Katakepo.blogspot.com - Kita boleh saja jengkel, benci, marah, bahkan antipati terhadap
partai politik. Tetapi apa boleh buat, praktik demokrasi selalu
membutuhkan partai politik. Padahal kita terlanjur percaya, demokrasilah
yang dapat menunjukkan jalan kebaikan bersama dalam negara-bangsa ke
depan.
Demokrasi memang bukan satu tatanan sempurna untuk
mengatur peri kehidupan manusia. Namun sejarah di mana pun membuktikan,
bahwa demokrasi sebagai model kehidupan bersama memiliki peluang paling
kecil dalam menistakan kemanusiaan.
Akan tetapi dalam konteks
keindonesiaan kini dan nanti, kita menghadapi problem pelik dalam
mengembangkan demokrasi. Ya, itu tadi: partai politik kita bermasalah;
sampai-sampai orang partai politik sendiri pun membenci kehidupan
kepartaiannya.
Padahal partai politik adalah elemen utama demokrasi. Partai politik adalah perantara antara masyarakat dan pemerintah.
Sebagai
organisasi yang hidup di tengah masyarakat, partai politik bisa
menyerap, menampung, dan mengaggregasi aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Sebagai organisasi yang mendudukkan kader-kadernya di
legislatif dan eksekutif, partai politik bisa memperjuangkan aspirasi
dan kepentingan masyarakat untuk menjadi kebijakan.
Peran itu
demikian vital, sehingga jika partai politik buruk, demokrasi terganggu;
sebaliknya, demokrasi buruk, partai politik tidak bisa berbuat apa pun,
hanya jadi alat legitimasi sebagaimana terjadi pada zaman Orde Baru.
Kini,
coba perhatikan apa yang terjadi pada Partai Golongan Karya atau Partai
Golkar dan Partai Persatuan dan Pembangungan atau PPP: menggelikan,
menjengkelkan, dan memuakkan.
Kita masih tertawa geli ketika para
petinggi dua partai itu ribut dan saling baku hantam dalam
memperebutkan kepengurusan partai. Paling-paling kita dibikin jengkel
oleh perang pernyataan yang di sana-sini bawa-bawa nama binatang.
Kasihan binatang, yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba jadi bahan sumpah
serapah.
Namun ketika pertikaian di antara mereka dibawa ke ranah
lembaga negara, khususnya di DPR, kita jadi muak. Mereka pikir DPR
adalah milik nenek moyangnya sehingga mereka jadikan arena pertikaian
seenaknya: meja diporak-porandakan, pintu dijebol. Belum lagi
grudag-grudug membawa massa, seakan DPR jadi arena kongres.
Yang
mengherankan, para elit partai yang bertikai itu seakan menyadari bahwa
perang pernyataan dan adegan-adegan pertikaian hanya menjadi wahana
pendidikan politik buruk buat rakyat. Mereka seakan menyadari, bahwa
ucapan dan tindak tanduk mereka justru merusak citra dirinya, citra
partainya.
Lha, ini kan jadi aneh: menyadari bahwa ucapan dan
tindakan berdampak buruk, tetapi tidak mau menghentikannya. Jadi, ini
bukan sekadar soal logika atau etika lagi, tetapi lebih dari itu. Ini
soal kewarasan. Sebab, hanya orang tidak waras yang terus melakukan
tindakan yang mereka tahu tindakan itu akan merusak dirinya dan orang
lain.
Apa jadinya kalau republik ini dipimpin oleh orang-orang yang tidak waras? Ini yang mencemaskan.
No comments:
Post a Comment