Katakepo.blogspot.com - Suatu ketika, Christian Stellfeldt, guru matematika ngasih soal kepada
para siswa kelas 8 (setara SMP kelas 2) di kota Mannheim, Jerman: 2
partai berlaga demi 10 kursi. Gimana alokasi kursinya, bila partai A dan
partai B masing-masing bersuara 50? (Catatan: angka-angka dalam
tulisannya disulap buat gampang dicerna, seperti 500 jadi 50, meski
begitu hasilnya tetap sama).
Ngitungnya lewat metoda kuota
Hare-Niemeyer yang dipakai buat pemilu Bundestag (DPR Jerman) 1987-2006.
Di tanah Paman Sam (AS) beken sebagai metoda Hamilton dan pernah
digunakan buat mengalokasikan kursi House of Representatives (DPR).
Sampai sekarang, metoda ini juga dipakai di Indonesia.
Dalilnya:
kursi partai sama dengan perolehan suara partai kali kursi yang
tersedia dibagi total suara dalam satu daerah pemilihan (dapil). Sisa
kursi dibagikan ke partai-partai bersisa suara terbanyak secara
berurutan. Maka, partai A dan partai B masing-masing berkursi 5.
Lalu,
soalnya dikit dipersukar. Tapi, para siswa masih enteng menjawab, jika
10 kursi dipertarungkan oleh Partai A peraup 60 dan Partai B penjarah 40
suara.
Cuma, pas digubah 65 suara sawerannya partai A dan 35
suara jambretannya Partai B guna merebut 10 kursi, jawaban mereka ada
sliweran. Dari sisa suara, kata sebagian, setiap partai ketambahan 1
kursi: 7 partai A dan 4 Partai B. Weleh, weleh, kok ngangkangin total
kursi? Sedang sisanya bilang, sisa kursi gak usah dibagikan: 6 Partai A
dan 3 Partai B. Cuma, kurang dari total kursi.
Terus sang guru
kasih penyelesaian soal lewat metoda divisor d'Hondt yang pernah dipakai
di pemilu Bundestag 1949-83. Kalau di tanah AS, kesohor sebagai metoda
Jefferson.
Contoh ngitung pembagian kursi legislatif itu adalah
cara memelekkan para murid SMP, bahwa matematika berhubungan gaib dengan
politik. Sesuaiannya program pendidikan pemerintah negara bagian
(setara provinsi) Baden-Wuerttemberg tahun 2004: para siswa hendaknya
dilatih buat dipersiapkan menjadi warga republik Jerman dan masyarakat
Eropa serta dunia.
Guna itu, perlu pendidikan yang dapat
membentuk warga yang bertanggung jawab, antara lain memiliki pengetahuan
dasar tentang sistem kepartaian dan sistem pemilu Jerman.
Makanya,
bukan saja cuma diajarkan dalil penghitungan suara, akan tetapi juga
ganjelannya. Oleh sang guru soalnya dipermak jadi: Misal 10 kursi
bancakannya 3 partai. Porsi suaranya: 90 partai A, 75 partai B dan 10
partai C. Lewat metoda kuota Hare-Niemeyer, pembagian kursinya: 5 partai
A, 4 partai B dan 1 partai C.
Lalu, dengan perolehan suara yang
sama, kursi dinaikkan dari 10 jadi 11. Alokasi kursinya jadi: 6
porsinya A, 5 jatahnya B dan C tangan hampa. Lho, kursi nambah, kok C
malah gak kebagian?
Inilah yang disebut tuyul Alabama. Maujud di
AS pada tahun 1880. Kemudian mbrojol tuyul population (1900) dan tuyul
new-state (1907). Karena tuyul, maka kerjanya nggangsir kursi secara
gaib. Berkatnya, metoda kuota ini diharamkan di tanah AS buat
mengalokasi kursi House of Representatives. Cukup diketahui secara sst..
ssst, sehabis dikoitkan di AS, tuyul population ada nuris gak senonohan
di pemilu DPR 2009.
Asosiasi Matematisi Jerman (DMV) berujar
tahun 2008, politik itu ditunggangi oleh matematika. Pembagian kursi di
parlemen Jerman tunduk pada matematika. Jika pemilunya padat merayap,
maka nasib partai-partai tergantung pada penggunaan metoda penghitungan.
Contoh ini cuma hendak bilang, matematika bukan hanya alat pembantu,
tapi juga "faktornya demokrasi".
Cuma, DMV gak tahu, jika
alokasi kursi DPR-RI 2014 Lampirannya UU No 8/2012 Tentang Pemilu
Legislatif itu pembangkangnya matematika. Mungkin akibat UU-nya turun
11/05/2012, Jumat Kliwon, berwuku Bala, busyet buat memperbaiki apapun.
Gak slametan pula. Bikin pembuat UU kesirep, hingga ribetnya di sekitar
posisi duduk di toilet, kesengsem sama pornoan tuyul domestik, hingga
alokasi kursi DPR semrawut. Coba kalau berwuku Maktal, berwatak baik
buat memperbaiki apa saja, alokasi kursinya pastilah maujudannya formula
matematika.
No comments:
Post a Comment