Katakepo.blogspot.com - Hormon oksitosin yang juga dikenal dengan istilah "hormon cinta" selama
ini diketahui penting untuk membangun dan mempertahankan hubungan
antarpasangan ataupun kasih sayang ibu dan anak. Namun ternyata, hormon
ini memiliki peran yang lebih besar daripada yang dipikirkan sebelumnya.
Sebuah studi baru yang dipublikasi jurnal Nature
menemukan, hormon oksitosin memengaruhi interaksi sosial sehingga dapat
digunakan untuk lebih mengetahui evolusi sosial manusia. Selain itu,
para peneliti mengatakan, hormon tersebut juga memiliki implikasi
penting pada gangguan saraf seperti autisme.
Pada awal
penelitian, para peneliti asal Stanford University School of Medicine
mengukur kadar hormon oksitoksin hanya untuk mengetahui tingkat
kepercayaan di antara dua orang. Kemudian mereka melakukan uji klinis
pada anak-anak autis.
Autisme diketahui merupakan gangguan
perkembangan saraf yang ditandai dengan kesulitan berkomunikasi dan
berinteraksi sosial. Oleh karenanya, uji klinis pada anak autis akan
menunjukkan hubungan antara kadar hormon oksitosin dan kesulitan
memercayai seseorang.
Para peneliti pun menemukan, kadar hormon
oksitosin pada anak autis umumnya rendah. Inilah yang memicu mereka
kesulitan berkomunikasi dan membangun kepercayaan terhadap orang lain.
Kemudian,
para peneliti pun melakukan percobaan pada tikus untuk mengetahui cara
oksitosin bekerja dalam otak. Diketahui, oksitosin khususnya bekerja
pada bagian otak yang penting dalam perasaan menghargai.
"Orang
dengan autisme tidak memiliki perasaan menghargai orang lain seperti
orang normal. Maka dari itu, interaksi dengan orang lain akan
menyakitkan bagi mereka," ucap peneliti senior dr Robert Malenka,
profesor psikiatri dan ilmu perilaku dari Stanford University School of
Medicine.
Malenka dan timnya pun mengklaim studi ini dapat
memberikan bukti yang mendukung kesimpulan pengaruh oksitosin pada anak
autis guna menciptakan pengobatan baru.
Peneliti menggunakan
tikus sebagai hewan uji karena adanya kemiripan struktur otak dengan
manusia. Kendati begitu, mereka juga mengakui hasil uji coba pada tikus
sering kali gagal saat diterapkan pada manusia.
No comments:
Post a Comment