Saturday, March 1, 2014

Menunggu ajal di rumah Anak Raja

Katakepo.blogspot.com - Guratan di wajahnya menandakan dia sudah tua. Kulitnya keriput dan badannya juga makin gemuk. Di sela kaus tanpa lengan berwarna kuning, sisa bentuk payudara palsunya masih terlihat. Di balik kulit keriput dengan puting menyembul dia telah bertobat. Berhenti meninggalkan dunia jalan sebagai seorang transgender.

Oma Yoti, 70 tahun, saban hari kini sibuk menyiapkan makan dan merapikan rumah singgah waria Anak Raja di Cinere, Kota Depok, Jawa Barat. Kalau tak sibuk, dia lebih banyak menyendiri di dalam kamar atau membaca Alkitab.

Nama aslinya Yopie. Dia anak pensiunan polisi. Di ujung usianya Yoti mengabdi, membantu rekannya sesama waria, baik sakit atau menerima tamu datang berkunjung ke rumah singgah.

Sejak usia setengah abad, Yoti memutuskan berhenti berburu syahwat kepada laki-laki. Dia lelah setelah berkelana dari pulau ke pulau, bahkan hingga ke luar negeri. Yoti pernah menjejakkan kakinya di Malaysia dan Singapura. Di sana dia bekerja dengan keahliannya sebagai juru masak. Sampingannya, Yoti dipelihara oleh seorang polisi Malaysia.

Dilahirkan sebagai lelaki, namun Yoti nyaman hidup menjadi perempuan. "Saya sudah ke mana-mana," kata Oma Yoti dengan suara parau saat ditemui merdeka.com Selasa pekan kemarin di rumah singgah waria Anak Raja.

Yoti memutuskan tidak lagi berhubungan badan sesama jenis karena usianya mulai menua. Dia ingat jelang habis umurnya dia belum berbuat baik. Perjalanan panjang Yoti bukan sebuah pilihan. Tuhan telah memberikan dia lika-liku hidup sebagai seorang waria.

Yoti mulai mrasakan keanehan dalam tubuhnya sejak kecil. Ketika berusia sepuluh tahun, dia lebih menjiwai sebagai perempuan. Dia asyik bermain dengan teman wanita sebaya "Pas SMP saya sudah mulai suka dengan laki-laki. Kalau lihat cowok ganteng rasanya ser seran " ujarnya.

Sejak saat itu, perilaku Yoti tak bisa dibendung hingga akhirnya dia beranjak dewasa. Buntutnya, selepas tamat sekolah menengah atas, keluarga mengusir dia lantaran ketahuan tidur sekamar dengan lelaki. Pria itu tamu ayahnya sesama polisi.

Hari itu juga, Yoti pergi meninggalkan rumah orang tuanya di Cawang, Jakarta Timur. Hanya baju menempel di badan saja dia bawa. Demi memenuhi kebutuhan hidup, Yoti terpaksa turun ke jalan. Dia mangkal di pelbagai lokasi, mulai Taman Anggrek, Jakarta Barat, hingga Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Modalnya baju bekas dia beli di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur.

"Demi makan saya akhirnya nyebong di HI. Kalau tidak saya makan dari mana?," ujarnya. Nyebong istilah bagi waria kerap menjajakan diri, seperti di Taman Lawang, Jakarta Selatan, atau di sekitar Jatinegara.

Lika-liku hidup Yoti berhenti saat dia bertekad menanggalkan penampilan layaknya perempuan. Di Malaysia, dia mencoba peruntungan lain bekerja pada perkebunan kelapa sawit. Sejak saat itu, badannya sudah tak terurus. Namun godaan tetap saja datang. Banyak lelaki mengajak dia tidur. Yoti terpaksa kembali menjajakan diri untuk menyambung hidup. "Saya ingin berubah. Saya tidak tahu besok terjadi apa dengan saya," ujarnya sedih seraya menundukan kepala.

Sekarang Yoti merupakan penghuni tetap di rumah singgah khusus untuk waria usia lanjut di kawasan Cinere, Depok. Sebuah kampung tak jauh dari masjid Kubah Emas Dian al-Mahri. Jabatan Yoti sebagai Kepala Rumah Tangga menaungi 14 waria tua senasib dengan dirinya.

Rumah singgah waria ini berdiri akhir Maret 2010. Penggagasnya Yulianus Rettoblaut, 52 tahun, seorang transgender kesohor disebut Mami Yulie. Dia juga menjabat Ketua Forum Komunikasi Waria se-Indonesia. Mami Yulie kerap menghiasi sejumlah media nasional di Jakarta.

Saat pemilihan gubernur Jakarta tahun lalu, Mami Yulie berserta waria naungannya mendukung Jokowi. Dia pernah mendaftarkan diri sebagai komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2007 dan 2012. Namun sayang, Mami Yulie tak pernah lulus. Dia hanya sampai uji kelayakan.

Gagasan membuat rumah singgah muncul kala dia datang ke Jakarta dan hidup sebagai seorang transgender. Pada 1980 dia tak kuasa menahan air mata melihat kaum waria sulit diterima di tengah masyarakat. Banyak temannya sesama waria tua saat itu dikubur secara massal. "Banyak waria tua mati tapi masyarakat menolak menguburkan. Dengan ini, saya bisa bantu teman-teman," kata Mami Yulie.

0 comments:

Post a Comment