Katakepo.blogspot.com - Jadi Presiden SBY
memang benar-benar tidak enak. Masa sisa berkuasa yang tinggal setahun,
mestinya bisa digunakan untuk meninggalkan kesan atau kenangan baik.
Tapi yang terjadi sebaliknya. Setiap kali dia mengatakan sesuatu yang
sifatnya hendak memberi kesan atau kenangan baik, yang didapat justru
kritik tajam dan hujatan.
Minggu (10/11) malam lalu misalnya, melalui akun Facebook dan Twitternya, SBY menyatakan, akan meluncurkan buku 'Selalu Ada Pilihan'. Buku yang ditulis sendiri itu berisi pengalaman SBY memimpin Indonesia selama 9 tahun terakhir. "Mudah-mudahan jadi pelajaran buat kita semua," tegasnya.
Namun niat baik SBY
tersebut mengundang kritik tajam. Bukan hanya dari para politisi
pesaingnya, tetapi juga dari kalangan nonpolitik. Mereka curiga,
penerbitan buku tersebut hanya bentuk pembelaan diri. SBY hendak menegaskan kembali sebagai presiden yang teraniaya. Seperti yang lain, buku ini hanya pencitraan.
Sebelumnya, SBY
mengeluhkan kemacetan Jakarta. Maksudnya, hendak berbagi dengan warga
Jakarta, bahwa dirinya juga terkena macet. Namun ketika dia menyatakan
bahwa kemacetan Jakarta adalah tanggung jawab gubernur DKI Jakarta, maka
banyak orang mengecamnya.
Ketika Mahkamah Konstitusi diterjang badai korupsi oleh ketuanya, SBY
buru-buru bertindak menjaga kewibawaan lembaga tersebut, dengan
menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun
perppu ini menuai banyak protes. "Hanya karena yang mengeluarkan SBY," tegas Refly Harun.
Singkat cerita, di mata banyak orang, seperti terekam dalam media massa, seakan tidak ada yang benar yang dilakukan SBY dalam setahun terakhir ini. Keluh kesahnya justru jadi bahan gunjingan: lebay, cari perhatian, presiden, pencitraan.
Celakanya, dalam kondisi seperti itu, tak banyak pembelaan oleh anak buahnya. Meskipun apa yang disampaikan oleh SBY
itu menyangkut kebijakan pemerintah, para menterinya sering pura-pura
tidak tahu. Pembelaan kencang justru datang dari para kader Partai
Demokrat.
Nah di situlah masalahnya, SBY
seakan bukan presiden yang harus dibela oleh para menteri dan pejabat
pemerintah lainnya selama dia berbicara tentang kebijakan pemerintah
melainkan hanya seorang ketua umum Demokrat yang harus dibela oleh
kadernya. SBY pun terlihat sebagai bukan presidennya rakyat Indonesia, melainkan ketua umumnya orang Demokrat.
Dari perspektif politik kenegaraan, kesediaan SBY
menjadi ketua umum Demokrat, memang merupakan kesalahan fatal.
Lebih-lebih hal itu dilakukan menjelang Pemilu 2014 di mana persaingan
antarpartai politik mencapai puncaknya.
Tapi dari perspektif politik praktis, pengambilalihan kursi ketua umum Demokrat itu merupakan tindakan strategis. Sebab, SBY
tidak hanya menyelamatkan Partai Demokrat dari konflik internal, tetapi
juga menghindari dari kejatuhan yang memalukan dalam pemilu nanti.
Lagi
pula, kalau Demokrat benar-benar jatuh dalam pemilu, pascapemilu partai
ini tidak hanya tidak menjadi apa-apa, tetapi para (mantan) elitnya
bisa jadi obyek politik untuk dikerjain, tidak terkecuali SBY. Siapa mau masa pensiun justru jadi obyek pemberitaan buruk?
Tetapi kritik pedas para politisi dan kecaman keras masyarakat melalui media sosial atas apa yang dilakukan SBY dalam setahun belakangan, menunjukkan langkah politik praktis SBY, salah, atau tidak tepat. Atau, setidaknya, tidak membuahkan hasil yang diinginkan.
Pada
titik inilah, sangat relevan bila mendiskusikan kembali posisi presiden
di partai politik dalam sistem pemerintahan presidensial. Pemahaman
bahwa NKRI ini menggunakan sistem pemerintahan presidensial perlu
ditekankan kembali, agar bias-bias parlementer terhindari, sehingga
pemerintahan bisa efektif.
Dalam sistem pemerintahan parlementer,
jabatan kepala pemerintahan atau perdana menteri, terpisah dari jabatan
kepala negara. Disebut pemerintahan parlementer, karena pemerintah
(eksekutif) berada di parlemen. Sebab, partai atau koalisi partai yang
menguasai mayoritas kursi parlemen, berhak membentuk pemerintahan.
Meskipun
demikian perdana menteri dan kabinetnya tidak bisa semena-mena karena
kepala negara bisa turun tangan sewaktu-waktu demi pertimbangan
kepentingan negara. Kekuasaan kepala negara memang terbatas, tetapi dia
bisa mengatasnamakan kepentingan negara berdasarkan akal sehat rakyat.
Ini
berbeda dalam sistem presidensial di mana kepala pemerintahan dan
kepala negara dijabat satu orang. Akibatnya, kecenderungan semena-mena
terbuka lebar, lebih-lebih bila presiden masih menjabat sebagai ketua
partai. Dia jadi sosok yang tidak terkontrol, karena bisa memanipulasi
kepentingan partai diatasnamakan kepentingan negara, kebijakan
pemerintah diklaim kebijakan partai.
Seperti diskusi selama ini,
partai politik menolak keras pemisahan jabatan itu. Sebab mereka yang
menikmatinya. Tapi akal sehat rakyat tidak bisa dibungkam, sehingga
apapun yang dilakukan SBY selalu dicurigai, bahkan dikecam.
No comments:
Post a Comment