1. Bumi Kita Makin Gemuk
Dalam beberapa dekade terakhir planet Bumi yang kita tinggali ternyata kian gemuk, jauh lebih bulat. Perubahan iklim memicu perubahan itu.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa bumi tak berbentuk bola sempurna, melainkan agak gepeng di kedua kutubnya. Bentuk ini tercipta karena Bumi berotasi selama miliaran tahun, sehingga menggelembungkan permukaan di bagian khatulistiwa.
Radius planet di daerah khatulistiwa 20,9 kilometer lebih panjang dibandingkan di daerah kutub. Perbedaan radius ini menyebabkan puncak sebuah gunung di Ekuador sebagai titik terjauh dari pusat Bumi, bukan puncak Gunung Everest.
Perubahan ini terjadi selama beberapa puluh tahun terakhir. Lapisan es setebal beberapa kilometer yang menutupi belahan utara selama 22 ribu tahun terakhir perlahan mulai mencair. Pencairan ini mengurangi jumlah massa yang menumpuk di atas kerak Bumi. Akibatnya kerak di bagian utara melambung ke arah luar, membuat Bumi lebih gembung.
“Sejak pertengahan 1990-an Bumi lebih bulat dari sebelumnya,” ujar insinyur antariksa dari University of Colorado, Steve Nerem.
Mencairnya gletser di Greenland dan Antarktika menjadi penyebab utama penggemukan Bumi ini. Air yang meleleh dari daerah tersebut mengalir ke khatulistiwa. Menurut dia, setiap tahun kedua daerah ini kehilangan es sebesar 382 miliar ton. Pengurangan massa yang harus ditopang membuat kerak Bumi di sekitar kutub utara menggembung 0,71 sentimeter tiap dekade.
Penggemukan Bumi bisa dikaitkan dengan perubahan iklim. Pencairan lapisan es sebagian besar disumbangkan oleh memanasnya atmosfer Bumi akibat terlalu banyak menyimpan gas rumah kaca. Peneliti terus mengikuti perkembangan penggemukan Bumi ini menggunakan Gravity Recovery and Climate Experiment (GRACE) hingga satelit ganda ini selesai beroperasi pada 2016.
2. Permukaan Air Laut Meningkat
Tinggi permukaan laut di seluruh dunia pada abad ini meningkat lebih cepat dari perkiraan semula. Pemanasan Arktik dan sebagian lapisan es di Greenland ditenggarai menjadi penyebabnya.
Berdasarkan laporan Arctic Monitoring and Assessment Programme (AMAP), permukaan laut pada 2100 diproyeksi naik pada rentang 0,9-1,6 meter. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 2007 yang memperkirakan kenaikan permukaan laut sebesar 0.17-0,58 meter di penghujung abad. Sebagai catatan, laporan IPCC tidak memasukkan faktor percepatan pencairan es di kawasan kutub utara.
AMAP menyebutkan pencairan tudung es di Arktik dan lapisan es di Greenland merupakan penyebab utama kenaikan permukaan laut ini. "Enam tahun terakhir merupakan periode terpanas yang pernah tercatat di Artika," tulis AMAP dalam laporannya.
Data milik IPCC menunjukkan peningkatan suhu di kawasan Artika dua kali lebih cepat dibandingkan di kawasan lain di seluruh dunia. Bahkan, catatan suhu di Arktik menorehkan rekor tertinggi untuk periode dua milenium terakhir.
Menurut laporan IPCC, 90 persen kenaikan suhu rata-rata dunia disumbangkan oleh emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia. Kegiatan yang dimaksud adalah pembakaran sejumlah besar bahan bakar fosil dalam beberapa dekade terakhir.
Penambahan tinggi permukaan laut menambah ancaman bagi pantai-pantai di Bangladesh, Florida, pulau-pulai kecil di Samudera Pasifik, dan kota-kota besar seperti London dan Shanghai. Peningkatan ini juga akan menambah biaya pembangunan tembok penahan tsunami di Jepang.
Sementara di Indonesia, kenaikan permukaan laut mengancam keberadaan pulau-pulau kecil seperti yang terdapat di Kepulauan Seribu. Beberapa pulau diperkirakan akan menghilang selama satu abad ke depan.
Kondisi pantai di Teluk Jakarta juga terancam tenggelam. Ancaman ini semakin besar dengan terjadinya penurunan permukaan tanah di berbagai tempat di Provinsi DKI Jakarta
3. Danau Semakin Panas, Jauh Lebih Tinggi Daripada Udara
Studi yang dilakukan badan antariksa Amerika NASA menemukan adanya peningkatan temperatur danau-danau di dunia. Peningkatan temperatur air danau jauh lebih cepat daripada udara.
Dua peneliti NASA menggunakan data satelit untuk memantau 104 danau besar di seluruh dunia. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata danau memanas 1,1 derajat Celsius sejak 1985. Angka itu sekitar dua setengah kali lipat kenaikan temperatur global dalam periode yang sama.
Danau Ladoga di Rusia dan Danau Tahoe di Amerika menunjukkan pemanasan tertinggi. Peneliti studi itu, Simon Hook, ilmuwan di Jet Propulsion Lab di Pasadena, California, Danau Tahoe memanas 1,7 derajat Celsius sejak 1985, sedangkan temperatur air Ladoga melonjak hingga 2,2 derajat Celsius.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Geophysical Research Letters, Hook dan timnya menggunakan sejumlah satelit dan analisis citra thermal inframerah danau-danau itu pada musim dingin dan panas. Mereka juga membandingkan angka itu dengan data yang dicatat pelampung yang dipasang di danau tersebut.
“Hasilnya cocok dengan apa yang kami lihat pada pengukuran temperatur udara,” kata Hook. “Kami terkejut bahwa di beberapa tempat, pemanasan danaunya jauh lebih tinggi daripada temperatur udara.”
Kini para ilmuwan tersebut berusaha menelitu mengapa danau lebih cepat memanas daripada udara atau tanah. Salah satu alasan mengapa danau memanas adalah danau lebih lambat memanas daripada tanah, namun juga lebih lambat mendingin.
Meski tak terlibat dalam studi itu, ilmuwan iklim NASA Gavin Schmidt mengatakan riset tersebut masuk akal dan mendukung sistem pengukuran independen lain untuk memperlihatkan bahwa bumi ini tengah memanas.
Secara keseluruhan, 41 danau memperlihatkan kenaikan temperatur secara signifikan, sedangkan kenaikan temperatur 59 danau lainnya tidak dianggap signifikan. Hook mengatakan hanya empat danau yang temperaturnya turun, namun tidak signifikan.
4. Pemanasan Global Picu Migrasi Hewan Laut
Meningkatnya suhu global mendorong spesies hewan laut dan ikan bergerak ke perairan yang lebih dingin dan lebih dalam. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti Kanada telah menemukan, hal tersebut menyebabkan adanya peningkatan dominasi penangkapan ikan di wilayah perairan yang lebih hangat.
Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas British Columbia mempublikasikannya dalam jurnal Nature pekan ini, hal utama yang ingin ditunjukkan adalah bagaimana pemanasan global mampu membuat perairan laut ikut memanas dan berdampak pada komposisi spesies yang ditangkap oleh nelayan selama empat dekade terakhir.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa spesies laut telah berpindah lokasi seiring peningkatan suhu laut, yang membuat sekumpulan ikan secara gradual pindah dari perairan hangat ke perairan yang lebih dingin.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa spesies dari perairan hangat juga telah menggantikan spesies asli yang ditangkap nelayan di seluruh dunia, sejak 1970. "Salah satu cara untuk hewan laut untuk merespon pemanasan air laut adalah dengan pindah ke daerah dingin," kata ketua peneliti tersebut, William Cheung, seperti dikutip dari laman Xinhua, Jumat 17 Mei 2013. Akibatnya, tempat-tempat seperti Inggris Baru di pantai timur laut Amerika Serikat terlihat spesies baru yang biasanya ditemukan di perairan hangat, lebih dekat ke daerah tropis.
Menurut para peneliti, pergeseran ini bisa memiliki beberapa efek negatif, termasuk pengurangan besar dalam volume tangkapan ikan di daerah tropis, dimana suhu air tidak lagi cocok untuk spesies perairan tropis sehingga mereka bermigrasi ke perairan lebih dingin.
Dampak lainnya, dapat menurunkan keuntungan dan pekerjaan para nelayan, adanya konflik atas kemunculan ikan-ikan baru karena pergeseran distribusi, dan masalah keamanan pangan, terutama di negara-negara berkembang.
0 comments:
Post a Comment