Sunday, October 13, 2013

Pemilihan hakim konstitusi tidak memenuhi standar

Katakepo.blogspot.com - Citra Mahkamah Konstitusi (MK) langsung ambruk begitu borok ketua mereka, Akil Mochtar terungkap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mencokok Akil karena diduga menerima suap setelah dua tahun lalu sempat disorot lantaran sangkaan serupa.

Menurut Komisi Yudisial, selama ini tidak ada standar dalam pemilihan hakim konstitusi. Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Agung (MA) belum terbuka dalam mengusulkan sembilan hakim itu.

Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di Mahkamah Agung, yang kita tahu ada orang sudah diutus menjadi hakim MK. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di presiden atau DPR, yang kita tahu ini diperpanjang," kata Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki kepada merdeka.com Rabu lalu.

Berikut penuturan Suparman kepada Alwan Ridha Ramdani dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman.

Apa usulan Komisi Yudisial biar ada perubahan dalam rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi?

Kita secara formal belum memberikan usulan, baru akan kita susun dan bentuk tim untuk menyiapkan usulan. Tetapi secara konseptual syarat, jadi hakim MK sebagai negarawan itu sudah tepat bagi calon hakim MK. Karena mereka itu penafsir konstitusi, penjaga konstitusi, diberi wewenang sangat besar.

Saya memahami negarawan itu orang tidak tercela, orang memiliki kedalaman pikiran, kedalaman hati. Tidak mungkin melanggar etika, tidak mungkin melanggar hukum. Tapi, rumusan operasionalnya sedang dirumuskan masing masing pihak untuk perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang).

Termasuk yang diusulkan MA, Presiden, atau DPR?

Saya belum tahu isinya. Tapi saya membayangkan tentu mencakup bagaimana rekrutmen harus dilakukan oleh ketiga lembaga negara itu. MA bagaimana, karena saat itu hadir ketua MA. DPR bagaimana dan presiden bagaimana.

Kalau kita mau lihat secara jernih, presiden sebenarnya dengan mengatakan itu, dia membuka diri untuk mengubah dan membuat sistem baru, mekanisme baru berasal dari presiden sendiri. Itu penting.

Artinya, apa yang dilakukan presiden juga variatif. Semua utusan dari presiden itu tidak satu standar dan itu akan distandarkan. Begitu pula yang dari DPR. Ketika DPR menyetujui Akil, kan Akil hanya ditanya Anda bersedia? Akil menyebut bersedia, lalu keluar surat perpanjangan Akil. Padahal dari ketentuan harus harus melalui akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi.

Presiden minta KY merumuskan secara tertulis?

Oh tidak. Cuma presiden menyambut baik rumusan KY. Saya merasa sebagai lembaga negara sudah sepatutnya memberikan masukan.

Apa yang akan dikeluarkan KY?

Tentu kita akan merumuskan masukan mengenai rekrutmen, pengawasan, dan terbayang oleh kita merumuskan jalan keluar terhadap putusan MK terbukti ada suapnya. Walau di sana ada klausul putusan MK final dan mengikat, sementara ada proses putusan tidak adil, ini harus dipikirkan.

Survei menyebut masyarakat tidak percaya pada seleksi lembaga negara dilakukan DPR atau pemerintah. Kira-kira apa usulan KY?

Yang paling penting menurut saya, harus ada evaluasi jujur dan objektif dari semua pihak, baik DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung dalam merekrut pejabat publik. Tegas saya katakan, harus ada kejernihan atau kejujuran. Harus diperbaiki secara mendasar.

Apakah nanti bentuknya tim panitia seleksi atau seperti apa, prinsip harus dipegang adalah transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Ini harus diterjemahkan betul.

Tidak boleh direduksi dengan mengasumsikan telah terpenuhinya tiga prinsip itu dalam pemilihan lembaga negara seperti ini, lalu dinilai ini sudah bener. Makanya saya katakan perlu evaluasi jujur dan dirumuskan yang baru.

Tiga syarat tadi belum terpenuhi saat pemilihan hakim MK?

Oh iya, itu sudah menjadi bahan olok-olok. Sekarang kan sudah ditinjau ulang oleh rekan-rekan aktivis atau LSM. Contohnya dalam pengangkatan Patrialis Akbar. Perjalanan MK ini, coba perhatikan, variasi pengangkatannya dari Mahkamah Agung, DPR, atau pemerintah.

Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di Mahkamah Agung, yang kita tahu ada orang sudah diutus menjadi hakim MK. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di presiden atau DPR, yang kita tahu ini diperpanjang.

Dulu zaman Pak Jimly dan Pak Mahfud, mereka mendaftar, lalu dilakukan uji kelayakan dan kepatutan. Sekarang tidak. Kita tidak punya standar, sistem, dan mekanisme bisa dikatakan memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipatif.

Artinya kualitas hakim MK menurun?

Kualitas itu urusan pribadi, yang penting dijaga itu adalah kehadiran seorang hakim MK harus melalui mekanisme bisa dipercaya oleh publik. Dia lahir dari satu proses bisa dipertanggungjawabkan, partisipatif, dan transparan. Tentu dalam proses itu, orang ini kompeten.

Nah, ketika orang itu hadir jadi hakim di Mahkamah Konstitusi adalah sosok telah melalui proses transparan, partisipatif, dan akuntabel. Karena itu nanti tidak akan ada lagi pertanyaan soal integritas, tidak ada lagi keraguan soal intelektualitas. Karena semua calon berada dalam proses mengacu aspek itu.

Kalau lembaga pengusul hakim, presiden, DPR dan MA, punya standar yang sama, publik akan kembali percaya MK?

Akan lebih tinggi, pasti akan lebih tinggi. Proses itu ditunggu dan diharapkan karena proses itu tidak ada.

No comments:

Post a Comment