Katakepo.blogspot.com - Pola rekrutmen pejabat tinggi negara menuai sorotan, terutama setelah Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemilihan
pejabat negara dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) penuh
kepentingan politik sehingga dinilai tidak terbuka, akuntabel, dan
partisipatif. Bahkan, banyak pejabat negara dipilih DPR harus berurusan
dengan hukum karena korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Proses
rekrutmen selama ini dianggap tidak mengakomodasi orang-orang mempunyai
integritas, kecerdasan, dan kejujuran. Alasannya, mereka takut
dipermaikan oleh DPR. Karena proses pemilihan di DPR memakai syarat
politis.
Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki
mencontohkan di lembaganya sendiri. "Ada beberapa hakim tinggi baik,
punya jejak rekam tidak buruk, tapi enggan mendaftar karena terbayang
oleh akan dikerjain oleh DPR," katanya kepada merdeka.com Rabu lalu.
"Itu artinya apa? Ada mekanisme menghambat dia."
Berikut penjelasan Suparman kepada Alwan Ridha Ramdani dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman.
Apakah Anda sepakat politikus diharamkan menjadi hakim konstitusi?
Di
negara-negara maju bekas politikus tidak boleh kok. Tidak ada di situ,
lima tahun dulu berhenti jadi politisi baru bisa. Itu akal-akalan kita.
Apa bedanya bekas politikus 20 tahun? Ini ideologi kok. Ideologi itu
tidak bisa dibunuh.
Jadi mantan politikus dilarang masuk lembaga negara, termasuk MK?
Jangan
dong, banyak orang hebat di negeri ini. Tapi mereka tidak punya ruang,
akses terhadap keadilan tidak punya. Jadi jangan pesimistis, terlalu
banyak kita memiliki orang-orang hebat berkualitas.
Atau karena sistemnya harus jadi politikus dulu baru bisa masuk lembaga tinggi negara?
Ya
tidak juga, nyatanya ada yang jadi hakim tidak jadi politikus dulu. Itu
pertanyaan traumatik. Trauma kita, ini yang terjadi bertahun-tahun.
Faktanya,
banyak juga yang bukan berasal dari politikus. Tapi poinnya, kita perlu
membenahi secara mendasar metode, dan persyaratan rekrutmen hakim.
Perpu itu mungkin akan menerobos itu, paling tidak dia jadi pintu masuk
dari perubahan besar.
Secara konseptual harus diapresiasi karena
barangkali perpu itu akan membuka ruang bagi perubahan besar dalam
proses rekrutmen hakim.
Idealnya rekrutmen hakim MK masuk tim seleksi KY dulu atau seperti apa?
Kita
sedang merumuskan secara kelembagaan. Jadi saya belum bisa jawab karena
banyak alternatif bagus saat kita berdiskusi dengan para ahli.
Alternatif dari para ahli tata negara itu tinggal didaftar saja. Di
lihat plus minusnya.
Perilaku negatif hakim karena kepribadian atau atau sistemnya salah?
Ini
diskusi lama, orang atau sistem, sistem atau orang. Itu bukan pilihan.
Dua-duanya harus kita miliki dan di negara maju itu, orang baik
dimasukkan dalam sistem baik.
Tetapi kita berbicara paling penting orang, karena apa? Ada orang hidup dalam sistem buruk tapi bisa menjaga integritas.
Kalau
harus memilih, orang atau sistem? Nah faktanya ada orang baik hidup
dalam sistem buruk, toh dia selamat dan husnul khatimah. Apakah orang
penting? Penting. Tapi sebaiknya orang baik masuk sistem baik.
Kesempatan orang baik untuk masuk sistem itu dijegal?
Bukan.
Mekanisme untuk masuk ke situ tidak cukup terbuka untuk orang-orang
baik. Saya kasih contoh, di Komisi Yudisial ini ada beberapa hakim
tinggi baik, punya jejak rekam tidak buruk, tapi enggan mendaftar karena
terbayang oleh dia akan dikerjain oleh DPR. Itu artinya apa? Ada
mekanisme menghambat dia.
Jadinya orang bukan politikus ragu jika pemilihan akhirnya oleh DPR?
Ya, faktanya begitu. Perpu itu bayangan saya, pasti dan harusnya membenahi syarat, metode rekrutmen hakim.
Bagaimana dengan Majelis Kehormatan MK, apakah cara untuk mengembalikan kepercayaan publik?
Dugaan
positif saya memang seperti itu maksudnya. MK bikin itu untuk menjadi
bagian dari memulihkan martabat institusi. Tetapi apakah akan tercapai?
Kita lihat saja, belum kita nilai. Doa kita positif.
No comments:
Post a Comment