Katakepo.blogspot.com - Matahari baru saja beranjak tepat di atas kepala saat jarum jam menunjuk
pukul 12.33 WIB, Rabu siang kemarin. Mansur, 45 tahun, menginjak pedal
gas mobilnya seraya menggantung pijakan kopling. Mobilnya berjejer
dengan Metromini lain di ujung pintu keluar Terminal Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Metromini-Metromini itu menunggu penumpang yang mau naik menuju ke arah Blok M.
Sudah
beberapa bulan ini, saban siang sopir-sopir Metromini 75 jurusan Pasar
Minggu-Blok M mengoperasikan mobilnya tanpa ditemani kernet. "Kalau
siang begini pakai kernet malah rugi," kata Mansur membuka perbincangan
dengan merdeka.com kemarin. Dari sekitar 20 puluhan Metromini terparkir
di Terminal Pasar Minggu hampir semuanya tidak ada yang menggunakan
kernet.
Sekitar 16 mobil terparkir di dalam terminal tanpa sopir
dan kernet. Sedangkan sekitar lima Metromini mengantre menunggu
penumpang di ujung pintu keluar Terminal Pasar Minggu. Masing-masing
sopir sendiri. Mereka mengandalkan para timer pintu keluar untuk mencari
penumpang. "Lebih irit pakai timer, bayar Rp 3000 atau Rp 2000 setoran
enggak kurang," ujar Mansur. "Kalau pakai kernet, sewa sepi begini bisa
tekor"
Sejak sepinya sewa penumpang, para sopir Metromini 75
memang terpaksa tak menggunakan kernet. Alasannya, para sopir tak lagi
mampu untuk membagi pendapatannya buat kernet lantaran sepi penumpang.
Saban siang, para sopir Metromini 75 terpaksa jalan sendiri
mengoperasikan mobilnya buat menutupi setoran. "Sekarang susah sewanya,
kalau sepi begini bisa nombok terus," kata Mansur.
Pemandangan
ini memang menjadi santapan penumpang saban hari bagi yang hendak menuju
ke arah Blok M jika naik Metromini 75. Penumpang Metromini kini tak
lagi ditagih ongkos oleh kernet. Saat membayar, penumpang harus
mendatangi sopir yang berada di depan kemudi. Tentu hal ini menjadi
keluhan penumpang. Mereka terpaksa membayar ongkos kepada sopir ketika
hendak turun saat sampai tujuan.
Seperti Nita, 22 tahun,
mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta Selatan mengaku sudah
beberapa bulan ini setiap naik Metromini 75 saat siang hari, harus
membayar ongkos sendiri kepada sopir. Hilangnya kernet di Metromini 75
memang membuat permasalahan baru bagi penumpang.
Mereka harus
membayar sendiri ongkos kepada sopir seperti naik angkot. "Ribet ya,
dulu kalau mau turun tinggal bilang kernet, sekarang harus bayar dulu
baru turun," kata Nita.
Sepinya sewa penumpang sebetulnya juga
dipengaruhi oleh volume kendaraan dimana Metromini itu melintas. Seperti
Trayek Metromini 75 yang melintasi Jalan Raya Warung Buncit, Jalan
Kapten Piere Tendean dan Jalan Wolter Monginsidi hingga menuju terminal
Blok M, jalan-jalan ini selalu dipadati kendaraan bermotor. Apalagi
banyaknya persimpangan membuat ketiga jalan itu juga kerap dilanda
kemacetan pada jam sibuk.
Jadi bukan hal mengagetkan jika sepinya
penumpang juga dipengaruhi oleh macetnya jalan karena terus
bertambahnya jumlah kendaraan. "Paling parah macetnya di Mampang
Prapatan," ujar Nita.
Jika Mansur tak menggunakan kernet untuk
mencari penumpang, berbeda dengan Rizal alias Cungkring, sopir Metromini
74 Jurusan Blok M-Rempoa. Kebanyakan sopir Metromini 74 masih
menggunakan kernet meski sewa penumpang jarang. Cungkring mengaku jika
sewa penumpang sekitar tiga tahun ini mulai susah bagi para sopir
Metromini. Sewa penumpang sampai penuh dalam mobilnya, para sopir
Metromini 74 harus menunggu lama.
"Ya kalau penumpang sabar,
kita berangkat menunggu penuh," kata Cungkring di pintu keluar terminal
Blok M. Sepinya penumpang Metromini 74 diyakini Cungkring lantaran saat
ini banyak penumpang memiliki sepeda motor.
Salah seorang
penumpang Metromini 74, Elvira 30 tahun mengakui jika angkutan yang
saban hari dia tumpangi memang jarang terlihat. Selain jarangnya
Metromini 74, mobil ini juga kerap mengetem lama ketika mencari
penumpang. Jadi bukan hal mengagetkan jika metromini 74 kerap penuh.
"Kalau macet itu biasa, masalahnya Metromini ini ngetemnya lama," kata
Elvira yang berdomisili di Kebayoran Lama ini.
Hal ini juga
dialami Rio Afianda, seorang karyawan swasta di Bilangan Sudirman. Saban
mau naik Metro Mini 74, Rio harus menunggu. Sekali dapat, mobilnya bisa
ngetem lumayan lama lantaran menunggu penumpang. "Habis mau gimana,
Metromini ongkosnya lebih murah," kata Rio.
Untuk sekali bayar
sampai di sekitar daerah rumahnya, Rio hanya membayar Rp 4000. "Kadang
saya juga bawa motor, tapi parkiran di daerah Sudirman mahal," ujarnya.
Sepinya
penumpang angkutan Metromini bisa jadi disebabkan oleh membludaknya
kendaraan bermotor di Jakarta. Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya
mencatat jika jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya terus
meningkat. Tercatat sekitar 5.500 hingga 6000 unit kendaraan bermotor
membanjiri Jakarta saban hari. Tentu hal ini menjadi salah satu faktor,
banyaknya penumpang Metromini yang hilang dan penyebab kemacetan di
Jakarta. Kemacetan yang justru berimbas pada moda transportasi di
Jakarta seperti Metromini.
Akhir 2014 Polda Metro Jaya mencatat
sebanyak 17.523.967 jumlah kendaraan di Jakarta. Jumlah itu didominasi
oleh sepeda motor sebanyak 13.084.372 unit. Kemudian diikuti dengan
mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus
362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit.
"Ya sepinya penumpang mungkin karena orang sekarang banyak yang bawa kendaraan," tutur Rio.
memilih bertahan meski tergilas zaman
Memilih untuk tidak menggunakan kernet terpaksa dilakukan Mansur,
sopir Metromini 75. Walhasil, pendapatannya sebagai sopir Metromini
terus menurun sejak tiga tahun belakangan ini. Sekitar enam tahun lalu,
Mansur masih bisa membawa pulang uang sebesar Rp 250 ribu. Jika sedang
sepi, seperti hari libur Sabtu dan Minggu, dia membawa sekitar Rp 150
ribu.
"Sekarang penumpang jarang penuh, apalagi hari libur," kata
Mansur kepada merdeka.com di ujung pintu keluar Terminal Pasar Minggu
kemarin. Namun kini pendapatannya terus menurun. Sehari dia bisa membawa
uang Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu. "Itu pun tanpa kernet," katanya.
Mansur
memilih tidak menggunakan kernet memang beralasan. Bukan hanya dia
sopir Metromini yang tidak menggunakan kernet, melainkan banyak temannya
sesama sopir juga melakukan hal serupa. Alasannya, penumpang Metromini
kian hari terus berkurang. "Kalau pembagiannya tergantung saya.
Biasanya, kalau dapat Rp 200 ribu, kernetnya saya kasih Rp 50 ribu,"
kata Mansur. "Itu sudah termasuk makan sama rokok," ujarnya.
Namun
saat ini Mansur memilih tidak menggunakan kernet jika siang hari
lantaran sewa penumpang sepi. "Kalau pagi saya pakai kernet tembakan,
dua puteran saya bayar Rp 40 ribu," tuturnya.
Rabu kemarin memang
banyak Metromini 75 yang beroperasi tanpa kernet. Bahkan untuk menggaet
penumpang, sopir menggunakan jasa timer yang berada di ujung pintu
keluar terminal Pasar Minggu. Jika penumpangnya lumayan banyak,
Metromini di belakangnya bergantian mencari penumpang. Jika bangku
Metromini terisi, timer diberi Rp 3000 sampai Rp 5000. "Tergantung sopir
ngasihnya, kadang cuma Rp 1500," kata Black salah seorang dari 3 timer.
Jika
Metromini 75 masih bertahan, angkutan sejenis Metromini, yaitu Miniarta
jurusan Depok-Pasar Minggu kini sudah tidak terlihat sama sekali.
Bahkan dari Terminal Depok, tak satu pun sarana transportasi itu
terlihat. "Sudah tidak ada sekarang," kata Heru, pedagang minuman di
dalam Terminal Depok kemarin.
Hilangnya Miniarta jurusan
Depok-Pasar Minggu dikatakan Heru diyakini lantaran kalah bersaing
dengan angkutan perkotaan. Apalagi untuk jurusan Pasar Minggu-Depok,
Miniarta harus bersaing dengan Mikrolet M 04 yang sama-sama satu tujuan.
"Beda dengan dulu, kalau dulu penumpangnya banyak," ujar Heru.
Jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
andil dengan merevitalisasi Metromini dengan meluncurkan Metromini AC,
namun dampak itu tak dirasakan bagi para sopir. Justru Metromini kian
hari tak diminati penumpang lantaran jalan yang digunakan Metromini
kerap dilanda kemacetan. Seperti contoh, Metromini 62, jurusan Pasar
Minggu-Manggarai. Untuk menempuh jarak dari Pasar Minggu menuju Terminal
Manggarai, butuh waktu hampir satu jam.
Namun para sopir
Metromini 62 tetap mempertahankan para kernet untuk membantu mencari
penumpang. "Kalau tanpa kernet, makin ribet kalau ngembaliin uang
penumpang," kata Daniel Simangunsong. Daniel tetap mempertahankan
kernetnya meski penumpang Metromini jurusan Manggarai juga mulai sulit
mendapati penumpang. "Kalau pakai kernet, penumpang bisa terpantau,"
katanya.
Untuk menyiasati setoran, Daniel pun tetap beroperasi
saat jam-jam pulang sekolah. Padahal, di Jalan Raya Pasar Minggu,
Metromini 62 harus bersaing dengan Mikrolet 16 jurusan Kampung
Melayu-Pasar Minggu dan Metromini 640 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang.
"Kalau siang kita ngejar anak-anak pulang sekolah," ujarnya.
Nasib para sopir dan kernet Metro Mini memang seolah di ujung tanduk.
Mereka menjual jasa di tengah padatnya lalu lintas dan seolah tergerus
transportasi seperti TransJakarta dan Bus APTB.
Butuh Perhatian Khusus Pemerintah
Salah satu alasan penumpang memakai jasa Metromini karena tarifnya
murah. Sejak Metromini pertama muncul dan diresmikan oleh Gubernur Ali
Sadikin, moda transportasi publik itu memang sengaja dibikin dengan
tarif terjangkau rakyat kecil. Tapi bagaimana kondisi Metromini
sekarang? Ternyata mereka harus terseok-seok mencari penumpang.
Bahkan, menurut Cungkring, salah satu sopir Metromini, demi bertahan hidup di tengah kemacetan Jakarta,
para sopir Metromini terpaksa tak menggunakan kernet untuk menutupi
setoran. Belum lagi, para sopir harus membagi uang mereka dari pungutan
liar.
Cungkring harus bersabar menunggu penumpang yang mau naik
mobil Metromini yang dia bawa. Saban hari, Cungkring harus membelah
kemacetan di Jalan Arteri Pondok Indah untuk mengantarkan penumpang
sampai daerah Rempoa, Ciputat.
Jalur yang dilintasi Cungkring merupakan jalan padat kendaraan
bermotor, dimana saat jam-jam sibuk, trayek yang dia lalui selalu
dilanda kemacetan. Namun sebagai sopir yang sudah 15 tahun mengemudikan
Metro Mini 74 itu mau tak mau harus dijalani.
"Mau gimana, kalau
sepi begini terus pinginnya ganti kerjaan, tapi kerjaan apa," kata
Cungkring saat berbincang dengan merdeka.com di pintu keluar Terminal
Blok M, Jakarta Selatan kemarin. Buat mencari penumpang, Cungkring masih
tetap bertahan menggunakan kernet.
Jika di terminal, tak jarang dia juga menggunakan timer untuk
mencarikan penumpang. Jika di pintu keluar sepi, Cungkring pindah ngetem
di Jalan Melawai Raya. "Paling banyak penumpang di Jalan Melawai,
karena dekat pintu keluar Blok M Square," ujarnya.
Sudah beberapa
tahun ini, Cungkring merasakan sulitnya mencari penumpang. Sepinya
peminat Metromini diyakini Cungkring lantaran saat ini banyak penumpang
yang beralih menggunakan sepeda motor pengganti moda transportasi.
Padahal kata dia, ongkos yang dipatok Metromini masih terbilang murah.
"Rp 4000 sampai Rempoa," tuturnya.
Metromini 74 jurusan Blok
M-Rempoa boleh dibilang masih kuat bertahan lantaran trayeknya cukup
jauh. Namun bagi yang tingal di kawasan Tebet, Jakarta Selatan,
Metromini S 60 benar-benar menjadi kenangan. Metromini dengan trayek
Manggarai-Kampung Melayu via Tebet itu sudah punah. Padahal bagi
anak-anak sekolah di bilangan Tebet, mobil itu berjasa dan memiliki
kenangan tersendiri.
"Kabarnya tinggal 1 Unit, tapi sekarang sudah enggak pernah
kelihatan," kata Andri 30 tahun, salah seorang warga di Jalan Tebet
Utara saat ditemu kemarin.
Hilangnya Metromini di beberapa
trayek dan sepinya penumpang angkutan itu di Jakarta memang bukan tanpa
sebab. Akhir 2014 lalu Polda Metro Jaya mencatat ada sekitar 17.523.967
jumlah kendaraan di Jakarta. Jumlah itu didominasi sepeda motor sebanyak
13.084.372 unit. Kemudian diikuti oleh mobil pribadi sebanyak 3.226.009
unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus
137.859 unit.
Pengamat transportasi dari Forum Warga Kota
Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan, mengatakan jika sepinya
penumpang Metromini diakibatkan karena banyak penggunanya beralih
menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi. Peralihan itu
disebabkan lantaran pengguna angkutan umum di Jakarta terbilang mahal.
"Kenapa penumpangnya lompat ke sepeda motor? Karena naik angkutan
umum biayanya mahal. Dari gaji mereka sekitar 40 persen untuk naik
angkutan umum," katanya saat dihubungi melalui seluler semalam. "Kalau
pakai sepeda motor paling hanya sekitar 5 sampai 10 persen ongkos yang
dikeluarkan dari pendapatan."
Untuk menarik pengguna angkutan
umum khususnya Metromini dan Kopaja, Azas mengatakan pemerintah Provinsi
DKI Jakarta seharusnya merevitalisasi angkutan umum sekaligus mengkaji
kembali trayek angkutan umum. Meski sejak era Gubernur Joko Widodo,
penyegaran terhadap Metromini dilakukan, namun hingga kini dampak
angkutan yang pernah dihelat ajang Pesta Olahraga Negara-Negara
Berkembang atau Games of the New Emerging Forces (GANEFO), era presiden
Soekarno itu tetap sepi penumpang.
"Sekarang kalau busnya bagus tapi penumpangnya tidak ada kan sama
saja. Pemerintah juga harus memikirkan solusi soal penumpang itu,"
ujarnya.
Selain melakukan peremajaan dan mengkaji ulang soal
trayek Metromini, pemerintah juga harus memberi jaminan jika
transportasi mudah dijangkau. "Saya tidak melihat Pemprov DKI Jakarta
tidak serius merapihkan angkutan umum. Bukan sekadar memanjakan
penumpang, tapi biaya juga harus murah," tuturnya.