Tuesday, December 10, 2013

Murtado, Macan Kemayoran

Katakepo.blogspot.com - Foto itu menempel sendirian di dinding bercat kuning. Lusuh sudah kecoklatan. Bergambar lelaki kurus keriput, berpeci hitam dengan mata melotot. Seolah menatap saban tamu berkunjung ke rumahnya.

Dia mengenakan jas putih membungkus kemeja hitam, serupa pakaian khas suku Betawi. Tidak banyak yang mengenal siapa lelaki dalam foto itu. Namun empunya rumah mengaku pria dalam bingkai berukuran 30R ini ialah Murtado bergelar Macan Kemayoran. Seorang jawara kisahnya melegenda hingga saat ini.

"Itu ayah saya, Murtado Macan Kemayoran," kata Muhammad Ikhwan, putra dari Siti, istri ke-15 Macan Kemayoran, saat ditemui merdeka.com Jumat pekan lalu di kediamannya, Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Ikhwan lebih tersohor dengan sebutan Iwan Cepi Murtado. Dia mantan prajurit dari kesatuan Banteng Raiders.

Jejak Macan Kemayoran selama ini memang menjadi legenda rakyat. Kisah heroiknya di zaman penjajahan Belanda membuat nama Murtado mencorong. Bahkan saking terkenalnya, nama Macan Kemayoran digunakan untuk julukan Persatuan Sepak Bola Jakarta (Persija).

Murtado lahir di Kemayoran pada 1869 dan meninggal saat ulang tahun kemerdekaan ke-14 di Kebon Sirih, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ayahnya, mantan lurah bernama Murtado Sanim, dan ibunya adalah Aminah.

Umumnya anak Betawi zaman dulu, sejak kecil Murtado dikenal rajin mengaji dan belajar ilmu agama. Dia berani dan jago bela diri. Murtado dikenal jago toya, senjata biasa dipakai dalam kungfu china.

Gurunya banyak. Namun Iwan Cepi Murtado cuma ingat dua nama guru ayahnya: Kong Bek Guru di Sandang, Kemayoran, Jakarta Pusat, dan Guru Sandang asal Condet, Jakarta Timur. "Saya sempat menemui Guru Sandang sebelum ayah saya meninggal," ujar Iwan Cepi Murtado.

Guru Sandang hidup hingga lebih dari seabad. Dia sempat menemani Murtado dua pekan sebelum Macan Kemayoran dipanggil Sang Khalik. "Ada ilmu harus diambil, saya nggak tahu ilmu apa," tuturnya.

Cerita legendaris tentang Murtado memang betul adanya. Namun ada sedikit kisah berbeda dari Iwan Cepi Murtado. Saat Murtado berusia 20 tahun, dia berkelahi dengan Bek Lihun, orang kepercayaan Belanda untuk menagih pajak di Kemayoran. Dulu pajak dikenal sebagai upeti, sedangkan Bek adalah kepala kampung. Nama asli Bek Lihun ialah Solihun.

Bek Lihun terkenal kejam. Meski orang asli Betawi Kemayoran, namanya kesohor sebagai jawara paling ditakuti saat itu. Jawara se-Jakarta kala itu tidak bisa menumbangkan dia. Bek Lihun makin liar, dia dikenal tukang peras di tanah kelahirannya. Jika penduduk menolak kasih upeti, Bek Lihun tak segan menguras harta mereka. Bahkan, anak gadis juga bakal disita demi menakuti warga.

Nasib berkata lain ketika Bek Lihun menggoda dan hendak memperkosa kembang desa. Murtado turun tangan, dia berkelahi dengan Bek Lihun. Sejurus dua jurus, Bek Lihun jatuh, dia terbirit-birit meninggalkan Murtado.

Sejak saat itu Belanda mengganti Bek Lihun ke Murtado. Dia dipercaya menagih pajak hasil bumi di Kemayoran. Murtado malah berkhianat. Dia mengambil upeti itu untuk dibagikan kepada warga Kemayoran.

0 comments:

Post a Comment