Katakepo.blogspot.com - Beruntung saya pergi ke India setahun yang lalu, sebelum peristiwa gang
rape meledak seperti sekarang. Jadi, saat itu yang ada di pikiran saya
cuma perasaan penasaran karena akan mengeksplorasi negara baru yang juga
menjadi pengalaman pertama saya ke luar negeri.
Pesawat yang
saya tumpangi mendarat dengan mulus sekitar pukul 22.30 waktu India di
Indira Gandhi International Airport. Gaya norak saya langsung muncul
ketika melihat betapa besar, modern, dan canggihnya bandara nomor satu
di India itu. Bandara di Cengkareng saja kalah apalagi bandara Juanda
yang berlabel internasional tetapi minim fasilitas itu.
Begitu keluar dari pesawat, saya langsung disambut udara dingin India
yang kebetulan kala itu sedang musim dingin (bulan Januari). Saya yang
hanya beramunisi jaket kulit dan sepatu boots tentu saja kewalahan
dengan hal ini. Maka saya pun langsung cepat-cepat melangkahkan kaki
menuju bagian imigrasi dan kemudian mengambil bagasi saya.
"What will you do here?" tanya bapak petugas imigrasi dengan muka yang sangat tidak ramah dan logat India yang kental.
"Mmmm..volunteering.." jawab saya sedikit gugup. Udara dingin dan
tatapan matanya yang penuh selidik bukanlah kombinasi yang bagus saat
itu.
"Where?" tanyanya lebih tegas.
"Jalandhar, North India".
"Are you sure you won't go for study here? Because your visa is valid only for 3 months. You have business visa."
"Yes, I am sure," jawab saya sedikit ngotot.
"Because if you get caught, we will take you back to your country,"
katanya sambil memberi stempel visa di passport saya dan kemudian
melemparnya. Mendapati reaksi petugas bandara yang sangat tidak ramah,
saya berusaha cuek dan tidak mengindahkannya.
"Are you sure you won't go for study here? Because your visa is valid only for 3 months. You have business visa."
"Yes, I am sure," jawab saya sedikit ngotot.
"Because if you get caught, we will take you back to your country,"
katanya sambil memberi stempel visa di passport saya dan kemudian
melemparnya. Mendapati reaksi petugas bandara yang sangat tidak ramah,
saya berusaha cuek dan tidak mengindahkannya.
Untuk tiket bus, saya harus merogoh kocek USD 25 atau sekitar Rp
278.125. Jika saya di Indonesia, dengan uang segini saya bisa naik bus
kelas VIP dengan beragam fasilitas yang super nyaman. Namun di India,
saya hanya mendapatkan sebuah bangku bus yang keras dan harus menempuh
perjalanan selama 8 jam. Ditambah lagi, saya harus mengangkat dan
memasukkan koper saya sendiri ke bagasi belakang. Baiklah, saya tidak
mau manja. Tetapi, tidak bolehkah saya mengeluh karena telah membayar
mahal untuk ini?!
"Kamu sadar gak, cuma kita berdua yang cewek di dalem bis ini," kata Nara, teman seperjalanan saya.
Saya memandang berkeliling dan menemukan ada belasan mata pria India
yang sedang memelototi kami. Kala itu, saya hanya bisa membaca doa dalam
hati, sambil berusaha membuang pikiran negatif yang memenuhi pikiran.
Bagaimana kalau saya jadi korban bla.. bla.. bla.. dan kemudian berakhir
jadi headline di Indian Times? Kekhawatiran itu bahkan sempat mampir di
otak saya.
Di tengah perjalanan, sambil terus membaca doa, saya memutuskan untuk
mengintip ke balik jendela bus. Pandangan saya terhipnosis oleh wajah
New Delhi yang sesungguhnya. Wajah New Delhi yang modern ternyata hanya
berhenti sampai pintu tol keluar bandara. Setelah itu, wajah-wajah kusam
yang mencoba untuk berbenah diri itu muncul. Di satu sisi, saya melihat
gedung-gedung tinggi. Di sisi lain, saya melihat pemandangan para
tunawisma yang harus tidur di pinggir jalan dengan anjing-anjing liar
yang tampak nyalang. Sungguh miris. Ditambah lagi, ada puluhan kendaraan
bobrok yang terlihat suka mengobral klakson. Sungguh bukan pemandangan
yang menyejukkan mata.
Saya pun terlelap sejenak dan kemudian
merasakan pedal rem diinjak. Si supir lalu berteriak dengan bahasa India
yang sama sekali tidak saya mengerti artinya. Saya hanya memandanginya,
sambil sibuk menjelaskan dengan bahasa Tarzan bahwa saya tidak mengerti
bahasa India. Untungnya, percakapan konyol itu hanya berlangsung
sementara, setelah seorang lelaki muda berwajah lumayan tampan mau
menjelaskan apa maksud dari supir itu kepada saya.
"Bilang dong kalo nyuruh turun buat transit.." kata saya sambil melewati supir bus berkumis lebat.
"Ademeeee!!!"
teriak saya dalam bahasa Jawa. Saya langsung lari ke dalam restoran dan
kemudian memesan segelas kopi panas yang langsung berubah dingin di
tengah musim dingin dini hari.
Di tengah kenikmatan menyeruput
kopi panas, si kondektur kembali berteriak-teriak dalam bahasa India
yang kemudian dengan sigap diterjemahkan oleh translator ganteng itu.
Dia mengatakan bahwa perjalanan ke Jalandhar masih sekitar 6 jam lagi
dan kami harus berganti bus yang lebih kecil.
Di dalam bus
lagi-lagi hanya saya dan Nara yang berkelamin perempuan. Selebihnya,
sekitar 10 orang berjenis kelamin pria dengan wajah seram dan badan
kekar. Saya cuma bisa komat-kamit membaca doa.
Normalnya, New Delhi ke Jalandhar hanya memakan waktu 8 jam. Tetapi
entah kenapa perjalanan ini molor hingga lebih dari 8 jam. Dan si
translator ganteng (yang saya lupa namanya) bilang bahwa bus
berkali-kali harus berhenti untuk membetulkan ban yang bocor karena si
supir terlalu ugal-ugalan saat mengemudi.
Ngobrol ngalur-ngidul
ini pun berlangsung selama sisa perjalanan saya hingga akhirnya bus
memasuki sebuah kota yang lebih kecil dari New Delhi dan berhenti di
agen bus yang saya tumpangi.
"Welcome to Jalandhar. They are
friendly people but don't make friends with them..." itulah pesan
terakhir si translator, yang ternyata sempat menamatkan studi di
Australia dan kini kembali ke India. Saya penasaran apakah maksud dari
perkataannya.
Namun, kata terakhirnya adalah sesuatu yang bikin saya sangat amat penasaran. "It's India..." katanya, menandaskan.
No comments:
Post a Comment