Katakepo.blogspot.com - Foto
itu menempel sendirian di dinding bercat kuning. Lusuh sudah
kecoklatan. Bergambar lelaki kurus keriput, berpeci hitam dengan mata
melotot. Seolah menatap saban tamu berkunjung ke rumahnya.
Dia
mengenakan jas putih membungkus kemeja hitam, serupa pakaian khas suku
Betawi. Tidak banyak yang mengenal siapa lelaki dalam foto itu. Namun
empunya rumah mengaku pria dalam bingkai berukuran 30R ini ialah Murtado
bergelar Macan Kemayoran. Seorang jawara kisahnya melegenda hingga saat
ini.
"Itu ayah saya, Murtado Macan Kemayoran," kata Muhammad Ikhwan, putra dari Siti, istri ke-15 Macan Kemayoran, saat ditemui merdeka.com
Jumat pekan lalu di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta
Pusat. Ikhwan lebih tersohor dengan sebutan Iwan Cepi Murtado. Dia
mantan prajurit dari kesatuan Banteng Raiders.
Jejak Macan
Kemayoran selama ini memang menjadi legenda rakyat. Kisah heroiknya di
zaman penjajahan Belanda membuat nama Murtado mencorong. Bahkan saking
terkenalnya, nama Macan Kemayoran digunakan untuk julukan Persatuan Sepak Bola Jakarta (Persija).
Murtado
lahir di Kemayoran pada 1869 dan meninggal saat ulang tahun kemerdekaan
ke-14 di Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ayahnya, mantan lurah
bernama Murtado Sanim, dan ibunya adalah Aminah.
Umumnya anak
Betawi zaman dulu, sejak kecil Murtado dikenal rajin mengaji dan belajar
ilmu agama. Dia berani dan jago bela diri. Murtado dikenal jago toya,
senjata biasa dipakai dalam kungfu china.
Gurunya banyak. Namun
Iwan Cepi Murtado cuma ingat dua nama guru ayahnya: Kong Bek Guru di
Sandang, Kemayoran, Jakarta Pusat, dan Guru Sandang asal Condet, Jakarta
Timur. "Saya sempat menemui Guru Sandang sebelum ayah saya meninggal,"
ujar Iwan Cepi Murtado.
Guru Sandang hidup hingga lebih dari
seabad. Dia sempat menemani Murtado dua pekan sebelum Macan Kemayoran
dipanggil Sang Khalik. "Ada ilmu harus diambil, saya nggak tahu ilmu
apa," tuturnya.
Cerita legendaris tentang Murtado memang betul
adanya. Namun ada sedikit kisah berbeda dari Iwan Cepi Murtado. Saat
Murtado berusia 20 tahun, dia berkelahi dengan Bek Lihun, orang
kepercayaan Belanda untuk menagih pajak di Kemayoran. Dulu pajak dikenal
sebagai upeti, sedangkan Bek adalah kepala kampung. Nama asli Bek Lihun
ialah Solihun.
Bek Lihun terkenal kejam. Meski orang asli Betawi
Kemayoran, namanya kesohor sebagai jawara paling ditakuti saat itu.
Jawara se-Jakarta kala itu tidak bisa menumbangkan dia. Bek Lihun makin
liar, dia dikenal tukang peras di tanah kelahirannya. Jika penduduk
menolak kasih upeti, Bek Lihun tak segan menguras harta mereka. Bahkan,
anak gadis juga bakal disita demi menakuti warga.
Nasib berkata
lain ketika Bek Lihun menggoda dan hendak memperkosa kembang desa.
Murtado turun tangan, dia berkelahi dengan Bek Lihun. Sejurus dua jurus,
Bek Lihun jatuh, dia terbirit-birit meninggalkan Murtado.
Sejak
saat itu Belanda mengganti Bek Lihun ke Murtado. Dia dipercaya menagih
pajak hasil bumi di Kemayoran. Murtado malah berkhianat. Dia mengambil
upeti itu untuk dibagikan kepada warga Kemayoran.
No comments:
Post a Comment