Katakepo.blogspot.com - Dalam pernikahan, perselisihan antara suami dengan istri
terkadang tidak dapat dihindarkan. Bila sudah tidak bisa dipertahankan
lagi, mahligai pernikahan terkadang harus berujung perceraian. Nah, ada
beberapa kondisi yang patut Anda waspadai. Sebab, kondisi-kondisi
berikut kerap kali memicu perceraian.
1. Penyakit
Ketika
pasangan mengidap kondisi kesehatan yang serius atau kronis, kondisi
ini mampu mengubah dinamika pernikahan. Studi terbaru yang digelar para
peneliti dari Iowa State University pun mengungkapkan bahwa angka
perceraian enam persen lebih tinggi bila sang istri menderita penyakit
seperti kanker, serangan jantung, atau paru-paru. Namun, angka
perceraian tak meningkat ketika suami mengidap penyakit serius.
"Terkadang sulit bagi pria untuk menjalankan peran sang istri.
Namun, menurut saya tergantung pembagian peran dalam pernikahan sejak
awal. Jika suami juga ikut menjalankan tugas domestik, maka
penyesuaiannya akan lebih mudah," sebut Elizabeth Ochoa, PhD, konsultan
pernikahan dan chief psychologist di Beth Israel Medical Center, New
York.
2. Perubahan Pekerjaan
Pada
tahun 2011, studi yang dilakukan para ahli dari Ohio State University
menemukan bahwa pria yang tidak bekerja (menganggur), cenderung
meninggalkan istri mereka dan ditinggalkan oleh sang istri. Kehilangan
pekerjaan pun dapat memicu stres akibat masalah keuangan, keamanan, dan
tanggung jawab yang mempengaruhi ketidakpuasan dalam pernikahan.
Menurut
Ochoa, apapun yang mendistraksi terkait masalah finansial atau
pekerjaan pasti berpengaruh pada pernikahan. "Jika Anda berhenti
memprioritaskan pernikahan dan membiarkannya berada di urutan kedua
setelah pekerjaan, pasangan akan merasa terisolasi dan marah," tutur
Ochoa.
3. Kelahiran Anak
Sebuah
studi yang dipublikasikan pada Journal of Family Psychology menyebut 67
persen pasangan mengalami penurunan kepuasan dalam pernikahan pada tiga
tahun pertama kelahiran anak. "Memiliki anak adalah stres tersendiri
dalam hidup dan dapat memicu permasalahan dalam pernikahan," kata Ochoa.
Namun,
masalah dapat diminimalisir jika masing-masing mampu meredam ego dan
saling berkomunikasi secara terbuka. "Seseorang yang sudah merasa cemas
atau depresi akan merasa lebih sulit menyesuaikan diri ketika anak
lahir, karena akan mempengaruhi kemampuan mereka dalam merawat anak dan
bergelut dengan perubahan dalam hubungan," ungkap Ochoa.
4. Tinggal Terpisah
Studi
yang dilakukan RAND Corporation pada tahun 2013 terhadap keluarga
anggota militer, menemukan bahwa risiko perceraian pada prajurit militer
AS terjadi karena lamanya mereka bertugas jauh dari keluarga. Pasangan
yang tinggal terpisah secara temporer karena pekerjaan atau alasan lain
kemungkinan akan menemukan masalah dalam pernikahan.
"Setiap
orang memiliki tingkat kenyamanan yang berbeda ketika dekat atau jauh
dengan pasangannya. Jika kedua belah pihak merasa nyaman saat tinggal
terpisah, maka takkan ada masalah. Namun, jika ada ketidaksamaan,
misalnya tentang ketakutan, kepercayaan, atau kesetiaan, maka akan
memicu masalah," papar Ochoa.
5. Trauma
Pasangan
yang sama-sama mengalami trauma selain sangat terikat satu sama lain,
namun juga bisa membuat mereka saling menjauh. "Untuk pulih dari trauma,
terkadang orang harus meninggalkan pengalaman atau apapun yang
mengingatkan mereka pada kejadian menyakitkan itu," ujar Ochoa.
Ia
menjelaskan, munculnya kembali ingatan akan trauma ini juga bisa dipicu
dengan kehadiran orang lain, yang mungkin sama-sama mengalami trauma
itu. "Bahkan bersama orang itu pun rasanya menyakitkan," imbuh Ochoa.
No comments:
Post a Comment