Katakepo.blogspot.com - Manfaat ekstasi untuk mengurangi rasa sakit akibat pergerakan atau
kehabisan energi mungkin telah lama diketahui. Namun ilmuwan berhasli
mengungkap manfaat lainnya, yaitu sarana terapi bagi penderita gangguan
kesehatan mental khususnya penderita post-traumatic stress disorder(PTSD).
Hasil riset terbaru yang dikeluarkan Imperial College London Inggri,
membuktikan, ekstasi berdampak pada area tertentu yang berhubungan
dengan memori dan emosi pada otak. Obat dengan kandungan MDMA (methylenedioxymethamphetamine) ini ternyata mampu meredakan kegelisahan seperti yang dialami pasien PTSD.
“Pada responden yang sehat, MDMA bisa meringankan efek memori buruk.
Hal ini diharapkan terjadi pada pasien PTSD yang sedang menjalani sesi
terapi. Para pasien diharapkan bisa mengalami trauma masa lalunya dan
tidak lagi dilingkupi emosi negatif. Kendati begitu, kami perlu
mengujinya pada pasien PTSD sungguhan,” kata peneliti yang juga profesor
di Imperial College London, Robin Carhart-Harris.
Peneliti
melakukan riset terhadap 25 responden yang menjalani scan otak dalam dua
kali kesempatan. Satu kali dilakukan setelah mengonsumsi obat dan satu
lagi setelah mengonsumsi plasebo. Tentunya, responden tidak tahu apakah
ia mengonsumsi obat atau placebo.
Hasilnya, MDMA mengurangi aktivitas pada limbic system
yaitu area otak yang berhubungan dengan emosi. MDMA juga mengurangi
komunikasi antara medial temporal lobe and medial prefrontal cortex,
yang berhubungan dengan kontrol emosi. Penurunan komunikasi dan
aktivitas pada limbic system berlawanan dengan apa yang terjadi pada
pasien yang merasa gelisah. Penurunan ini menyebabkan pasien merasa
lebih tenang.
“Kami menemukan MDMA menyebabkan pengurangan aliran
darah pada area yang berhubungan dengan emosi dan memori. Efek ini
mungkin berhubungan dengan euphoria yang dirasakan setelah mengkonsumsi
obat tersebut,” kata Carhart-Harris.
MDMA – pendamping psikoterapi
Riset ini bukanlah yang pertama mengetahui efek ekstasi pada pasien
PTSD. Tahun sebelumnya, riset yang diadakan di Vancouver juga ingin
mengetahui kegunaan obat untuk tujuan medis. Psikolog yang ikut dalam
riset, Andrew Feldmer mengatakan, jumlah dosis berperan besar menentukan
apakah obat akan menjadi terapi atau racun. “Substansi yang sama bisa
menjadi racun atau obat, bergantung pada dosis, dan kondisi ketika
asupan tertelan,” katanya.
Organisasi seperti Multidisciplinary Association for Psychedelic
Studies (MAPS) sudah mengeluarkan waktu dan uang, untuk meneliti
keuntungan medis obat psychedelic seperti MDMA dan mariyuana.
Dalam websitenya MAPS menjelaskan, MDMA yang digunakan untuk terapi
berbeda dengan yang dijual di jalanan.
“Substansi yang dijual di jalan dengan nama ecstasy memang mengandung
MDMA, tapi juga bahan berbahaya lain. Dari hasil riset kami di
laboratorium, MDMA murni yang bukan ecstasy, sudah terbukti cukup aman
dikonsumsi tentunya dengan jumlah yang dibatasi dalam dosis tertentu,”
tulis MAPS yang berencana menggunakan dana 18,5 juta dolar Amerika
selama 8 tahun, untuk membuat penggunaan MDMA sebagai obat resep
disetujui FDA.
Sementara itu, peneliti dari Imperial College London mengakui, mereka
harus melakukan riset lebih jauh terkait torpik tersebut dan mencobanya
pada pasien PTSD untuk hasil yang lebih jelas.
“Hasil riset mengatakan, MDMA memungkinkan untuk mengobati
kegelisahan dan PTSD tapi kami harus hati-hati mengambil kesimpulan.
Karena studi ini dilakukan pada relawan yang relatif sehat. Kami harus
mempelajari pada pasien dengan sakit yang sama untuk menemukan efek
serupa,” kata David Nutt, peneliti dan profesor neuropsychopharmacology
di Imerial College London.
No comments:
Post a Comment