Katakepo.blogspot.com - Batik karya desainer Nita Azhar sudah cukup akrab dengan konsumen di
Jepang. Ia merebut hati pelanggan setia dengan memadukan budaya
Indonesia-Jepang, dan tentu saja menjaga kualitas.
Lembaran-lembaran
kain batik sutra Jawa Dwipa karya Nita melenggang di ”Negeri Sakura”
pada 4-6 Oktober lalu. Nita berpartisipasi dalam ajang Sakura Collection
2013 yang diselenggarakan Adventure Japan Inc di Tokyo Tower, Tokyo.
Upayanya menembus Jepang dilakukan dengan menjaga kualitas. Kain-kain
batik karyanya selalu batik tulis tangan dan sebisa mungkin menggunakan
pewarna alami.
Ia juga menjaga hubungan baik dengan para
koleganya di sana. Hal ini penting karena orang-orang Jepang rata-rata
menghargai hubungan baik. Mereka juga berkarakter setia sehingga saat
sudah menyukai satu karya akan selalu kembali. Namun, kata Nita, yang
terpenting adalah konsisten terhadap lokalitas budaya.
”Jepang
mempunyai apresiasi tinggi terhadap budaya dan seni lokal. Semakin
kental muatan lokal pada kerajinan, mereka akan semakin menghargai,”
katanya.
Batik sendiri sudah mengantongi modal untuk memenangkan
hati orang Jepang, yaitu kesamaan budaya. Batik Jawa dan kain
tradisional Jepang sama-sama mempunyai sejarah panjang. Banyak kemiripan
motif serta sarat muatan filosofis di baliknya. Nita menampilkan tiga
busana dengan kain batik bertema ”Jawa Dwipa”. Ketiganya bermotif flora.
Motif
bunga, dedaunan, dan ranting melayang gemulai di kain sutra tembus
pandang yang dikenakan model Naily Maulida. Warna-warnanya diambil dari
warna alam, seperti coklat kayu, ungu terong, hijau daun, dan jingga.
Meski bukan motif tradisional, Jawa Dwipa tetap menggunakan langgam
batik dan motif yang menyerupai ukir-ukiran Jawa.
Nita
menuturkan, dalam karya ini, ia ingin menampilkan kekayaan flora Pulau
Jawa yang melambangkan kecantikan dan kemakmuran. Jawa Dwipa juga
menyimpan keprihatinan Nita terhadap kerusakan lingkungan yang kian
masif. Lewat karyanya, desainer yang juga menulis puisi dan melukis itu
mengajak agar manusia kembali becermin pada alam serta memelihara
kelestariannya.
”Alam adalah tempat manusia berpijak. Jika alam rusak, manusia juga terancam rusak,” ujarnya.
Paduan budaya
Dengan
karya ini, Nita kembali membuat terobosan baru. Kain-kain batik itu
dipadukan dengan busana tradisional Jepang, yaitu kimono dan obi.
Perpaduan baru ini dinamakan Sakura Java Dwipa. Hasilnya adalah
keanggunan. Gaun-gaun itu melambai di setiap langkah, menonjolkan
keindahan perempuan tanpa menjadi vulgar. Sakura Java Dwipa terlihat
sebagai busana modern yang kental nuansa etnik serta tak meninggalkan
nilai-nilai kesantunan tradisional.
Konsep rancangan busana
Sakura Java Dwipa adalah gaun malam yang terdiri dari rok pesta (ball
gown) dari batik tulis utuh sepanjang 4 meter. Atasannya merupakan
modifikasi kebaya dan kimono berpotongan modern. Atasan Jepang dan
bawahan batik itu disatukan dengan obi. Obi adalah ikat pinggang dengan
hiasan di bagian punggung khas Jepang yang biasanya terbuat dari kain
tenun. Bentuk dan fungsi obi mirip dengan angkin atau setagen pada
kebaya.
Kain batik dibiarkan utuh tanpa dipotong dan hanya
dijahit sederhana. Teknik ini merupakan penghargaan terhadap kain batik
yang dianggap sebagai karya seni. Nilai kain batik justru terlihat pada
gelaran sehingga pemotongan akan merusak nilai seninya.
”Kain ini
tetap bisa digelar untuk dinikmati sebagai seni dan bisa menjadi
warisan keluarga. Persis seperti kimono yang menjadi pusaka keluarga di
Jepang,” kata Nita.
Banyaknya kesamaan membuat busana tradisional
Jawa dan Jepang begitu pas dan mudah dipadukan. Fungsi obi dan setagen,
misalnya, sama-sama membuat postur tegak dan menjaga sikap dan langkah
perempuan. Obi hijau muda yang digunakan Nita juga bermotif tradisional
Jepang yang mirip motif kawung pada batik.
Kain tradisional
Jepang dan Jawa juga mempunyai teknik pembuatan yang mirip. Ada
roketsu-zome yang mirip batik. Ada juga shibori yang mirip tenun.
Diplomasi
Lebih
dari itu, Sakura Java Dwipa dan Sakura Collection 2013 merupakan upaya
diplomasi budaya. Hal ini diharap merajut kerja sama lebih lanjut. Nita
sendiri sudah beberapa kali ”bergerilya” memamerkan kain batik ke
berbagai negara. ”Saya lebih sering dibiayai orang asing. Padahal, batik
bisa menjadi kekayaan budaya yang membawa kita dikenal di dunia
internasional,” kata Nita, yang beberapa kali mendesain busana Miss
Universe ketika mereka tampil di Yogyakarta.
Panitia acara dari
Adventure Japan Inc, Noriko Tabata, mengatakan, budaya merupakan
diplomasi yang lembut tetapi paling jitu. ”Setiap perselisihan bisa
diselesaikan lewat kesamaan budaya. Berbagai kerja sama juga bisa
dimulai dari sini,” katanya.
Sakura Collection 2013 juga
menghadirkan desainer dari lima negara Asia Tenggara lainnya. Mereka
adalah Hang Nam Nam dan Chen Kah Lee dari Singapura, Joe Chia dari
Malaysia, Francis Libiran dari Filipina, Chai Jiamkittikul dari
Thailand, serta Si Hoang dari Vietnam. Masing-masing menampilkan desain
kolaborasi busana tradisional masing-masing negara dengan Jepang.
Batik
karya Nita Azhar termasuk mendapat penghargaan tinggi. Hal itu terlihat
dari kios batik Nita yang selalu paling ramai. Ibu-ibu dan gadis Jepang
tampak antusias mencoba selendang-selendang batik. Masami Ozawa (55)
dan Ifumi (70), misalnya, telah mempunyai koleksi batik Yogyakarta
hingga berlembar-lembar.
”Ada puluhan orang di Tokyo ini yang
sangat menggemari kain batik. Kami kerap bertemu. Sampai-sampai kami
pergi ke Yogya untuk melihat proses pembuatannya,” kata Izumi Nagano,
salah satu pencinta budaya Jawa yang tinggal di Tokyo, Jepang.
Kain
batik desain Nita juga satu-satunya busana tradisional luar Jepang yang
mendapat kehormatan dikenakan dalam konser musik dan tari balet
pembukaan Sakura Collection 2013. Tujuh gadis Jepang yang tergabung
dalam kelompok seni Ripoanopichi terlihat cantik dalam balutan busana
batik/kimono karya Nita.
No comments:
Post a Comment