Katakepo.blogspot.com - Dua kerusuhan menewaskan sipir beberapa waktu lalu melanda penjara di
Medan, Sumatera Utara. Sejumlah pengamat menilai kejadian itu dipicu
salah urus penjara dan keluarnya Peraturan Pemerintah nomor 99 tentang
pengetatan remisi bagi koruptor dan narapidana narkotika.
Padahal di beberapa lembaga pemasyarakatan, sebagian besar penghuni penjara adalah pemakai dan pengedar narkotika.
Kalau
negara mampu memfasilitasi lapangan pekerjaan, memberi penghidupan
baik, menerapkan hukum tidak diskriminatif, adanya keadilan,
kesejahteraan, dan pemerataan, otomatis orang semua senang," kata
Anggota Penasihat Balai Pemasyarakatan Agun Gunanjar Sudarsa. "Mau tidak
mau penjara akan kosong."
Ketua Komisi II ini menyebut salah
urus penjara sudah terjadi sejak dari hulu akibat direktur jenderal
pemasyarakatan tidak memiliki wewenang besar.
Berikut wawancara lengkap Alwan Ridha Ramdani
dari merdeka.com dengan dosen ilmu pemasyarakatan saat ditemui Selasa
pekan lalu sebelum rapat kerja dengan Komisi Pemilihan Umum di gedung
Dewan Perwakilan Rakyat.
Melihat kerusuhan di penjara, apa sebenarnya yang terjadi?
Misalnya
di Medan, diakibatkan ada kebijakan dari pusat yaitu PP 99. Dalam
subtansi, peraturan tersebut ada semangat pembatasan. Semangat hampir
menutup sama sekali narapidana kasus korupsi, narkotika untuk
mendapatkan berbagai fasilitas dalam rangka pembinaan narapidana.
Kebijakan
akhirnya menimbulkan reaksi masif dari penghuni lembaga pemasyarakatan
mulai Sabang sampai Merauke. Mereka sesungguhnya resah.
Jadi bukan hanya dipicu soal fasilitas penjara?
Persoalan
buat saya, apakah penanganan kasus narkotika bisa selesai dengan
menggarap objek LP (Lembaga Pemasyarakatan)? Saya berani mengatakan
tidak karena penjara itu adalah bagian hilir, bagian akhir dari proses
peradilan pidana. Mulai dari Polisi, Jaksa, pengadilan, baru penjara.
Lembaga
pemasyarakatan adalah miniatur negara. Negara kacau pasti di penjara
banyak orang jahat. Kalau negara mampu memfasilitasi lapangan pekerjaan,
memberi penghidupan baik, menerapkan pemberlakuan hukum tidak
diskriminatif, adanya keadilan, adanya kesejahteraan dan pemerataan,
otomatis orang semua senang. Mau tidak mau penjara akan kosong.
Jadi apa yang salah dari manajemen penjara?
Lembaga
pemasyarakatan harus diurus orang tepat. Kalau mau mengobati sakit
jantung maka ke dokter jantung. Kalau mau mengobati penyakit dalam maka
harus ke dokter internis. Kalau mau membina warga pemasyarakatan, harus
ditangani oleh yang punya kompetensi tinggi. Yang terjadi ada kesalahan
organisasi.
Salahnya?
Lapas (Lembaga
Pemasyarakatan), Rutan (Rumah Tahanan), tidak di bawah langsung
direktorat jenderal pemasyarakatan. Dirjen tidak memiliki kewenangan
instruksional, tidak memiliki komando kepada UPT Lapas dan Rutan.
Yang
punya kewenangan adalah kantor wilayah di tiap provinsi. Kalau
kepalanya orang imigrasi? mengerti apa tentang pemasyarakatan.
Sebaliknya kakanwilnya orang pemasyarakatan mengerti apa tentang
imigrasi. Di bentuk divisi, tapi tetap kepala divisi bertanggung jawap
pada kakanwil, tidak pada direktur jenderal.
Lalu bagaimana jalan keluarnya?
Yang
pertama harus dilakukan adalah mengubah organisasi Kementerian Hukum
dan Hak Asasi, dari pola terintegrasi ke holding. Terintegrasi bisa
dilakukan terhadap eselon satu yang pekerjaannya saling berhubungan satu
dengan yang lain. Itu yang boleh diintegrasikan, ada ketergantungan.
Kalau tidak ada ketergantungan, kayak air dan minyak, tidak boleh digabungkan. Biar mengurus dirinya sendiri secara otonom.
Harusnya
organisasi diubah dari terintegrasi ke holding. Kalau begitu, nanti
strukturnya adalah ada dirjen pemasyarakatan bisa membawahi lapas, rutan
yang jumlahnya besar. Di bawahnya dibentuk kanwil ditjen
pemasyarakatan.
Kanwil ini tidak perlu ada di semua provinsi, tapi lihat beban
kerjanya. Sekarang, kakanwil DKI dan Gorontalo eselonnya sama, tapi DKI
membawahi berapa lembaga pemasyarakatan? Harusnya ada kantor
pemasyarakatan Sumatera 1 di bawah kanwil, baru unit pelaksana teknis.
Apakah swastanisasi penjara bisa menjadi jalan keluar juga?
Itu
pikiran bodoh. Swastanisasi kayak apa? Ada lompatan-lompatan harus
dipahami. Swastanisasi bisa dilakukan bila secara hukum positif berubah.
Misalnya pada pemakai narkotika. Penjara tidak usah urusin narkotika
daripada penjara divonis sebagai pusat peredaran narkotika.
Lalu apa rekomendasi Anda?
Kalau
mau diselesaikan, PP 99 itu harus diperbaiki. Tata peradilan pidana
terhadap kejahatan harusnya juga sudah berubah, bukan lagi pembalasan
dendam pada negara. Sekarang hukuman bukan pada penjara. Sudah ada
hukuman non-institusional.
Di banyak negara masyarakat dihukum di
masyarakat. Disuruh kerja tanpa upah, kerja di perkebunan, bukan
dipenjarakan. Tidak ada jaminan penjara bikin orang lebih baik. KUHP dan
KUHAP mesti berubah.
Paradigma polisi, jaksa, hakim harus
diubah. Jangan berarti orang dihukum berat akan insyaf, udah dibuktikan.
Orang dibuang jauh-jauh, kejahatan lebih dahsyat.
Biodata
Nama Lengkap:
Agun Gunanjar Sudarsa
Tempat dan Tanggal Lahir:
Bandung (Jawa Barat), 13 November 1958
Pekerjaan:
Ketua Komisi II DPR (2012-sekarang)
Penasihat Balai Pemasyarakatan
Staf pengajar AKIP, PUSDIKLAT Pegawai Departemen Kehakiman (1985-1996)
Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tangerang (1982-1984)
Pendidikan:
Pascasarjana Kriminologi Universitas Indonesia (2004-2006)
Pascasarjana Administrasi Negara Universitas Indonesia (1994-1996)
STIA LAN Jakarta 1991
Teknik Sipil STTN (1997-1979)
AKIP Departemen Kehakiman Jakarta tahun 1982
No comments:
Post a Comment