Katakepo.blogspot.com - Citra Mahkamah Konstitusi (MK) langsung ambruk begitu borok ketua mereka, Akil Mochtar
terungkap. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mencokok Akil
karena diduga menerima suap setelah dua tahun lalu sempat disorot
lantaran sangkaan serupa.
Menurut Komisi Yudisial, selama ini
tidak ada standar dalam pemilihan hakim konstitusi. Presiden, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Agung (MA) belum terbuka dalam
mengusulkan sembilan hakim itu.
Kita tidak pernah tahu apa yang
terjadi di Mahkamah Agung, yang kita tahu ada orang sudah diutus menjadi
hakim MK. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di presiden atau DPR,
yang kita tahu ini diperpanjang," kata Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki kepada merdeka.com Rabu lalu.
Berikut penuturan Suparman kepada Alwan Ridha Ramdani dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman.
Apa usulan Komisi Yudisial biar ada perubahan dalam rekrutmen hakim Mahkamah Konstitusi?
Kita
secara formal belum memberikan usulan, baru akan kita susun dan bentuk
tim untuk menyiapkan usulan. Tetapi secara konseptual syarat, jadi hakim
MK sebagai negarawan itu sudah tepat bagi calon hakim MK. Karena mereka
itu penafsir konstitusi, penjaga konstitusi, diberi wewenang sangat
besar.
Saya memahami negarawan itu orang tidak tercela, orang
memiliki kedalaman pikiran, kedalaman hati. Tidak mungkin melanggar
etika, tidak mungkin melanggar hukum. Tapi, rumusan operasionalnya
sedang dirumuskan masing masing pihak untuk perpu (peraturan pemerintah
pengganti undang-undang).
Termasuk yang diusulkan MA, Presiden, atau DPR?
Saya
belum tahu isinya. Tapi saya membayangkan tentu mencakup bagaimana
rekrutmen harus dilakukan oleh ketiga lembaga negara itu. MA bagaimana,
karena saat itu hadir ketua MA. DPR bagaimana dan presiden bagaimana.
Kalau
kita mau lihat secara jernih, presiden sebenarnya dengan mengatakan
itu, dia membuka diri untuk mengubah dan membuat sistem baru, mekanisme
baru berasal dari presiden sendiri. Itu penting.
Artinya, apa
yang dilakukan presiden juga variatif. Semua utusan dari presiden itu
tidak satu standar dan itu akan distandarkan. Begitu pula yang dari DPR.
Ketika DPR menyetujui Akil, kan Akil hanya ditanya Anda bersedia? Akil
menyebut bersedia, lalu keluar surat perpanjangan Akil. Padahal dari
ketentuan harus harus melalui akuntabilitas, transparansi, dan
partisipasi.
Presiden minta KY merumuskan secara tertulis?
Oh tidak. Cuma presiden menyambut baik rumusan KY. Saya merasa sebagai lembaga negara sudah sepatutnya memberikan masukan.
Apa yang akan dikeluarkan KY?
Tentu
kita akan merumuskan masukan mengenai rekrutmen, pengawasan, dan
terbayang oleh kita merumuskan jalan keluar terhadap putusan MK terbukti
ada suapnya. Walau di sana ada klausul putusan MK final dan mengikat,
sementara ada proses putusan tidak adil, ini harus dipikirkan.
Survei menyebut masyarakat tidak percaya pada seleksi lembaga negara dilakukan DPR atau pemerintah. Kira-kira apa usulan KY?
Yang
paling penting menurut saya, harus ada evaluasi jujur dan objektif dari
semua pihak, baik DPR, pemerintah, dan Mahkamah Agung dalam merekrut
pejabat publik. Tegas saya katakan, harus ada kejernihan atau kejujuran.
Harus diperbaiki secara mendasar.
Apakah nanti bentuknya tim
panitia seleksi atau seperti apa, prinsip harus dipegang adalah
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Ini harus diterjemahkan
betul.
Tidak boleh direduksi dengan mengasumsikan telah
terpenuhinya tiga prinsip itu dalam pemilihan lembaga negara seperti
ini, lalu dinilai ini sudah bener. Makanya saya katakan perlu evaluasi
jujur dan dirumuskan yang baru.
Tiga syarat tadi belum terpenuhi saat pemilihan hakim MK?
Oh
iya, itu sudah menjadi bahan olok-olok. Sekarang kan sudah ditinjau
ulang oleh rekan-rekan aktivis atau LSM. Contohnya dalam pengangkatan
Patrialis Akbar. Perjalanan MK ini, coba perhatikan, variasi
pengangkatannya dari Mahkamah Agung, DPR, atau pemerintah.
Kita
tidak pernah tahu apa yang terjadi di Mahkamah Agung, yang kita tahu ada
orang sudah diutus menjadi hakim MK. Kita tidak pernah tahu apa yang
terjadi di presiden atau DPR, yang kita tahu ini diperpanjang.
Dulu
zaman Pak Jimly dan Pak Mahfud, mereka mendaftar, lalu dilakukan uji
kelayakan dan kepatutan. Sekarang tidak. Kita tidak punya standar,
sistem, dan mekanisme bisa dikatakan memenuhi prinsip transparansi,
akuntabilitas, dan partisipatif.
Artinya kualitas hakim MK menurun?
Kualitas
itu urusan pribadi, yang penting dijaga itu adalah kehadiran seorang
hakim MK harus melalui mekanisme bisa dipercaya oleh publik. Dia lahir
dari satu proses bisa dipertanggungjawabkan, partisipatif, dan
transparan. Tentu dalam proses itu, orang ini kompeten.
Nah,
ketika orang itu hadir jadi hakim di Mahkamah Konstitusi adalah sosok
telah melalui proses transparan, partisipatif, dan akuntabel. Karena itu
nanti tidak akan ada lagi pertanyaan soal integritas, tidak ada lagi
keraguan soal intelektualitas. Karena semua calon berada dalam proses
mengacu aspek itu.
Kalau lembaga pengusul hakim, presiden, DPR dan MA, punya standar yang sama, publik akan kembali percaya MK?
Akan lebih tinggi, pasti akan lebih tinggi. Proses itu ditunggu dan diharapkan karena proses itu tidak ada.
No comments:
Post a Comment