Katakepo.blogspot.com - Pada 31 Oktober dan 1 November nanti, buruh berencana melakukan mogok
besar-besaran menuntut kenaikan upah. Tak tanggung-tanggung, para buruh
ini menuntut kenaikan upah mencapai 50 persen pada tahun depan.
Hal ini didasari dengan besaran hidup laik yang sudah tidak sesuai
dengan upah saat ini. Buruh di Jabodetabek, sebagai contoh, meminta upah
mencapai Rp 3,7 juta atau naik Rp 1,5 juta dari UMP Rp 2,2 juta.
Ketua umum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Nining Elito
menilai kenaikan upah minimum bukan ditentukan kemampuan industri padat
karya tetapi ditentukan oleh biaya hidup laik. Selama ini, kenaikan upah
buruh tidak ada artinya lantaran belum memenuhi standar kebutuhan hidup
laik.
Kebutuhan hidup laik pekerja selama ini ditentukan oleh besaran
Kebutuhan Hidup Laik (KHL). KHL yang menjadi komponen penentu Upah
Minimum Provinsi (UMP).
UMP inilah sebetulnya yang menjadi batas minimal pemberian upah
pekerja. Baik dari tingkatan pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga
Perguruan Tinggi atau sarjana.
Idealnya, besaran upah buruh berbeda untuk tiap tingkat pendidikan. Lalu benarkah praktiknya seperti itu?
Seorang pegawai salah satu pabrik di Bekasi, Ridho (28 tahun),
mengungkapkan di tempatnya bekerja masih ada lulusan S1 yang diberi gaji
sesuai UMP. Pegawai administrasi perusahaan elektronik nasional ini
mengatakan bahwa hal itulah yang membuat pegawai di tempatnya bekerja
banyak yang keluar.
"Masa pegawai lulusan S1 dan lulusan SMA sama gajinya? Gak gitu dong," ujarnya saat dihubungi merdeka.com di Jakarta, Selasa (29/10) malam.
Diakui pria lulusan universitas swasta di Jakarta ini memang pada
awalnya perusahaan menjanjikan akan menaikkan besaran gaji setelah
setahun bekerja. Namun pada akhirnya janji kenaikan gaji tak juga
terealisasi.
"Ini terjadi tidak hanya di perusahaan saya saja. Saya dengar di
perusahaan lain juga. Kalau temen-temen menuntut kenaikan upah untuk
hidup layak ya kita dukung. Sekalian saja memang minta kenaikan besaran
hidup layak ini," tuturnya.
Sementara, Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi
Kadin mencoba melihat lebih dalam fenomena aksi unjuk rasa yang
dilakukan kaum buruh. Ekonom Didik Junaidi Rachbini menuding, buruh yang
suka demo tidak memperhitungkan kemampuan perusahaan. Bahkan, mereka
dinilai hobi demo untuk menutupi rendahnya kinerja.
Kenaikan upah menurutnya harus dibarengi dengan peningkatan
produktivitas. Jika buruh menginginkan kenaikan upah, maka dia
menyarankan agar buruh lebih dulu menunjukkan peningkatan
produktivitasnya.
"Buruh naikkan dululah keterampilannya, naikkan produksinya. Tuhan memberikan apa yang mereka hasilkan," jelasnya.
No comments:
Post a Comment