Katakepo.blogspot.com - SEORANG perempuan muda, dengan potret kemiskinan di wajahnya. Rambut
tipis dan kusam.Wajahnya adalah luka yang pedih, tak ada pancaran masa
depan di dua bola matanya. Dua tangannya disatukan borgol besi.
Tertunduk di bangku pesakitan, bersandal jepit hitam. Bibirnya tak henti
lantunkan doa dalam syair lirih yang tak bersuara.
”Yang Arif,
perempuan muda ini adalah korban perdagangan manusia. Dia berasal dari
daerah termiskin di Indonesia,” begitu kata sang pembela di ruang sidang
Mahkamah Kota Bharu, Klantan, Malaysia.
Perempuan muda itu
bernama Wilfrida Soik, asal Belu, Nusa Tenggara Timur. Gadis miskin
pencari batu, yang hanya sekolah sampai kelas lima sekolah dasar.
Dikirim ke Malaysia manakala Indonesia sedang menyatakan moratorium, tak
boleh ada pengiriman PRT ke Malaysia. Moratorium itu ditetapkan
pemerintah pada 29 Juni 2009. Pada Oktober 2010 Wilfrida diberangkatkan
ke Malaysia, usianya masih 17 tahun. Namun, dokumen resmi negara
menyatakan saat itu ia berusia 21 tahun. Wilfrida tidak sendiri, pada
bulan dan tahun yang sama, data membuka tabir. Tak kurang dari lima ribu
PRT baru asal Indonesia datang dan bekerja di Malaysia. Artinya, jalan
yang ditempuh bukan jalan resmi meski dokumen seolah resmi. Jalan itu
adalah jalur perdagangan manusia.
Bonus atau bencana?
Bonus
demografi adalah tingginya angkatan usia produktif. Kabarnya, 20 hingga
30 tahun ke depan Indonesia akan mengalami keuntungan dalam peta
ekonomi karena angka usia produktif yang besar. Jika sekarang satu orang
pada usia produktif menanggung lima puluh satu orang, tahun 2020 hanya
satu berbanding tiga puluh. Pertanyaannya sederhana, peta ekonomi yang
dimaksud adakah akan membuka jalan ekonomi mandiri bagi rakyat? Bukankah
para korban perdagangan manusia pun dipekerjakan, atau tepatnya dipaksa
kerja tanpa jaminan perlindungan hukum, ekonomi, dan sosial?
Hakikat
apa yang ada di balik peta ekonomi seperti ini yang katanya akan
memberi keuntungan karena bonus demografi? Jika demikian adanya, apa
yang dibanggakan dari bonus demografi tak lebih sebuah fatamorgana.
Seolah peta ekonomi yang diciptakan sistem ekonomi pasar adalah hal yang
menakjubkan. Teori-teori akademis dari para pakar dihadirkan seolah
memberikan harapan karena memberi kesan ilmiah. Membuai, tetapi
sesungguhnya menindas.
Apabila sistem yang dijalankan dan
dipertahankan di Indonesia adalah sistem yang berlaku pada masa
kolonial, saya lebih percaya pada apa yang dikatakan Soekarno dalam
Indonesia Menggugat tentang bonus demografi: ” …tambahnya jumlah jiwa
yang pesat ialah berkembang biaknya rakyat katulistiwa yang korat-karit
dan diperlakukan tidak semena-mena…. Lagi pula, tambahnya penduduk tidak
selamanya berarti kemakmuran, tambahnya penduduk tidak selamanya
berarti kesejahteraan umum....”
Pemikir globalisasi Thomas
Friedman mengatakan, di era globalisasi dunia kian rata. The world is
flat. Artinya, lalu lintas barang dan manusia berjalan tanpa hambatan.
Saya khawatir jalan tol globalisasi justru akan melahirkan
bencana-bencana kemanusiaan. Dalam konteks peradaban yang disebut zaman
globalisasi, komodifikasi perempuan dianggap hal yang lazim. Lahirnya
kemajuan teknologi dan perkembangan kehidupan modern justru melahirkan
persepsi yang miris bagi perempuan: komoditas yang bisa diperdagangkan
dan diperjualbelikan.
Tahun lalu PBB menyatakan Indonesia berada
pada posisi kedua di dunia sebagai negara tempat terjadi tragedi
perdagangan manusia. Indonesia dikenal sebagai negara pengirim, negara
transit, sekaligus penghasil perdagangan manusia. Sementara dari data
yang disampaikan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), Indonesia
menempati urutan pertama. Yang teridentifikasi, selama periode
2005-2012 sebanyak 4.668 korban perdagangan manusia berwarga negara
Indonesia. Data ini tidak menunjukkan realitas yang sesungguhnya.
Jumlahnya bisa berkali-kali lipat karena persoalan perdagangan manusia
ibarat gunung es. Tak terungkap seluruhnya ke permukaan.
Mayoritas
korban perdagangan manusia adalah perempuan (80 persen) dengan tingkat
pendidikan mayoritas SD (30,64 persen). Provinsi dengan jumlah korban
terbesar Jawa Barat 1.218 orang (26,9 persen), disusul Kalimantan Barat
(15,62 persen), Jawa Tengah (12,62 persen), Jawa Timur (11,85 persen),
NTB (6,11 persen), Sumatera Utara (5,85 persen), dan NTT (5,29 persen).
Penyebab korban terperangkap, paling utama karena masalah ekonomi (87,65
persen). Mereka mengalami ”kerja paksa” dengan berbagai kekerasan:
ekonomi, fisik, psikologis, hingga seksual, bahkan tak jarang berujung
penghilangan nyawa. Wilayah kerja dan profesi para korban mayoritas
sebagai PRT (56,99 persen), prostitusi (16,53 persen), nelayan (5,93
persen), perkebunan (5,15 persen), pelayan (2,38 persen), pabrik (2,22
persen), dan konstruksi (1,99 persen).
Negara yang menampung dan
mempekerjakan korban perdagangan manusia asal Indonesia adalah Malaysia
serta beberapa negara di Timteng dan ASEAN. Para korban dibawa melalui
titik embarkasi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Jakarta, Surabaya,
Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Para pelaku
perdagangan manusia internasional bekerja sama dengan pelaku di
Indonesia. Pelaku bisa calo atau broker, oknum di PJTKI, teman sendiri,
anggota keluarga, tetangga. Tentu mereka tak bekerja sendiri, perlu
”dokumen negara” untuk membawa korban, di dalam maupun ke luar negeri.
Dengan demikian, disinyalir ada keterlibatan oknum aparat pemerintah
dari level desa hingga pusat. Dalam beberapa kasus, terindikasi
keterlibatan oknum aparat keamanan.
Perangi perdagangan
Tulisan
ini sama sekali tidak untuk menyalahkan siapa pun. Tulisan ini sekadar
mengajak semua pihak terlibat dalam memerangi perdagangan manusia.
Wilfrida sedang menunggu vonis digantung hingga mati karena dakwaan
pembunuhan terhadap majikan, tanpa diungkap kekerasan terhadap dirinya
yang melatarbelakangi tindakannya. Biarlah proses hukum berjalan, tak
boleh intervensi. Tapi, tentu saja, jangan biarkan ia sendiri.
Pendampingan hukum dari pemerintah dan dukungan dari semua pihak di
Indonesia sangat berarti bagi Wilfrida. Di sisi lain, Wilfrida telah
membuka jalan bagi kita semua, khususnya pemerintah, untuk membongkar
sindikat perdagangan manusia. Tak cukup retorika, tak cukup UU. Butuh
kerja keras untuk menghadapi para pelaku. Beri sanksi berefek jera
kepada siapa pun pelakunya.
Tidakkah malu hati? Pertumbuhan
ekonomi yang digembar-gemborkan ternyata menghasilkan kemiskinan yang
menjadikan rakyat komoditas. Ini bukan cacian, ini data dan fakta.
Perdagangan manusia di Indonesia bukan rekaan belaka. Pilihannya, akhiri
gurita sindikat perdagangan manusia atau Wilfrida-Wilfrida lain akan
antre menuju tiang gantungan. Jelas, bukan peradaban seperti ini yang
kita impikan sebagai bangsa merdeka. Jelas, kita butuh sistem ekonomi
yang memberdayakan, bukan memperdaya rakyat!
Rieke Diah Pitaloka, Anggota Komisi IX DPR F-PDIP
No comments:
Post a Comment