Katakepo.blogspot.com - Shizuko Rizmadhani, (16), siswi SMA Negeri 6 Bekasi, diketahui
meninggal Selasa, (24/12/2013) malam. Korban tewas di Kandang Batu
(2.220 mdpl) atau pendakian menjelang puncak Gunung Gede, Cianjur, Jawa
Barat.
Sehari berikutnya,
Endang Hidayat (53),
warga Sepanjang Jaya Rawa Lumbu, Bekasi, dinyatakan meninggal saat
mendaki Gunung Semeru. Korban dilaporkan meninggal dunia sekira pukul
18.00 WIB di Pos Waturejeng di ketinggian sekitar 2.300 mdpl.
Selanjutnya, berselang empat hari setelah kabar duka dari Semeru itu,
Gatot Handoko (40),
wisatawan asal Singaraja, Bali, juga dinyatakan tewas dalam
pendakiannya ke Gunung Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur. Nyawa korban tak
terselamatkan saat dilarikan ke RS Blambangan yang berjarak 20 km dari
pos pendakian pertama Paltuding.
Berdasarkan laporan media, penyebab meninggalnya ketiga pendaki itu bermacam-macam. Meninggalnya
Shizuko Rizmadhani di Gunung Gede diketahui setelah terserang hipotermia atau kehilangan suhu panas tubuh akibat basah dan kedinginan.
Mahesa
Vicky, tim sukarelawan dari Indonesian Green Ranger, yang ikut
mengevakuasi korban mengatakan, dirinya mendapatkan informasi ada
pendaki yang mengalami kedinginan hebat dan perlu pertolongan.
"Kami (petugas Ranger) dan tim relawan langsung menuju lokasi," ujar Vicky.
Lain halnya dengan
Endang Hidayat.
Pendakian ke Semeru menjadi pendakian terakhirnya, setelah Endang
dinyatakan meninggal dalam perjalanan di Pos Dua atau di Pos Waturejeng.
Endang diketahui mengalami serangan jatung, bahkan sempat mengalami
kejang. Padahal, menurut penuturan anak kandungnya, Dian Wahyuni
Khairunnisa, (24), ayahnya tak mempunyai riwayat penyakit Jantung.
Sementara itu,
Gatot Handoko (40),
diketahui meninggal setelah sempat mengeluhkan sakit di dadanya. Toh,
Endang tetap memaksa naik. Sempat ia terpeleset, sampai akhirnya
dievakuasi turun ke Paltuding. Petugas pun segera melarikannya ke RS
Blambangan yang berjarak 20 km. Sayang, nyawa Gatot tak tertolonh. Ia
meninggal dalam perjalanan.
Gunung Semeru
Menganggap sepele?Boleh jadi, ini “rekor
terburuk” dalam sejarah pendakian di Indonesia, dimana tiga pendaki
tewas hanya dalam waktu sepekan secara berurutan. Salahkah mereka
mendaki di tengah cuaca buruk Desember? Cukupkah persiapan dan rencana
mereka mendaki gunung?
Tentu saja, tidak ada yang salah dengan
merancang pendakian di bulan Desember di ketiga gunung tersebut. Hanya,
siapkah kita menghadapi cuaca buruk Desember? Siap dalam arti fisik dan
peralatan?
Seperti diketahui, berdasarkan informasi Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan di akhir
musim transisi pada Oktober-Desember harus diwaspadai, serta kemungkinan
intensitas curah hujan yang sangat tinggi pada bulan Januari - Februari
2014.
"Terkait intensitas hujan, sesuai prediksi BMKG bulan
Oktober-Desember merupakan akhir dari musim transisi, dan puncak musim
penghujan yang berkelanjutan serta tidak mengenal waktu dan intensitas
diwaspadai terjadi pada Januari-Februari," ujar Kasubid Informasi BMKG,
Harry Tirto kepada
Antara.
Artinya, mendaki di
masa-masa cuaca "tak bersahabat" seperti ini butuh ekstra perhatian,
baik fisik, perbekalan, maupun peralatan. Pendaki profesional pasti tahu
betul, mendaki di bulan Desember hingga Februari berisiko diterjang
hujan dan angin setiap waktu. Tanpa persiapan ketat, selain tidak
nyaman, risikonya nyawa!
"Kembali lagi ke soal pengetahuan,
pendidikan yang menjadi bekal si pendaki. Dengan pengetahuan yang dia
punya, sudah barang tentu persiapan pendakiannya juga baik. Dia pasti
tahu risiko yang akan dia hadapi, sudah dia ukur. Minimal siap
menghadapi risiko itu, karena tidak bisa ditebak maunya," kata Adiseno,
pendaki senior Mapala UI.
Kasus Shizuko Rizmadhani yang meninggal
karena kehilangan suhu tubuh membuktikan, korban tidak siap mendaki
kendati hanya ke Gunung Gede yang ketinggiannya hanya 3,019 meter di
atas permukaan laut. Terlalu menganggap enteng?
Asap solfatara keluar dari kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, Senin
(7/11/2011). Kawah Ijen merupakan gunung api aktif penghasil belerang
(sulfur) utama di Indonesia. Gunung Ijen meletus dalam tiga periode yang
berlangsung sejak 3.500 tahun lalu hingga menghasilkan kawah besar yang
ditengahnya terbentuk danau yang menjadi pusat kegiatan vulkanik Gunung
Ijen saat ini.
Patut diduga, demikian! Terbukti, saat petugas SAR datang ke lokasi,
korban sebelumnya telah mengalami kedinginan karena pakaiannya basah dan
tak diganti. Apakah korban tidak membawa jaket? Baju ganti?
Sleeping bag atau kantung tidur? Bagaimana dengan makanannya?
"Menurut
rekan-rekanya, korban mulai kedinginan dari Senin (23/12/2013) malam,
dan tim sudah berhasil mengevakuasi jenazah korban dari atas gunung,"
tutur Mahesa Vicky, tim sukarelawan dari Indonesian Green Ranger, yang
ikut mengevakuasi.
Lalu, bagaimana dengan Endang Hidayat dan
Gatot Handoko yang usianya jauh di atas Shizuko? Terutama dibandingkan
dengan almarhum Endang, yang diketahui punya banyak pengalaman mendaki
gunung-gunung di Indonesia.
Dian Wahyuni Khairunnisa (24, anak
kandung Endang, bertutur, ayahnya merupakan pencinta alam sejak masih
usia muda. Puluhan gunung, termasuk Puncak Jaya di Papua, pernah
didakinya.
"Hobinya memang naik gunung," katanya di rumah duka,
Jalan Carita C Nomor 199 Blok VII, RT 06 RW 08, Sepanjang Jaya
Rawalumbu, Kota Bekasi, Kamis (26/12/2013) lalu.
Dian
mengatakan, hobi naik gunung itu menurun kepada anaknya yang nomor dua,
yakni Danu Suwandana Saputra (28). Namun, baru kali ini anak dan bapak
itu mendaki gunung bersama-sama. Pendakian itu memang permintaan Endang
sendiri untuk bias mendaki bersama anaknya.
"Padahal itu sudah dilarang, tapi (Endang) tidak mau," tuturnya.
Nyatanya,
musibah tak terelakkan. Endang meninggal sebelum menuntaskan
pendakiannya ke Mahameru, nama Puncak Gunung Semeru di ketinggian 3,676
mdpl. Pun, begitu dengan Gatot. Puncak gunung tak diraihnya.
Tanpa
bermaksud mengecilkan pengalaman pendakian mereka, dapat diduga,
persiapan kedua korban, baik Endang maupun Gatot, memang minim. Adakah
keduanya melakukan cek kesehatan sebelum melakukan pendakian? Seberapa
rutin keduanya berlatih fisik? Maklum, kedua pendaki sudah tak muda lagi
untuk mendaki gunung di usia yang masing-masing 53 dan 40 tahun.
Tentunya,
tidak ada orang yang mau mati konyol, mati sia-sia, di gunung.
Seandainya kondisi terakhir kesehatan Endang dan Gatot diketahui lewat
medical check-up, tentu ada kesempatan bagi mereka berdua mengurungkan niatnya hingga fisik mereka benar-benar siap untuk mendaki di lain hari.
Kini,
nasi sudah jadi bubur. Ini sebuah pelajaran berharga, mengingat mendaki
gunung sudah menjadi tren umum, bukan "eksklusif" milik kalangan
pendaki atau pecinta alam saja. Jika pendaki yang muda-muda harus siap
fisik dan peralatan, apalagi di usia 40 ke atas. Tanpa persiapan fisik
prima, terlalu berisiko mendaki dalam cuaca ekstrim dan menguras tenaga.
Risikonya, celaka dan berujung tewas sia-sia!