Katakepo.blogspot.com - MENGUNJUNGI Gunung Kidul terasa hambar jika tak
menyantap masakan ala ”ndeso”. Sayur kembang gedang, olahan tunas bambu,
hingga oyok-oyok lembayung tidak hanya menjanjikan kelezatan, tetapi
juga menyuguhkan putaran kenangan masa silam.
Ibarat kenangan
indah yang tak ingin dilupakan, demikian rasa olahan masakan di warung
yang dikelola Hartono di Dusun Jeruk, Wonosari, Gunung Kidul, DI
Yogyakarta. Tak tanggung-tanggung, warung ini menyajikan lebih dari 30
macam sayur dan 20 macam lauk-pauk.
Hartono dan adiknya, Mbak
Sri, selalu menyambut pengunjung warung dengan ramah. Mereka segera
membukakan penghangat nasi yang masih mengepulkan uap panas. Nasi di
warung ini istimewa karena diliwet terlebih dulu di kompor sebelum
dicemplungkan ke wadah penghangat nasi.
Butuh waktu cukup lama
untuk menentukan pilihan menu makanan ketika sepiring nasi rojolele
sudah ada di tangan. Baskom-baskom besar yang dijajar di etalase berisi
sayur yang masih panas beruap menggoda untuk dicicipi satu per satu.
Pilihan kali ini akhirnya tetap jatuh pada sayur favorit, kembang
gedang.
Sayur yang dulunya hanya bisa disantap dari dapur
simbah-simbah di pedesaan itu kini telah tersaji di meja. Kuah santannya
yang bening kecoklatan mirip dengan sayur lodeh. Rasa gurih tumisan
bumbu kemiri, bawang merah, bawang putih, dan cabai berpadu dengan
racikan bunga pisang, daun labu, dan kacang polong.
Diolah dengan
cara yang hampir serupa dengan sayur kembang gedang, sayur klompong
dari batang talas tak kalah menggoda. Batang talas yang telah berubah
warna menjadi kecoklatan dan dipotong kecil-kecil terasa segar dan gurih
dalam kuah santan.
Santapan khas yang hanya bisa ditemui di
Gunung Kidul lainnya adalah sayur lombok ijo. Terdiri dari potongan
cabai hijau dan irisan tempe, sayur lombok ijo disajikan berteman nasi
merah dan daging empal sapi.
Tempe kedelai yang digunakan adalah
tempe tradisional buntelan yang dibungkus daun jati dan daun pisang.
”Kami punya resep rahasia sehingga rasa sayur lombok ijo ini istimewa,”
kata Hartono.
Beragam lauk-pauk yang disajikan juga dijamin membuat ketagihan. Selain
tempe kedelai, pengunjung bisa mencomot gorengan tempe gembus atau tempe
benguk. Ikan wader goreng tepung, gorengan ayam kampung, ataupun sate
telur puyuh sungguh sayang untuk dilewatkan.
Belalang goreng
Di
musim tertentu, pengunjung dimanjakan dengan sajian kuliner unik berupa
kudapan belalang goreng atau kepompong ulat daun jati. Saking banyaknya
peminat, baik belalang goreng maupun kepompong ulat daun jati, selalu
ludes terjual.
Belalang yang dikenal sebagai hama tanaman
pertanian justru diburu sebagai makanan favorit. Hartono biasanya
membeli bahan baku belalang dari hasil tangkapan petani di kebun-kebun
jati. Selain di warung Hartono, rentengan belalang yang masih hidup
banyak dijual di tepi jalan raya di Gunung Kidul.
Bagi mereka
yang tak terbiasa menyantap belalang harus sangat hati-hati karena
gejala alergi seperti gatal-gatal bisa muncul dengan cepat. Sebelum
digoreng, belalang sebaiknya direndam dalam bumbu lalu dibacem sehingga
muncul rasa manis dan gurih.
Tingginya permintaan belalang goreng
membuat harganya meroket tinggi, terutama pada musim libur ketika
wisatawan berdatangan dan para perantau pulang ke kampung halaman. Harga
satu stoples belalang berkisar Rp 30.000-Rp 40.000 dan bisa naik hingga
2-3 kali lipat pada saat Lebaran.
Sebelum populer sebagai
kudapan eksotis kaya protein, belalang dulunya hanya disantap oleh warga
miskin yang terbekap lapar dan menjadikan belalang sebagai lauk enak
yang dengan mudah ditangkap dari alam. Kini, harga belalang jauh lebih
mahal dibandingkan dengan harga daging ayam potong.
Jika helai
daun muda pohon jati mulai muncul selepas meranggas, kepompong ulat
menjadi menu kaya protein bagi warga. Ulat jati yang telah menjadi
kepompong merambat turun untuk bersembunyi di tanah dengan juluran
serupa tali temali.
Untuk memanen kepompong ulat jati, warga
harus memulai perburuan sebelum matahari terbit atau sebelum kepompong
bersembunyi di tanah. Kepompong ulat jati yang sudah dibumbui dan
digoreng bisa menjadi teman bersantap nasi nan gurih. Kepompong ini
terasa kriuk di bagian pembungkusnya dan lembut di dalam.
Berkah wisata
Kenangan
akan masakan ndeso dari era serba susah itu yang justru kini menjadi
andalan warung Hartono. Arus wisatawan yang makin deras berdatangan ke
Gunung Kidul semakin menambah tingginya minat terhadap masakan ala
pedesaan.
Setiap hari Hartono bisa menghabiskan setengah kuintal
beras. Ia pernah kewalahan ketika warungnya tiba-tiba diserbu wisatawan
yang datang menggunakan bus-bus besar. Selain pelanggan harian yang
didominansi ibu rumah tangga dan pegawai negeri sipil, Hartono mulai
menjalin kerja sama dengan biro-biro wisata.
Wisatawan dari Madura, Bandung, Ponorogo, dan Jakarta biasanya akan
mampir ke warung Hartono sebelum melanjutkan perjalanan ke pantai-pantai
nan indah di wilayah selatan Gunung Kidul. Destinasi wisata baru,
seperti Goa Pindul dan Gunung Api Purba Nglanggeran, juga menambah
semakin ramainya warung Hartono.
Seporsi makan kenyang di warung
ini dihargai cukup murah, yaitu sekitar Rp 15.000 untuk nasi dengan
sayur ndeso dan lauk ayam plus minum. Buka pukul 06.00 hingga pukul
16.00, sembilan pegawai terus-menerus mengolah aneka masakan, mulai dari
pukul 03.30 hingga sore hari.
Warung yang terletak berdekatan
dengan RSUD Wonosari ini juga menyajikan minuman andalan, yakni teh poci
dengan gula batu. Jika ingin mencicipi rasa minuman yang lebih
tradisional, cobalah jus daun salam, jus buah kesemek, ataupun jus
mengkudu. Olahan warung ndeso ini menambah deretan kenangan manis di
Gunung Kidul.... Ehm!
No comments:
Post a Comment