Berkali-kali mencoba pho (dibaca “fuh”, bukan “fo”) di Indonesia ternyata membuat saya agak sungkan. Bukan apa-apa, beberapa restoran cepat saji asal Vietnam di sini menyajikan pho yang cenderung hambar dan tidak berkarakter.
Tetapi kesungkanan itu hilang ketika saya pertama kali merasakan pho yang autentik di Hanoi. Ketika berkunjung ke Vietnam pada tahun 2009, saya menginap di rumah teman saya, orang Vietnam, yang dengan baik hati membuatkan rencana perjalanan di Hanoi — antara lain mencoba pho asli di warung sederhana di pinggir jalan.
Ternyata, pho yang saya coba mengejutkan. Penampilan yang sederhana tidak mengalahkan rasa segar kaldu dan lembutnya daging ayam. Pho, terutama jika dimasak dengan benar, akan terasa sangat lezat. Lebih lezat rasanya jika disajikan dari pedagang di pinggir jalan di Vietnam dengan tempat duduk kecil dan dimakan ketika musim dingin di Hanoi...
Pho pada dasarnya adalah sajian berkuah dengan mi pipih, ditambah daging ayam, sapi atau babi, direbus dalam kuah berisi rempah-rempah seperti kayu manis, cengkih, ketumbar polong, adas bintang dan kapulaga. Ditambah sumsum tulang sapi, jahe dan bawang bombay untuk menambah rasa. Sebagai pelengkap, biasanya ada daun mint segar, ketumbar, kemangi, tauge, jeruk limau dan irisan cabai untuk dituangkan sesuai selera. Jika mau, bisa ditambahkan cakue untuk tekstur.
Saya bertanya pada teman saya tentang sedikit sejarah sajian ini. Dia bilang, sajian ini berasal dari utara Vietnam. Dulunya dijual sebagai makanan rakyat dan sudah populer bahkan sebelum pendudukan Prancis. Pada masa pendudukan P,rancis ia semakin populer.
Teman saya bilang, sajian pho di utara Vietnam dan selatan Vietnam sedikit berbeda. Di utara Vietnam, terutama di Hanoi, sajian pho lebih minimalis. Ukuran mi lebih lebar dan banyak menggunakan bawang bombay.
Pelengkap sajian hanya berupa kecap ikan, kecap asin atau cuka. Di selatan Vietnam, kuahnya lebih manis dan memiliki banyak garnish sayuran. Masyarakat Vietnam di utara bisa menyantap pho untuk makan pagi, makan siang dan makan malam, sedangkan masyarakat di selatan hanya memakannya untuk sarapan atau sesekali makan siang.
Pho adalah makanan yang populer secara internasional, sudah dibuat restoran cepat sajinya, dan berevolusi sesuai masyarakat lokal. Variasi lainnya juga ada yang ditumis. Tetapi, tentu saja, pho yang asli adalah pho yang sehat dan lezat dengan kuah yang menggoda selera.
Sejak pulang ke Indonesia, saya masih belum mau mencoba pho “versi Jakarta”. Ini satu hal yang saya pegang teguh. Semoga pada akhirnya saya bisa menemukan pho yang autentik di sini!
ardhi y. purnama mengisi blog perjalanan di katakepo.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment