Katakepo.blogspot.com - Tanggal 13 Februari 2007, saya berhasil menjejakkan kaki pertama kali
di Jepang, tepatnya di Nagoya, sekitar pukul 14:00 WIB atau pukul 16.00
waktu Jepang.
Perasaan yang pertama kali saya rasakan saat keluar dari pesawat dan
menuju tempat pengambilan barang-barang, adalah "Japan so awesome!".
Bersih dan tertata rapi. Cuaca kala itu tidak terlalu dingin karena
sudah mendekati musim semi - bulan Februari.
Beberapa rekan yang ikut terbang bersama saya pun bersorak kegirangan
dan boleh dikatakan norak karena ketika mereka berbicara ada asap
keluar dari mulut. Tentu saja hal tersebut mematik perhatian orang-orang
sekitar, apalagi kami ber-16 menggunakan jas resmi, hitam-hitam dengan
kemeja putih serta dasi dan peci (kopyah) hitam. Ya, kami Tenaga Kerja
Indonesia yang baru tiba di Jepang.
Setelah masuk ke area bandara, kami disambut oleh orang-orang biro
yang bakal mengurusi segala hal selama 3 tahun ke depan. Saya tak
henti-hentinya menoleh ke sana ke mari karena pemandangan yang saya
impi-impikan sejak duduk di bangku SMA - tahun 1995 silam - telah berada
di hadapan saya saat itu.
Setelah di-briefing oleh seorang team leader yang waktu itu paling
mahir berbahasa Jepang, kami semua kemudian digiring masuk ke dalam
sebuah bus yang sudah menunggu di luar bandara. Mini bus itu kecil
tetapi bersih, wangi dan modern. Jujur, tidak pernah saya temui bus
seperti itu di Indonesia. Selama perjalanan, saya dan teman-teman saling
bersenda-gurau dan akhirnya satu per satu dari kami jatuh terlelap
karena perjalanan yang sangat panjang.
Akhirnya sampai juga kami di sebuah daerah yang sangat asing. Desa
itu bernama Shinohara. Tempat ini adalah desanya kota Hamamatsu,
Shizuoka. Meski dikatakan sebuah desa, belum pernah saya melihat sebuah
desa memiliki tata kota, pedestrian yang bersih, lalu lintas yang
tertib, jalan yang rapi, dan bangunan-bangunan modern.
Bayangan saya tentang Shinohara adalah desa, ya, desa. Sedikit
tertinggal dari daerah yang dinamakan kota. Tetapi Shinohara boleh
dibilang lebih mirip kota-kota berkembang (bukan kota maju) di Indonesia
daripada disebut sebuah desa.
Perkenalan dan basa-basi awal di dalam kantor biro berlangsung
membosankan dan cukup lama. Namun, setelah sekitar 2 jam berlalu,
akhirnya para penanggung jawab yang tak lain adalah bos perusahaan yang
akan menjadi orang tua sekaligus pimpinan tempat kita bekerja mulai
mengajak semua "anak-anak"nya ke luar untuk diantar ke apartemen
masing-masing. Oh ya, kita ber-16 dibagi beberapa orang untuk bekerja di
perusahaan yang berbeda-beda.
Kembali lagi, dalam pemikiran saya, kata apartemen adalah tempat
tinggal yang mewah dan penuh dengan kenyamanan. Anggapan orang
Indonesia! Namun, ternyata bagi orang Jepang kata apartemen atau disebut
juga apattoo hanyalah sebuah rumah mungil dan kumuh, sedangkan istilah
apartemen mewah yang dikenal oleh orang Indonesia itu pada umumnya
disebut mension atau mansion dalam bahasa Jepang.
Singkat kata, saya sudah "diperkenalkan" dengan rumah tinggal baru
saya dan kemudian bos mengajak saya untuk melihat dan menjelaskan jalan
pulang-pergi ke perusahaan. Sekali lagi bayangan yang saya bawa dari
Indonesia salah. Awalnya saya beranggapan bahwa kerja di Jepang yang
serba hi-tech itu hanya tinggal duduk, pencet tombol, beres perkara.
Namun, ketika saya dibawa ke pabrik dan diperlihatkan di mana tempat
mesin yang harus saya operasikan nantinya, saya agak terkejut.
"Mesin apa ini!" pekik saya dalam hati.
Banyak kabel-kabel
menjulur di sana-sini, barang mentah, tombol ini-itu dan banyak lagi.
"Mampukah saya mengoperasikan mesin ini besok? (esok hari saya sudah
harus bekerja)," batin saya.
Setelah diberitahukan jalan pulang-pergi sekaligus mesin yang harus
dioperasikan dan lokasi tempat saya bekerja, sang bos yang kemudian saya
panggil otou-san atau ayah itu memberikan sebuah kunci kepada saya. Dia
kemudian mengajak saya ke ruangan lain dan menunjuk sebuah sepeda mini
dengan keranjang di bagian depannya.
"Itu untuk kamu. Dia adalah alat transportasimu selama 3 tahun di sini," jelasnya.
Antara bingung dan tak tahu harus bilang apa, saya langsung
mengucapkan, "Arigatou de gozaimasu" atau "Terima kasih banyak" dengan
oujigiatau menundukkan badan sekitar 45 derajat ke depan.
Akhirnya saya disuruh pulang sendirian ke apartemen dengan mengingat
serta menyusuri jalanan yang tadi. Awalnya saya agak bingung arahnya ke
mana dan semuanya tampak sama. Desain rumah orang Jepang rata-rata
memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Hal itu yang membuat saya
bingung dan peraturan di jalanan juga belum saya mengerti.
Dengan
berbekal kenekatan, saya pun mencoba kembali menelusuri jalanan itu
dengan mengingat-ingat rute yang sudah saya lalui bersama sang bos.
Membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit lebih untuk saya bisa berhasil
menemukan "gubuk" saya itu. Padahal pada kenyataannya, jarak antara
apartemen dan pabrik hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit saja.
Hahahaha....
No comments:
Post a Comment