Tikus
TIGA minggu berlalu sudah. Hari-hari yang paling menyebalkan sepanjang
hidup Laide. Tak pernah ia merasakan diteror oleh kondisi seperti itu. Ia tak
perduli atau merasa takut bahkkan terancam jiwanya, kalau tiba-tiba saja ada
orang yang menelpon dan memberitahukan bahwa di salah satu ruang rumahnya sudah
terpasang bom, sisa dipencet langsung meledak. Kemudian memporak-porandakan
istananya yang sederhana dan miliknya satu-satunya itu.
Baginya tak ada seorang pun yang dapat menolongnya keluar dari teror
tersebut. Karena, semua orang yang ia ceriterakan bahwa ia mendapat musibah
berupa teror, orang-orang itu hanya tertawa ngakak dan mengatakan itu bukan
masalah. Kecil, dan sekali lagi problemnya sangat kecil.
“Tidak ada apa-apanya, hanya seperti ini,” kata seorang kawan karibnya
menyepelekan, sambil menjentikkan ujung kukunya.
“Apa yang mau ditakutkan. Tidak mempengaruhi perekonomian dan tidak masuk
dalam kategori menggangu stabilitas negara,” gurau kawannya itu.
“Itu betul, tetapi secara pribadi dan kemasalahatan rumah tangga, teror
tersebut sudah sangat membahayakan. Bahkan masuk dalam kategori siaga 1,” jawab
Laide dongkol.
“Apanya yang membahayakan ? Tikus-tikus kecil itu ? Ha ha ha,” tambah
kawannya menepuk bahu Laide.
Tikus. Betul, beberapa ekor tikus yang membuat Laide dibuat uring-uringan.
Binatang pengerek sipembuat teror. Tikus cicit, begitu julukan Laide. Tikus
yang jenisnya imut-imut, dengan moncong yang runcing dan berbau sengit. Semula
Laide tidak menghiraukan ulah tikus mungil tersebut. Ia menganggap aksinya
tikus itu hanya temporer, kalau sudah bosan di rumahnya akan pergi dengan
sendirinya ke rumah yang lain. Tidak membahayakan. Paling tidak terbilang
variasi suasana di zaman krisis seperti ini.
Tetapi setelah tikus-tikus itu meningkatkan aksinya menjadi anarkis,
menteror habis-habisan Laide sekeluarga, dan ia mulai kuatir dan cemas.
Mula-mula yang dimangsa tikus bangsat itu, kertas-kertas yang ada di meja kerja
Laide. Kemudian, keesokan malamnya, bantal kapuk yang ada di tempat tidurnya
dibobol, sehingga isi yang ada diperut bantal itu berhamburan memenuhi hampir
seluruh permukaan ranjang. Isterinya, Aida pun menjadi korban, rambutnya penuh
dengan bunga kapuk yang berwarna lusuh dan pengap. Nanti setelah asma isterinya
kambuh, sesak nafas karena alergi debu dan bulu barulah terbangun.
Apalagi yang diperbuat Laide dan Aida, selain mengomel sepanjang tengah
malam sampai fajar menyinsing dan mulai tidur lagi. Pagi harinya, kejadian
tragis tadi malam tidak disinggungnya, dianggap kejadian biasa. Aida bersenandung,
menjahit bantal yang dibobol oleh sang tikus. Itu baru awal dari teror dan aksi
kawanan begundal yang bernama tikus cicit.
Seminggu berlalu di rumah Laide, tiada malam tanpa aksi kawanan tikus cicit
itu. Bantal maupun kasur berulang-ulang dijebol, pakaian yang terlipat di meja
seterika pun dikerjain, memporak-porandakan dengan giginya yang runcing. Setiap
pagi hari, pasti berceceran bunga kapuk dan potongan-potongan kain yang
berbentuk seperti kertas selesai digunting. Itu belum apa-apa, dibanding malam
berikutnya. Moni putri kedua dari pasangan Laide dengan Aida digigit ujung ibu
jari kakinya. Sangat pelan tapi pasti, tidak terasa darah mengucur keluar dari
luka itu. Setelah merasa perih barulah terbangun dan melihat ujung kakinya
sudah hilang setengah centimeter digigit si tikus cicit.
Tidak tahan lagi keluarga Laide menghadapi ulah bajingan tikus cicit itu.
Mulailah ia mencari jalan keluar bagaimana menyingkirkan tikus-tikus tersebut.
Salah seorang teman sekantornya menyarankan agar Laide membeli kapur barus dan
menebarkan ditempat-tempat yang biasa si begundal itu beraksi. Namun apa yang
terjadi, keesokan paginya kapur barus yang disebarkan itu hilang tanpa, bekas,
dilahap tikus cicit sampai habis.
Tak mempan dengan kapur barus, Laide menebarkan sabun bubuk, saran ini dari
dari tetangga, yang katanya juga pernah mengalami peristiwa seperti itu. Hanya
segenggam detergen tikus yang menyatroninya berhenti berbuat ulah. Tetapi
nyatanya keesokan harinya kawanan tikus kembali dengan aksi serupa, bahkan meningkatkan
aksinya karena mendapat bonus dari tuan rumah berupa sabun bubuk yang
ditaburkan.
Paling aneh, bukannya tikus cicit itu menghentikan aksinya setelah beberapa
jebakan dipasang di setiap ruangan dengan umpan ikan asin yang sangat beraroma.
Malah, ikan asin yang dipasang sebagai umpan pun habis dilahapnya tanpa membuat
jebakan itu berfungsi. Makin membuat keluarga Laide jengkel setengah mati.
Sudah banyak cara yang telah diperbuat untuk mengusir kelompok pengacau
itu, seperti membeli beberapa kaleng lem tikus yang tidak murah harganya.
Setiap sudut ruang, tempat yang biasa dilewati tikus tersebut pun tidak
terlewati dipasangnya. Tetapi aksi-aksi Tikus cicit jalan terus, korban pun
masih berjatuhan. Frustrasi Laide bersama Aida dibuatnya.
“Kok, repot-repot nak, kalau ingin mengusir tikus seperti itu, tidak dengan
cara frontal. Mengeksekusi tikus punya cara tersendiri,” kata Uwak Sutte,
seorang yang dituakan dikampung itu, prihatin melihat aku sekeluarga frustrasi
dengan ulah tikus itu.
“Bagaimana caranya. Tidak tahan lagi aku dengan aksi anarkis kawanan tikus
itu,” tanya Laide.
“Gampang nak, sebentar malam, Sabtu kliwon, saatnya mengusir tikus dari
rumah,” Insya Allah, tikus itu pergi, “ tambah Uwak Sutte.
“Ya. Uwak, tetapi bagaimana caranya apa yang mesti aku lakukan,” tanyaku
penasaran.
“Begini mumpung masih siang, pergilah ke pasar beli sepotong gula merah dan
sebiji kelapa tua, jangan lupa beli tai bani1) dan setanggi,” jelasnya
meyakinkan Laide.
Sebenarnya Laide tidak mempercayai hal-hal yang berbau mistik dan gaib,
tetapi karena sudah tidak tahan terhadap gangguan serius si tikus bangsat itu,
Laide mengiakan dan menyuruh isterinya ke pasar membeli bahan sesaji yang
seperti dikatakan Uwak Sutte.
“Satu lagi, tikus-tikus itu harus disebut namanya dengan sopan. Kau tahu
Laide, menurut orang-orang tua seekor tikus itu punya nama dan paling tinggi
derajat kebangsawanannya diantara binatang pengeret. Panggilah ia dengan nama
Daeng Makki atau apa saja, yang paling penting jangan menyinggung perasaannya.
Jangan sebut ia binatang atau tikus sebab ia akan tersinggung dan merusak.
Kalau perlu sebutnya ia Karaeng2) atau Puang3),” tambah Uwak Sutte.
Sehabis Magrib, sesaji sudah diatur di atas tikar daun nipah, pedupaan yang
didalamnya terdapat arang membara dengan asap setanggi Arab yang mewangi yang
memenuhi seantero rumah. Laide bersila dihadapan Uwak Sutte, dan mulai mulutnya
berkomat kamit membaca mantera yang konon katanya juga sering dibaca oleh Nabi.
Laide tidak perduli mantera apa yang dibaca, Ia hanya ingin supaya tikus-tikus
itu tidak menganggu ketentraman rumah tangganya lagi.
Setelah membaca mantera pengusir tikus, Uwak Sutte menyalami Laide dan
isterinya. Dengan bersungut Uwak Sutte yang didampingi cucu perempuannya
mengatakan sebaiknya gula merah dan kelapa tua itu dibuat onde-onde atau kue
wajik dan dibagikan kepada tetangga, supaya punya berkah dan tikusnya kabur.
Malamnya Laide sekeluarga tidur dengan nyenyak. Sangat yakin tidak ada lagi
tikus yang menteror isi rumahnya. Tetapi apa yang terjadi, hampir subuh
mendadak Aida menjerit histeris. Awalnya Laide menyangkah ada maling yang
menyatroni rumahnya. Setelah lampu dinyalakan, tahu-tahunya dua ekor tikus
kecil memain-mainkan rambut Moni, putrinya. Anehnya kedua tikus tersebut tetap
saja tidak menghiraukan teriakan histeris Aida yang membangunkan tetangga
tersebut. Tikus cicit itu tetap saja bermain dan setelah melihat Laide tikus
itu pelan-pelan turun dari tempat tidur Moni dan menghilang di bawah lemari
pakaian.
Laide dengan baju tidurnya yang kebesaran itu menggerutu kecewa. “Apakah
mantera pengusir tikus Uwak Sutte tidak mempan ? Atau sesaji kurang ? Mungkin
sesaji itu belum dibuat onde-onde dan kue wajik dan dibagikan pada tetangga ?
Entahlah,” pikir Laide.
“Isteriku besok pagi kau mesti ke pasar beli empat potong lagi gula merah
dan dua buah kepala, kemudian buat onde-onde dan kue wajik dan bagikan kepada
tetangga,” kata Laide tanpa bersemangat.
Laide sudah kehilangan akal. Kesokan harinya ia sengaja ke mal untuk
mencari solusi. Ia ingin membeli alat pengusir tikus yang paling ampuh.
Sekarang Laide ibarat seorang presiden dikup oleh bengundal tikus. Hal itu
tidak bisa ia terima dengan alasan apa pun. Laide mencari jalan keluar untuk
itu.
Kebetulan seorang teman Laide mau meminjamkan alat pengusir tikus yang
dibelinya pada waktu Jakarta Fair tahun lalu. Alat pengusir tikus tersebut,
berupa alat magnetis, kalau disambungkan ke listrik maka akan mengeluarkan
gelombang suara dengan radius 50 meter persegi, yang membuat tikus menggigil
ketakutan seperti melihat tikus raksasa yang akan memangsanya.
“Sekarang trend tekhnologi, tikus yang hidup di era ini, tidak akan lari
kalau hanya dengan sesaji dan mantera. Tetapi coba dengan alat ini, kalau tikus
cicit itu tidak lari mendengar alunan suara magnetis yang menggaung, maka tikus
kecil itu akan tewas. Jangankan tikus yang bentuk kecil seperti kau bilang,
tikus besar seperti kucing pun akan kabur begitu mendengar suara dari alat
canggih itu,” Kata Sanggope, serius mempromosikan alat pengusir tikusnya yang
hanya sebesar batu bata itu.
Tentu dengan tidak menyia-nyiakan kemurahan hati Sanggope, Laide langsung
membungkus alat pengusir tikus magenetis itu. Masih sore, Laide sudah memasang
alat yang seperti bentuknya bom waktu, punya lampu merah yang berkedip-kedip
kalau sudah disambungkan ke aliran listrik. Meski lampu merah yang sebesar cabe
rawit menyala-nyala, telinga Laide tidak mendengar gelombang suara yang
dikeluarkan alat canggih itu. “mirip alat elektrik pengusir nyamuk. Hanya saja
alat pengusir tikus ini tidak mengeluarkan bau wangi,” kata Laide dalam hati,
optimis bajingan tikus itu akan kabur dari rumahnya.
Laide sangat percaya diri karena promosi temannya. Namun sialnya, kabel
alat pengusir tikus itu digerogoti sampai putus oleh kawanan tikus tanpa ampun
sehingga, membuat korseleting. Satu lagi masalah yang dibuat tikus-tikus
bangsat itu. Laide mesti membayar belasan ribu kepada Sanggope atas kerusakan
alat mangetis itu. Selain itu, setiap malam setelah itu, bunga kapuk,
potongan-potongan kain dari baju dan kertas berhamburan dan disatroni oleh
begundal tersebut. Pasti setelah kejadian itu Aida bertugas membersikan hasil
perbuatan si bangsat itu. Aida mulai bosan dengan kegiatan rutinnya yang baru
itu. Apalagi tikus-tikus itu makin bertambah jumlahnya, kalau dulunya hanya
tiga ekor sekarang sudah bertambah menjadi lima ekor.
Pikiran Laide makin kacau dan sangat traumatis. Mulai ia merangkak di
setiap sudut rumahnya, hidungtnya kembang kempis mengendus apakah sang tikus
tersebut punya bungker yang dijadikan sarang di bawah tanah. Kalau ia
mendapatkan bungker itu maka kesempatan untuk membasmi tikus tersebut dengan
membakar pintu masuk ke bungker tersebut. Sayangnya, seharian Laide yang
dibantu dengan isteri dan anaknya, tak satu pun lubang yang ditemukan.
Kebetulan waktu itu di bioskop studio 21 sementara diputar film Mouse Hunt.
Laide tak lewatkan kesempatan menonton film itu. Laide tidak melewatkan
kesempatan menonton film itu.
“Setidaknya aku dapat menimba ilmu bagaimana memburu tikus dan sekaligus
refresing,” katanya dalam hati, mengajak Aida dan Moni setelah seharian kerja
keras mencari bungker dalam rumahnya.
Ternyata setelah menonton film komedi tersebut, ia berkesimpulan nasib
kedua tokoh dalam film itu hampir sama dengan dirinya. Kedua tokoh dalam film
itu dibuat frustrasi oleh seekor tikus yang cerdik. Bahkan dipermainkan oleh
tikus secara lucu dan tragis. “Sialan tidak ada solusi,” gerutu Laide dalam
hati.
Keesokan paginya, setelah membersihkan potongan-potongan kertas koran yang
dirajam oleh tikus itu, Laide mengambil koran pagi yang baru datang. Tiba –tiba
matanya tertuju pada sebuah berita di kolom belakang. Gara-gara tikus, Ratu
Elizabeth harus diungsikan keluar dari Istana Buckingham, itulah yang
dilaporkan tabloid terkenal Inggeris Sun. Menurut tabloid itu, para pejabat
istana telah memanggil ahli pengendali binatang seperti tikus itu untuk
berkonsultasi sehubungan dengan dilakukannya renovasi istana. Kalau tikus-tikus
itu tak bisa dienyahkan dalam seminggu ini dapur istana barangkali terpaksa
ditutup.
Kalau dapur istana sampai ditutup, Ratu Elezabeth harus pindah sementara
dari istananya di London, ke kuil Widsor, sebelah barat ibu kota. Istana
Buckingham memang tengah direnovasi, dimana dalam pekejaan itu juga ada
perkerjaan pengalian yang membuat tikus-tikus itu punya akses ke dapur-dapur
istana. “Bukti sudah ada. Kami sudah menemukan tikus-tikus kecil, “kata juru
bicara istana. (Kompas 21 / 2 /2001).
“Tak bisa lagi ditunda, aku pulang ke rumah orang tuaku. Tak tahan aku
dikerjain oleh tikus bangsat itu. Terserah, kalau kau tidak mengenyahkan tikus
itu sampai besok pagi, maka tidak kata lain kecuali selamat tinggal,” Kata Aida
pada Laide.
“Apa aku tidak salah dengar ? Mau pulang ke rumah orang tuamu ? Musibah ini
terjadi bukan salahku. Aku sudah berusaha mengatasi tetapi masih juga beraksi
tikus itu,” kata Laide tenang.
“Tidak perduli. Bukan saja aku mau pulang ke rumah orang tuaku dengan
membawa Moni, tetapi aku juga minta cerai !” kata Aida sengit.
Seperti mendengar ledakan bom, Laide hampir saja jatuh tidak sadarkan diri,
kalau ia tidak sempat bepegangan di lemari.
“Oke, oke. Aku berusaha keras. Besok pagi dan hari-hari seterusnya kau
tidak akan pernah melihat lagi tikus dalam rumah ini,” balasnya sengit.
Malamnya Laide sangat gelisah, ia sudah punya cara untuk bertindak
menghabisi tikus-tikus cicit itu. Mula-mula Laide memasang jeratan tikus
sebanyak 3 buah di beberapa tempat yang kemungkinan si tikus itu akan beraksi.
Tetapi ia yakin tak akan pernah tikus itu masuk dalam jebakan tersebut. “Tak
apa sekedar mencoba saja untuk menipu tikus itu saja,” katanya dalam hati.
Kemudian lampu yang ada dalam rumah dipadamkan. Laide memasang strategi jitu,
ia mengunyah ikan asing lalu berbaring di lantai. Diam.
Tidak menunggu waktu lama, Laide sudah merasakan bagaimana tikus – tikus
itu mulai menaiki tubuhnya dan mengendus-endus di depan mulutnya. Begitu ada
kesempatan, ternyata Laide lebih tangkas dan cepat dari pada tikus-tikus itu,
dua ekor tikus cicit berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam mulutnya. Crook
, crook, crook, kepala tikus-tikus itu terpisah dengan tubuhnya masuk kedalam
mulut Laide.
“Rasakan, bagaimana engkau habis di dalam mulutku,“ seru Laide dengan
keras, membuat Aida terbangun dan menyalahkan lampu.
“Astagafirullah !”Teriak Aida.
tai bani1) : Lilin merah yang dipakai untuk upacara ritual
Karaeng2): panggilan untuk bangsawan Makassar
Puang3) : panggilan untuk bangsawan Bugis
0 comments:
Post a Comment