Katakepo.blogspot.com - MATAHARI sudah condong jauh ke barat, tetapi udara
panas nan terik masih meruap di kawasan Pelabuhan Karangantu, Banten
Lama, Provinsi Banten. Walau demikian, hal itu tak menghentikan
kesibukan para nelayan menyiapkan jaring dan pancing. Sebagian lagi
memanfaatkan waktu untuk beristirahat, menyandarkan badan di dinding
perahu beratap terpal, menunggu datangnya malam.
Pelabuhan
Karangantu ini ternyata punya sepenggal cerita sejarah yang
membanggakan. Selain karena tak ada lagi jejak peninggalan yang bisa
dilihat langsung, pelabuhan itu kini benar-benar berubah jadi
perkampungan nelayan kumuh. Sampah berserakan di jalan-jalan dan lumpur
sungai yang sudah lama dikeruk, menumpuk di tepi dermaga.
Karangantu
kini menjadi bandar laut yang terlupakan. Padahal, dulunya adalah
pelabuhan kelas dunia. Pelabuhan ini pernah tercatat menjadi bagian
Jalur Sutra. Gubernur Belanda Jan Pieterzoon Coen—sebagaimana yang
diungkap dalam Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kota Banten Lama
oleh Uka Tjandrasasmita, Hasan M Ambary, dan Hawany Michrob—membuat
catatan soal enam perahu China yang membawa barang senilai 300.000 real
di Karangantu.
Dari buku yang sama, Tom Pires, pakar obat-obatan
dari Portugal yang berkelana di Asia Tenggara, bertandang ke Banten pada
tahun 1513. Pires menyebut, Karangantu merupakan pelabuhan kedua di
Kerajaan Sunda, setelah pelabuhan besar Sunda Kelapa di Jayakarta.
Bukti-bukti sejarah besar Karangantu tak hanya tercatat di buku.
Beberapa komoditas yang pernah diperjualbelikan di era kejayaan Banten
Lama bisa dilihat di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama.
Di
museum ini, tersimpan rapi beberapa benda seperti guci dan porselen dari
China, Jepang, dan Belanda. Pengamat sejarah Banten, Lukman Hakim,
mengatakan, Banten berkembang pesat jadi kota pelabuhan dan kota
perdagangan pada era Sultan Maulana Hasanudin.
Pada era
kepemimpinannya, pusat pemerintahan dipindahkan dari bagian hulu ke
hilir Sungai Cibanten dengan maksud memudahkan hubungan dagang dengan
pesisir Sumatera melalui Selat Sunda. Rupanya Banten pada masa itu sudah
pandai membaca situasi politik dan perdagangan di Asia Tenggara.
Saat
itu, pedagang dari mancanegara risau karena Malaka jatuh ke tangan
Portugis. Karena pedagang Muslim yang tengah bermusuhan dengan Portugis
enggan berhubungan dagang dengan Malaka, maka para pedagang yang berasal
dari Arab, Persia, dan Gujarat, mengalihkan jalur perdagangan ke Selat
Sunda. Mereka singgah di Karangantu.
Sejak itu, Karangantu jadi pusat perdagangan internasional yang
disinggahi pedagang Asia, Afrika, dan Eropa. Titik balik kehancuran
Banten Lama terjadi saat pecah perang saudara antara Sultan Haji dengan
ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Sejak itu, pengaruh kesultanan
Banten mulai pudar. Banten Lama semakin ditinggalkan setelah pusat
pemerintahan dipindah ke Serang. Pelabuhan Karangantu tak lagi dilirik
karena kondisi lingkungan akibat pengendapan lumpur tak memungkinkan
kapal singgah.
No comments:
Post a Comment