang diketuai gubernur. "Ini
aneh, pengajuan penerima hibah itu kan diajukan gubernur, yang menerima
pengajuan itu gubernur, dan yang menyetujui gubernur juga. Jadi dia
sendiri yang memutuskan dan menerima dana itu," tutur Dimas.
Kemudian
untuk aliran dana bantuan sosial (bansos), Dimas mengungkapkan,
berdasarkan aturan Kementerian Dalam Negeri, ada empat kategori yang
boleh menerima. Pertama, instansi pemerintahan vertikal, kedua BUMD dan
BUMN, ketiga masyarakat dengan spesifikasi khusus misalnya yayasan
pendidikan, dan keempat adalah organisasi masyarakat.
Dari
catatan lembaganya, Dimas menemukan, bansos disalurkan ke Forum RW dan
Komite Sekolah. "Forum RW itu legal formalnya apa, demikian juga komite
sekolah. Forum Tripartit juga tidak bisa masuk kategori penerima hibah,"
cetusnya.
Sementara untuk proyek infrastruktur dan pengadaan
barang dan jasa, Dimas menilai, Gubernur Atut kelewat mahal menetapkan
satuan harga. "Harga yang ditetapkan terlalu tinggi. Rata-rata mark up
terlalu besar, sekitar 40-50 persen. Misalnya komputer harga Rp 7 juta,
ditambah pajak dan keuntungan, harusnya jadi Rp 8-9 juta. Ini malah jadi
Rp 14-15 juta. Dan pola-pola seperti itu banyak, tidak hanya dalam satu
proyek saja," pungkasnya.
Seperti diketahui, penyaluran bansos
tahun 2011 yang dilakukan menjelang pemilihan gubernur Banten. Pada APBD
2011, Atut mengeluarkan kebijakan melalui program bantuan hibah yang
jumlahnya sebesar Rp 340,463 miliar yang dibagikan kepada 221
lembaga/organisasi, serta program bantuan sosial sebesar Rp 51 miliar.
Nilai dana hibah itu jauh lebih besar dari tahun 2010 yang hanya
mencapai Rp 239,27 miliar dan tahun 2009 yang hanya Rp 14 miliar.
Sejumlah
kejanggalan yang mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi, yaitu
terdapat sejumlah nama lembaga/organisasi penerima dana yang diduga
fiktif dan nepotisme Gubernur Atut.
Antara lain adalah PMI
Provinsi Banten Rp 900 juta yang diketuai Ratu Tatu Chasanah, (adik
Atut), KNPI Provinsi Banten Rp 1,5 miliar yang diketuai oleh Aden Abdul
Khalik (adik ipar Atut), Himpaudi Rp 3,5 miliar yang diketuai oleh Ade
Rossi (menantu Atut), Tagana Provinsi Banten Rp 1,75 miliar yang
diketuai Andhika Hazrumi (anak Atut), GP Ansor Kota Tangerang (Rp 400
juta) yang diketuai Tanto W Arban (menantu Atut).
Kemudian ada
dana hibah untuk seluruh perhimpunan istri aparat penegak hukum di
Provinsi Banten serta tidak jelas nama organisasinya.
Bansos itu
juga disalurkan untuk membiayai 150 orang yang disebut 'tokoh' yang
menghabiskan biaya sebesar Rp 7,5 miliar. Padahal, dalam daftar penerima
bantuan dengan tegas disebutkan nama organisasi bukan nama kegiatan.
Kerugian
negara dalam kasus itu untuk bantuan hibah sebesar Rp 88,02 miliar dan
untuk dana bantuan sosial sebesar Rp 49,460 miliar.
No comments:
Post a Comment