Katakepo.blogspot.com - Jika ada yang bertemu dengan pemilik SoldatenKaffee yang mengadopsi
elemen-elemen Nazi, Anda bisa bertanya sembari berkelakar: “Anda Nazi?
Kok kulitnya cokelat?”
Hitler, seperti yang sudah diketahui
banyak orang, bukan hanya membenci ras Yahudi, tapi juga percaya bahwa
ras Arya adalah ras yang paling superior. Semua orang Eropa berkulit
putih, selama tak tercampur darah Yahudi, dimasukkan Hitler ke dalam ras
Arya.
Di luar itu adalah ras kelas dua. Itu sebabnya rezim
fasis Jerman saat itu melarang orang-orang Jerman melakukan perkawinan
antar-ras. Sekali seorang Arya kawin dengan ras lain, maka keturunannya
tak lagi murni.
Pandangan Hitler terhadap ras-ras selain Yahudi
tidak begitu solid. Orang kulit hitam di Jerman tidak dibenci dengan
level yang sama seperti Yahudi, tapi mereka banyak juga yang dieksekusi,
dijadikan subjek eksperimen ilmiah, dan dianiaya.
Bagaimana
dengan orang Asia? Sama saja. Tetap dianggap sebagai ras kelas dua.
Kecuali bangsa Jepang. Orang-orang Jepang di Jerman saat itu diberi
status kehormatan sebagai ras Arya. Pendeknya: Arya honoris causa.
Itulah
sebabnya, orang-orang kulit berwarna yang (katakanlah) senang berkumpul
di SoldatenKaffee, boleh jadi akan masuk daftar pembantaian seandainya:
1) Hitler benar-benar jadi reich yang menguasai dunia dan 2) tak ada
Jepang yang saat itu jadi kolega Jerman dalam mengusung ideologi
fasisme.
(Tentu saja historiografi tak mengenal kata
“seandainya”. Tapi, seperti yang pernah dikatakan Guru Besar Sejarah UGM
Kuntowijoyo, “pengandaian” masih ada gunanya terutama untuk mempertajam
perspektif kita terhadap sejarah.)
Di artikel sebelumnya, saya
sudah menguraikan perspektif sejarah singkat mengapa tidak ada “tabu
Nazi” di Indonesia. Saya tidak akan mengulangi perspektif yang saya
pakai di artikel pertama. Anda tinggal membacanya kembali.
Kali
ini, guna mempertajam argumentasi di artikel pertama, saya ingin
mengatakan bahwa memang bukan pemilik SoldatenKaffee dan para pengunjung
kafe itu yang berbahaya.
Toh mereka adalah orang-orang kulit
berwarna — yang karenanya, dalam pandangan Hitler, tidak lebih baik dari
Yahudi alias sama-sama ras kelas dua.
Dan itulah sebabnya
mereka tak punya argumentasi untuk merasa lebih superior dari orang
Yahudi, apalagi untuk membantainya. Jika mereka pergi ke negara-negara
yang banyak dihuni kelompok neo-Nazi, mereka juga akan jadi sasaran
kebencian, sebagaimana nasib semua pendatang.
Di Indonesia,
tempat SoldatenKaffee berada, bukan pemilik dan pengunjung kafe itu yang
menjadi ancaman bagi Yahudi atau Israel. Yang kerap menggunakan
retorika anti-Yahudi justru antara lain kader-kader Partai Keadilan
Sejahtera, Front Pembela Islam, dan kelompok Islam militan lainnya.
Sikap
anti-Yahudi mereka kadang-kadang sukar dibedakan dengan kebencian yang
membabibuta. Sedikit-sedikit menyalahkan Yahudi, sedikit-sedikit
menyalahkan Israel, sedikit-sedikit menyalahkan zionisme.
Dan,
bukan sekali-dua saya menemukan, kadang tak jelas lagi beda antara
Yahudi, Israel dan zionisme. Pukul rata begitu saja. Mau bagaimana lagi?
Orang yang enggan berpikir sering kali justru mahir menemukan alasan
apa pun.
Di artikel pertama, saya menyebut SoldatenKaffee tak ubahnya seperti sebuah kartu pos bergambar fasisme.
Karena di sini, di Indonesia ini, fasisme yang menggunakan
simbol-simbol Nazi memang tidak ada. Fasisme Nazi tidak pernah menjadi
kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia pascakemerdekaan.
Tabu
Nazi adalah tabu Eropa dan trauma Nazi adalah trauma Eropa. Bukan
sekadar karena korban terbesar Nazi juga terjadi di Eropa, tapi Nazi
sendiri memang serupa “aib” yang jadi lubang hitam yang merongrong
keagungan gagasan Pencerahan Eropa, tentang Eropa yang humanis, tentang
Eropa yang beradab.
Bukan berarti saya setuju dengan pembantaian
Yahudi yang dilakukan Hitler. Karena yang mati adalah Yahudi Eropa, maka
kita tidak patut marah, bukan begitu.
Poinnya adalah: kita
memang tidak patut mengalami trauma — apalagi jadi paranoid — untuk apa
yang tidak kita alami (dalam hal ini kejahatan fasisme Nazi).
Saya
menolak trauma dan paranoia terhadap simbol-simbol Nazi karena itu
bukan trauma dan paranoia saya. Trauma dan paranoia tidak bisa
dipaksakan, bukan?
Trauma dan paranoia saya adalah penguasa
negeri ini yang membantai jutaan orang yang diduga komunis tanpa proses
peradilan. Trauma dan paranoia saya adalah serbuan bersenjata terhadap
orang Timor Leste dalam insiden Santa Cruz dua dekade lalu, juga
terhadap orang-orang Aceh yang dibantai di masa Daerah Operasi Militer,
juga terhadap orang dan aktivis Papua saat ini.
Trauma dan
paranoia saya adalah militer yang dengan mudahnya membantai mereka yang
bertato pada awal 1980-an dalam proyek keji Penembakan Misterius
(Petrus). Trauma dan paranoia saya adalah negara yang bertindak keji
pada orang-orang Islam di Talangsari, 1989, dan Tanjung Priok, 1984.
Trauma
dan paranoia saya adalah massa buas nan rasis yang membakari toko-toko
di Jakarta dan bahkan memerkosa perempuan-perempuan Tionghoa di jalanan
pada Mei 1998.
Trauma dan paranoia saya adalah para suporter
yang memukuli mobil dari kota lain atau suporter yang menyanyikan
yel-yel kelompoknya saat masuk penjara gara-gara membunuh suporter
lawan.
Trauma dan paranoia saya adalah mereka yang berteriak
“Allahu akbar” saat membantai jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan membakari
rumah milik umat Syiah di Sampang. Trauma dan paranoia saya adalah para
laskar yang tanpa ba-bi-bu memukuli orang-orang yang makan di siang
hari di bulan Ramadan.
Saya mengalami trauma dan jadi paranoid
karena di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu siapa saja bisa jadi
korban. Kemarin orang lain, hari ini kenalan jauh, besok mungkin saya,
lusa mungkin Anda. Kita tak akan pernah tahu sampai kemudian
mengalaminya. Semoga saja tidak.
Dan di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu, apalah artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?
Saya berusaha tidak takut pada simbol, karena saya tak pernah ingin memuja simbol.
0 comments:
Post a Comment