Saturday, August 3, 2013

Pelajaran Berharga dari Deles Indah, Klaten

Katakepo.blogspot.com - Hari itu, tepatnya hari Rabu. Bersama dengan sang saudara yang lahir mendahului saya, kami pergi dari rumah tanpa ada tujuan yang pasti. Tampaknya kebiasaan ini memang ada di dalam jiwa kami masing-masing. Kami suka pergi untuk mencari tempat dan hal-hal baru yang belum pernah kami datangi dan kami nikmati. Perjalanan kami hari ini pun akhirnya sampai di tempat yang tidak kami duga sejak berangkat tadi.
Rencana awal kami, hari ini hendak pergi ke suatu kota yang sudah amat terkenal dengan Jalan Malioboro. Alih-alih, perjalanan secara spontan berganti dengan jalan menantang menuju daerah wisata Deles Indah, sebuah lokasi wisata yang bagi kami berdua memiliki kadar ekstremitas tersendiri, karena letaknya cukup tinggi di atas permukaan laut. Namun, untuk kali ini rasa penasaran menambah jiwa keberanian kami untuk menuju lokasi. Tanpa ada rasa rendah diri kami pun mengarahkan sepeda motor kami ke arah kanan di pertigaan sebelum pabrik gula Gondang Winangoen di Klaten. Kondisi jalan di sini memang sedikit mengerikan. Lubang jalan yang lebarnya selebar kubangan kerbau pun selalu siap menghadang di jalan depan. Truk-truk pasir dengan muatan penuh siap menghalangi jalan kami dengan tumpahan pasirnya. Sempitnya jalanan pun harus kami bagi dengan pengendara-pengendara di sekitar kami. Keletihan, kesemutan, dan panasnya mesin bercampur menjadi satu pada saat itu. Namun, kami pantang istirahat sebelum sampai di tujuan akhir. Rasa penasaran menambah keinginan kami untuk segera sampai ke tujuan akhir. Setelah berjalan sekitar satu setengah jam dengan menghindari lubang-lubang jalan, kami pun sampai di tempat pembayaran tiket masuk.
Sungguh perjalanan yang sangat memuaskan. Ternyata dengan segala ketakutan kami untuk menghadapi sesuatu yang belum pernah kita coba mendapatkan hasil yang luar biasa. Walau, kami sedikit kecewa, karena tidak ada informasi mengenai tujuan selanjutnya setelah sampai di sini.





Akhirnya, kami memutuskan untuk turun lagi. Kami berdua ingin merasakan sensasi pemandangan yang luar biasa lebih dari ini. ini bermula ketika saya berpikir, dari tadi motor kami berpapasan dengan truk pasir bermuatan penuh. Lalu saya berpikir lagi, di mana tempat truk-truk itu tadi mendapatkan pasir sebanyak itu? Tujuan kami selanjutnya pun adalah mencari lokasi tempat di mana truk-truk besar tadi mendapatkan bebannya. Tak tahu arah sudah pasti, kami kemudian bertanya kepada warga sekitar tentang di mana truk-truk tadi mendapatkan pasir muatannya. Dengan ramah warga yang kami tanyai menjawab dengan baik. Kami pun segera meluncur ke sana sesuai petunjuk warga. Sudah seperti yang saya duga, jalan menuju lokasi ternyata lebih terjal dan curam dari yang tadi. Dengan permukaan jalan penuh batu dan kerikil membuat sepeda motor kami bekerja lebih keras. Mustahil untuk memutuskan untuk kembali setelah sekian jauh. Setelah berhasil menghadapi ujian jalan tadi, kami pun berhenti pada suatu titik di mana tempat itu menjadi tempat yang paling indah untuk mengambil foto. 





 Sebuah pelajaran saya dapatkan kali ini, betapa kerasnya pekerjaan orang-orang yang saya temui di tempat ini. Mereka bekerja bertaruh nyawa demi kehidupan keluarga. Mengangkat batu dan menaikkan pasir ke atas bak truk menjadi pekerjaan sehari-hari. Lelah atau sakit pun tak pernah mereka rasakan. Hal itu membuat segala keluhan kami selama di perjalanan tak mungkin saya ulangi lagi. Kami terdiam sesaat melihat semua keadaan ini. Dalam diamnya kami, kata pertama yang terucap pada saat itu adalah, “Ayo ndang muleh mas”. Ayo, segera pulang.



Dalam perjalanan pulang, banyak sekali pedagang durian. Kami yang hendak pulang, tidak sah rasanya bila tidak membawa satu dari dagangan ini. Setelah melewati beberapa pedagang di pinggir jalan akhirnya kamipun berhenti di sebuah lapak kecil dengan nenek tua yang duduk di antara puluhan buah dagangannya. Kakak saya langsung bertanya kepada sang nenek mengenai berapa harga buah tersebut. Apa yang saya duga ternyata benar, harganya sedikit lebih murah bila dibandingkan dengan harga durian di kota dengan kualitas yang sama. Kami pun mendapatkan tiga buah durian dengan harga Rp50.000.
Pesan dari perjalanan ini, berwisatalah atau bepergianlah tanpa ada tujuan yang jelas dan matang. Karena dengan itu, anda akan menemukan banyak pelajaran berharga yang tak mungkin bisa dibeli dengan uang. Salam!


Ketenangan di Desa Coloane, Makau

Katakepo.blogspot.com - Makau, negara tetangga Hong Kong yang hanya seluas kota Bogor ini memang sangat terkenal dengan kemewahannya. Suasana yang gemerlap di malam hari, dentingan mesin-mesin kasino, pertunjukan-pertunjukan spektakuler, dan pemandangan deretan gedung hotel raksasa yang tinggi menjulang menjadi suatu daya tarik para turis untuk berkunjung ke tempat ini, baik sekedar belibur melepas penat maupun menghabiskan pundi-pundi uang mereka di meja judi.





Namun, di balik suasana kota modern yang serba glamor tersebut, tersembunyi sebuah desa yang sunyi dan sederhana di pinggiran kota bernama Coloane. Tempat ini pulalah yang menjadi tujuan utama saya ketika berkunjung ke Makau. Maka, setelah puas berkeliling Senado Square, saya langsung menaiki bus nomor 26A (alternatif lain adalah bus no. 21A yang juga lewat di depan halte Senado Square) dari halte bus di depan Largo de Senado menuju Coloane Village, perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Suasana di dalam bis sangatlah nyaman, selain sejuk ber AC, terdapat pula monitor di depan bus dalam tiga versi bahasa, Cantonese, Inggris, dan Portugis yang sangat ramah terhadap turis. Monitor bersuara tersebut adalah petunjuk nama halte selanjutnya yang akan disinggahi bus tersebut, sehingga kecil kemungkinan akan tersesat atau terlewat. Sebaiknya kita bayar ongkos bus dengan uang pas, karena jika uang yang kita bayarkan jumlahnya lebih besar, maka selisihnya tidak akan dikembalikan. 





Di sepanjang jalan menuju Coloane, tampak plang-plang jalan dengan bahasa Portugis dan mobil-mobil mewah yang berlalu lalang. Tak lama kemudian, sampailah bus di tempat tujuan. Saya turun di halte bus Coloane Villa dan langsung menuju Lord Stow’s Bakery untuk mencicipi Portugese egg tart yang sangat legendaris di seantero Makau. Lord Stow’s Bakery ini adalah toko pertama dimana portugese egg tart pertama kali diproduksi, jam buka mulai pukul 10.00 pagi, semakin siang antriannya semakin panjang. Jika telah membeli egg tart, cobalah untuk duduk-duduk sebentar di bangku besi yang terletak menghadap ke jalan di depan toko tersebut sambil menikmati egg tart yang bertekstur lembut dan harum tersebut. Sebenarnya, Lord Stow’s ini sudah membuka cabangnya di The Venettian Hotel, tetapi saya tetap ingin mengunjungi kedai pertama mereka yang dibangun di Coloane, tepatnya di Rua de Cordoaria. Jika belum juga kenyang dengan eggtart, di sek itar Lord Stow’s Bakery terdapat Lord Stow’s Cafe yang menyuguhkan makanan berat. Keduanya selalu dipenuhi oleh pengunjung sehingga kita harus rela untuk mengantri.


Setelah melepas rasa penasaran dengan egg tart, saya pun lanjut menelusuri sudut-sudut lain di desa ini. Di sebuah taman kecil terlihat pasangan suami istri yang sedang asyik mengobrol santai, di ujung jalan tampak seorang wanita berpakaian kasual sedang mengajak kedua anjingnya berjalan-jalan, tidak jauh kemudian terlihat pasangan muda yang sedang menikmati makan siang di sebuah kafe di pinggir jalan. Saya terus berjalan menuju Rua de Interior. Sungguh cantik sudut jalan ini, rumah-rumah bertingkat khas Portugis berukuran mini bersandingan satu dengan yang lainnya tanpa dibatasi pagar, beberapa memiliki pekarangan kecil dengan bunga warna warni dalam pot yang membingkai jendela. Di sudut jalan lain, banyak pula rumah tua di lorong-lorong kecil yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, walaupun sempit, namun sangat bersih dan tertata.
Saya pun terus menyusuri hingga masuk ke dalam pasar. Pasar di Coloane adalah sederetan kios-kios kecil yang berjejer dalam gang yang sempit, panjang gang ini hanyalah sekitar 20 meter, lebih mirip seperti deretan warung dibandingkan dengan pasar. Hanya beberapa kios saja yang buka pada saat itu, selebihnya tutup. Ternyata, pasar di sana hanya ramai pada saat akhir minggu. Terlihat pula beberapa wanita yang sedang mengobrol, menunggui kiosnya sambil menggendong anak–anak mereka.
Di ujung gang pasar tersebut, berdirilah Chapel of St. Francis Xavier yang dirikan pada tahun 1928, bangunan ini memiliki keunikan jendela yang berbentuk oval dan terdapat menara lonceng di atasnya. Di depannya, terdapat sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang kemenangan warga lokal terhadap para bajak laut pada tahun 1910. Dahulu, Coloane merupakan sebuah desa nelayan dan pelabuhan perdagangan. Karena itu, banyak terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh para bajak laut, sehingga memicu penyerangan warga lokal terhadap bajak laut. Kemenangan inilah yang diperingati warga dalam bentuk monumen tersebut. Jika perut terasa lapar, mampirlah sebentar ke Kafe Nga Tim yang terletak di sebelah kapel tersebut untuk mencicipi kuliner khas Portugis, atau hanya sekedar duduk beristirahat. Kafe ini selalu ramai oleh turis karena masakannya terkenal sangat lezat.







Di seberang kapel tersebut, kita bisa melihat laut yang memantulkan cahaya temaram ketika matahari mulai terbenam. Rentetan mobil mewah terparkir di sepanjang garis laut tersebut. Tak jauh dari sana, tepatnya di Avenida de Cinco de Outubro, terdapat Kuil Tam Kung yang sangat khas dengan ornamen Cina dengan dominasi warna merah menyala pada bangunannya.
Kebanyakan warga Coloane memang tidak dapat berbahasa Inggris, mereka hanya bisa berbahasa Cantonese, jadi agak sedikit sulit jika bertanya jalan atau arah kepada mereka.
Tetapi jangan khawatir, karena Coloane sangatlah kecil, ke manapun kita melangkah pasti dapat menemukan jalan pulang dengan mudah. Setengah hari sangatlah cukup untuk menjelajahi tempat ini. Saya benar-benar puas menikmati suguhan suasana yang ditawarkan desa nelayan ini. Selain udaranya yang masih segar, kondisi lingkungannya pun sangat bersih, tertib, dan rapi. Perpaduan arsitektur Cina dan Portugis masih terasa sangat kental. Selain itu, banyak fasilitas publik yang bisa dijadikan tempat berkumpul warga setempat, sehingga kita akan betah berlama-lama berada disini. Suasana yang benar-benar damai, tidak ada yang tergesa-gesa, jauh dari hiruk-pikuk dan hingar bingar, semua terlihat tenang seperti air yang mengalir.
  • Disunting oleh SA 27/06/2013









Kota Tua Veliky Novgorod, Rusia

Katakepo.blogspot.com - Perjalanan ke Veliky Novgorod memakan waktu sekitar lima jam dengan kereta cepat dari Moskow. Novgorod terletak antara kota Moskow dan St. Petersburg, sepanjang sungai Volkhov. Novgorod baru saja berulang tahun ke-900 saat saya tiba. Kota ini sendiri berumur lebih tua dari itu (nama kota Novgorod tercatat sejak tahun 862). Menurut sejarahnya, Novgorod adalah kota perdagangan penting dan pernah melepaskan diri dari Rusia. Kota ini memiliki sejarah panjang dengan bangsa Skandinavia dan disebut sebagai ibu kota bagi empat raja Viking. Banyak manuskrip Slavik dan Finlandia ditemukan di kota ini.

Pada tahun 1570, Novgorod “dipaksa” bergabung kembali oleh Rusia setelah mengalami kelaparan berkepanjangan dan pembunuhan massal oleh Pangeran Ivan (Ivan The Terrible). Kremlin yang ada di Novgorod bisa jadi Kremlin pertama di Rusia. Kremlin sendiri berarti “gerbang”. Di dalam Kremlin terdapat Monumen Millennium of Russia, bercerita tentang 100 tokoh paling berpengaruh di Rusia. Terdapat pula Katedral St. Sophia. Kubah gereja Rusia yang berbentuk bawang bombay terinspirasi dari topi prajurit perang. Ketika perang musim dingin, bentuk ini tidak menahan salju di atas kepala. 






Mengingat kota ini berpenduduk padat, penyebaran informasi/tanda bahaya bagi masyarakat jaman dulu menggunakan lonceng kota. Ada banyak lonceng di dalam Kremlin yang memiliki fungsi informasi berbeda. Dari Kremlin, saya dan teman-teman menyebrangi jembatan ke sisi seberang sungai ke arah Yugoslav Court dan beberapa katedral kecil yang sangat tua. Toko-toko tanda mata pun banyak ditemui. Penduduk Novgorod terkenal sebagai pengrajin kayu yang hasilnya lebih halus dan (tentu saja) harganya lebih mahal daripada di Moskow.



Di tepi luar Kremlin dibuat taman bermain anak-anak di bagian sungai tertinggi dan kering. Buat saya terlihat agak “maksa”, tapi mungkin ini cara mereka agar Kremlin tetap ramai dikunjungi. Sedangkan di jembatannya banyak dipakai untuk para pasangan “mengunci” janji mereka dengan gembok. Kemudian mereka menulis atau grafir nama-nama mereka di gembok tersebut.
Satu tempat menarik di Novgorod adalah restauran Tall Ship di tepi sungai Volkhov. Ruang makan resto ini pun menyerupai ruang kemudi kapal. Dengan balkon menghadap Kremlin, restauran ini memang punya daya tarik tersendiri. Setelah menikmati makan malam di sini, saya dan teman=teman berjalan kaki menyusuri sungai menuju hotel tempat kami menginap.
Mungkin karena letaknya yang lebih tinggi, udara Novgorod lebih dingin dari Moskow. Bongkahan-bongkahan es juga lebih banyak. Alhasil saya menahan dingin udara dan angin selama 30 menit sambil memegang payung karena hujan deras sepanjang perjalanan pulang. Saya membayangkan Novgorod akan lebih menyenangkan ketika musim panas. Tepi sungai pasti lebih ramai penduduk dan pengunjung.


Di Hampi, Bebatuan Berbicara dalam Kesunyian

Oleh Catatan Perjalanan, pada

Katakepo.blogspot.com - Begitu banyak hal yang dikatakan banyak orang, begitu banyak hal yang kita dengar, dan begitu banyak pula hal yang kita bayangkan, namun terkadang pada kenyataannya kita sering mendapati semuanya tidak seindah bayangan yang ada. Semua teori ini tidak berlaku saat saya mencapai Hampi beberapa waktu lalu di musim dingin. Semua hal yang saya lihat amat sangat menakjubkan, lebih dari yang saya bayangkan dan dengar sebelumnya.
Berbekal dengan rasa penasaran, perjalanan saya menuju Hampi diawali dengan penerbangan ke Goa selama dua jam, dilanjutkan dengan perjalanan darat dengan memakai mobil selama delapan jam menuju Hampi, dengan melewati kota yang disebut Hospet. Sebagai suatu daerah kecil yang berada di bagian selatan dari sungai Tungabhadra di sebuah distrik di Karnataka dan dibatasi gundukan gunung berbatu, Hampi berbeda dengan daerah lainnya. Bagi umat Hindu sendiri, daerah ini amat keramat dan merupakan salah satu tujuan perjalanan religi mereka.





Perjalanan saya menyusuri Tungabhadra mengingatkan saya akan sebuah cerita kuno yang menyertai alur sungai sungai yang amat keramat di pesisir India Selatan ini. Bukan India namanya kalau setiap inci tempatnya tidak dipenuhi dengan mitos kuno. Alkisah seorang Raja bernama Lord Barah yang merupakan inkarnasi dari Vishnu sedang beristirahat dan dari kedua gigi depannya, keluar dua aliran air yang berbeda. Aliran air dari gigi sebelah kiri disebut Tunga dan yang berasal dari kanan dinamakan Bhadra. Keduanya bersaudara dan menyatu di Kundly membentuk aliran Tungabhadra, yang pada akhirnya akan bersatu dengan aliran sungai Khrishna.
Pemandu saya menuturkan bahwa Tungabhadra sendiri dikenal sebagai Pampa, yang tentu saja tidak bisa dipisahkan dari romantisme Shiva. Pampa adalah anak dari Brahma yang amat memuja Shiva, sehingga Shiva memutuskan untuk menikahinya. Dalam masanya, tempat ini dikenal sebagai Vijayanagara; ibukota dari kerajaan Karnataka yang amat terkenal dalam hal seni dan budayanya. Nama kuno daerah ini adalah Pampa kshetra, Kishkindha-kshetra atau Bhaskara-kshetra.
Memasuki Hampi, kombinasi antara reruntuhan, bukit bebatuan, kuil, perkebunan pisang dan tebu serta persawahan membuat waktu seakan berhenti di depan saya. Hampi memiliki hubungan mitologi yang erat terhadap Ramayana. Menurut cerita epik ini, kerajaan Kishkindha dipimpin oleh kedua kera yang bernama Vali dan Sugriva. Oleh karena terjadi perpecahan di antara keduanya, Sugriva menyingkir dan membawa pasukannya di bawah pimpinan Hanuman. Saat raja iblis bernama Ravana menyandera Sita (istri dari Rama) dan membawanya ke Lanka, Rama dan saudaranya yang bernama Lakshmana datang meminta pertolongan Sugriva setelah ia membunuh Vali. Hanumanlah yang akhirnya mengejar Sita hingga ke Lanka. Saat mengeksplor kota ini, siapapun bisa mencium aura Ramayana hingga ke setiap sudut bangunannya.
Adalah sepasang pria Hindu bersaudara bernama Harihara dan Bukka yang menemukan kota Vijayanagar di tahun 1343 dan mereka memerintahnya hingga kesultanan Islam mengalahkan Raja Rama Raya yang memerintah Vijayanagar saat itu di tahun 1565.
Kejayaan masa bersejarah Hampi dan seluruh pertikaian antara Jain, Hindu dan Muslim saat itu tertuang di semua relief kuil dan reruntuhan di wilayah ini. Di Karnataka secara garis besar terdapat tiga tipe arsitektur india yang cukup terkenal, yaitu Vijayanagar, Chalukyan dan Hoysala. Masing-masing memiliki ciri khas sendiri. Keseluruhan arsitektur di Hampi mengikuti gaya Vijayanagar. Pahatannya biasanya besar, detil, namun penggambaran wajahnya tidak sehalus arsitektur Chalukyan atau Hoysala. Kuil bergaya Vijayanagar biasanya memiliki atap dan pilar pradakshina-patha atau lorong yang berliku. Atapnya berbentuk pyramid dan biasanya memiliki aksis barat-timur, dimana kuil akan menghadap ke arah timur. Kalyanamandapa merupakan salah satu gaya yang paling popular. Ditunjukan dengan pilar terbuka mandapa dan di bagian tengah dari ruangan terdapat semacam panggung kecil dengan beberapa anak tangganya.
Kuil Virupaksha merupakan kuil pertama yang membuat langkah saya terhenti. Saya mencapainya setelah menyebrang sungai dengan perahu kecil. Kuil yang masih aktif ini terletak ditengah wilayah yang disebut Hampi Bazaar. Hampi Bazaar sendiri sebuah area terbuka yang dipenuhi reruntuhan pilar di kiri-kanan. Sebagai kuil yang didedikasikan terhadap Virupaksha/Shiva, Dewa Kehancuran, kuil ini merupakan satu diantara lima kuil tertua di India. Kuil ini memiliki gerbang yang cukup lebar dan halaman yang cukup luas. Di sana-sini tampak beberapa peziarah sedang berdoa atau menjemur ornamen ziarahnya. Kuil ini biasanya ramai dikunjungi di bulan Desember, yang dipercaya sebagai saat dimana Pampa dinikahi oleh Shiva. Ritual dimulai dengan mandi di sungai Tungabhadra yang terletak di depan kuil sebelum peziarah memasuki kuil. Di dalam kuil ini konon terdapat sebuah patung sapi berkepala tiga, yang menggambarkan masa kini, masa lalu dan masa depan. Sayangnya saya tidak sempat melihatnya.
Karena saya mencapai Hampi cukup sore, maka sore itu ditutup dengan niat melihat matahari terbenam di atas bukit Hemakuta. Bukit ini tidak jauh dari Virupaksha. Hemakuta merupakan satu dari bukit tertinggi di Hampi, namun demikian bukit ini tidak curam dan di sana-sini terdapat reruntuhan kuil yang memberikan pemandangan skenik yang luar biasa indah. Saya menyempatkan melihat sekitar sebelum memilih tempat strategis untuk melihat senja nantinya. Tampak beberapa turis bule sudah duduk dengan manisnya di tempat yang sudah mereka pilih. Di lokasi bukit ini, tampak Sasivekalu Ganesha, sebuah patung Ganesha yang terpahat dalam ukuran kecil dengan pahatan ular yang melilit di daerah pingganya untuk melindungi daerah perutnya yang besar. Di balik patung ini terdapat pahatan seorang wanita yang memeluknya dari belakang, yang kemungkinan adalah ibunya, Parvati (istri dari Shiva) Tidak jauh dari patung ganesha kecil, terdapat kuil dengan patung Ganesha besar (Kadalekalu Ganesha). Reruntuhan di tempat ini memang mengundang decak kagum, sampai saya lupa di mana saya harus melihat senja saat itu. Pilihan saya akhirnya adalah duduk di bagian tepi dari bukit, di mana saya bisa melihat senja dan hutan yang berada di bawah tebing. Suatu lukisan yang kontras, namun sore saya saat itu tidak tergantikan dengan sore di belahan dunia manapun.
Kemegahan kuil Vittala sudah saya dengar sebelumnya, namun semuanya berbeda saat saya benar-benar berada di hadapannya di suatu pagi di Hampi. Tidak ada kata yang cukup untuk mendeskripsikan keindahan arsitekturnya. Kompleks kuil ini ditempuh dengan memakai kereta kecil. Memasuki lingkungan kuil, kita disambut dengan deretan pilar terbuka di kiri kanan. Saat gerbang kuil dimasuki, kita akan menemui halaman luas dengan ornamen padat berukir. Pesona Vishnu amat terihat di kompleks kuil ini, terutama di Mahamandapa yang merupakan bagian utama. Relief di pilar yang ada yang melukiskan keseluruhan Vishnu dalam bentuk sepuluh avatarnya, termasuk Krishna tentu saja. Setelah melewati bagian awal kompleks, perhatian kita akan tertuju pada sebuah struktur yang megah disebut stone chariot. Saya sendiri melihatnya seperti sebuah kotak musik. Tampak lambang Garuda mendominasi struktur ini; Garuda sendiri dalam legendanya merupakan kendaraan dari Vishnu, oleh karenanya chariot yang menghadap bagian kuil utama ini seakan sebuah pernyataan simbolik yang terpahat dengan indahnya. Secara garis besar, tema arsitektur kuil ini terbagi atas bagian militer, sipil, dan religius. Saya meneruskan langkah menyusuri bagian timur dari kompleks ini yang disebut eastern hall atau musicus hall. Yang membuat terpana adalah bangunan ini didirikan dan biasanya dipakai untuk tempat menari di zamannya. Setiap pilar dari bangunan ini dapat menimbulkan nada tertentu bila diketok dengan batang padat dan digunakan para pemusik saat itu unutk mengiringi tarian para penari. Pahatan pemusik, penarik dan singa yang bernama Yalis tampak mewarnai di dalam dinding bangunan ini. Sembari pemandu saya menjelaskan bagian dari kuil, saya yang tidak percaya mitos apapun seakan-akan bisa melihat gambaran semua cerita tentang Ramayana dalam perwujudan nyatanya. Cuma di Hampi, dan cuma Hampi yang bisa membuat saya seperti ini.
Bangunan berikutnya yang saya kunjungi dalam area Royal Citadel adalah Octagonal Water Pavilion yang mungkin dulunya merupakan tempat penampungan air. Saya termasuk pengagum stepwell di India dan berkelana untuk menjelajahinya. Octagon ini merupakan hal yang berbeda karena berada di tempat terbuka. Queen’s Bath merupakan struktur berbentuk persegi dengan eksterior yang sederhana dan memiliki kolam pemandian. Dinamakan seperti ini mungkin karena letaknya yang dekat dengan Royal Enclosure. Dipercaya bahwa bangunan ini dibangun raja Achyuta Raya yang sangat tertarik dengan olahraga air dan dipakai untuk pemandian bagi raja dan keluarganya. Tidak beberapa lama sampai juga saya di Royal Enclosure yang konon merupakan nukleus dari Hampi itu sendiri. Dengan area luas dan dikelilingi berlapis tembok, kompleks ini berisikan sekitar 45 buah bangunan di dalamnya. Kompleks ini memiliki dua pintu masuk di bagian utara dan satu buah di bagian barat. Pintu di bagian barat ini biasanya diperuntukan untuk keluarga istana saat itu. Memasuki kompleks dari bagian utara, kita akan disambut beberapa bangunan. Yang menarik perhatian saya tentu kolam bertangga yang kesimetrisannya di setiap segi sangat memukau. Tampak beberapa saluran air yang terhubung ke area ini. Kaki saya cukup lelah saat harus menanjak menaiki Mahanavami-dibba yang terdiri dari 3 tingkat. Bangunan ini dikenal sebagai “ruang kemenangan”. Bangunan kokoh ini dibangun di atas granit dan dihiasi dengan pahatan binatang, penari, pemusik serta kegiatan perburuan yang merepresentasikan keadaan masyarakat Vijanagara saat itu. King Audience Hall terletak tidak jauh dari Mahanavami. Menurut cerita masyarakat sekitar, di sinilah terdapat diskusi publik dan peradilan terjadi saat itu. Di sudut barat kompleks tampak sebuah kuil kecil bernama Hazara Rama yang didedikasikan untuk Vishnu dalam wujud Rama. Kuil ini terkenal dengan pahatan seribu wajah Rama di dindingnya. Langkah saya memasuki Lotus Mahal terhenti saat saya melihat struktur bangunan ini yang mengingatkan saya dengan bangunan Islam. Struktur ini merupakan perpaduan arsitektur India dan Islam dan dibangun di atas batu Adhisthana. Kubahnya didukung oleh 24 buah pilar dan bagian interiornya amat sederhana. Kubahnya tampak simetris dengan ukiran bermotif bunga. Keluar dari bangunan ini, kita memasuki wilayah elephant stables yang berbentuk memanjang dan memiliki 11 pintu dengan didominasi kubah berbentuk bundar dan memiliki pahatan lotus.

Sambil berjalan kembali ke hotel, saya menyempatkan diri mengunjungi patung Lakshmi-Narasimha yang merupakan bangunan monolitik setinggi tujuh meter yang sangat memukau siapapun yang melihatnya. Patung ini memahat sebuah ikon yang disebut Narasimha yang bertangan empat walau keempat tangannya tampak hancur. Di belakangnya tampak sosok Sesha, sebuah naga berkepala tujuh. Awalnya, sebuah pahatan Lakshmi terdapat di pangkuan paha kiri Narasimha ini. Sebuah lingga yang cukup besar terletak tak jauh dari patung ini yang dasarnya diliputi air. Narasimha sendiri merupakan avatar ke-empat dari Vishnu. Digambarkan sebagai sosok setengah manusia dan setengah singa yang memiliki cakar. Dikenal sebagai pelindung terkuat bagi para pemujanya. Narasimha merupakan perlambang keberadaan Tuhan dimanapun dalam situasi seperti apapun. Salah seorang teman saya dari daerah selatan yang menyembahnya mengungkapkan begitu banyak kuil di wilayah Andhra Pradesh yang diperuntukkan untuk dewa ini.
Petualangan saya di Hampi ditutup dengan kunjungan saya ke sebuah kuil Vishnu di Malyavanta Hill dan Pattabhirama. Sedemikian banyak reruntuhan dan kuil di Hampi, hingga sulit saya tuangkan semuanya dalam bentuk tulisan. Hampi ini merupakan salah satu tempat terbaik di India yang patut dikunjungi siapapun, sebuah surga bagi para pemuja bangunan bersejarah ataupun bagi seorang penjelajah seperti saya. Tulisan saya hanyalah penggambaran secara luas tentang tempat ini. Hampi adalah sebuah tempat dimana setiap bebatuan dan reruntuhan di dalamnya berbicara dalam kesunyian dan untuk itu mereka tidak memerlukan sebuah pengakuan.
  • Disunting oleh SA 18/07/2013



Museum kereta api ambarawa

Katakepo.blogspot.com - Sebenarnya saya sudah beberapa kali mengunjungi Semarang, tapi dari kesekian kalinya saya ke Semarang selalu tidak sempat untuk mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa. Ini semua karena pengaruh letak Ambarawa yang agak jauh dari pusat kota Semarang.
Kali ini saya benar-benar niatkan untuk ke sana. Pagi-pagi buta saya sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta menunggu penerbangan ke Semarang. Kala itu ada banyak rencana dan kegiatan yang akan saya lakukan di Semarang, tapi satu hal wajib yang harus terlaksana adalah mengunjungi Museum Kereta Api Ambarawa.
Sekitar pukul 6.30 pagi saya sudah mendarat di Bandara Ahmad Yani Semarang dan bergegas menuju Ambarawa. Untuk menuju Ambarawa saya tidak menggunakan taksi atau jasa shuttle, tapi bis Trans-Semarang atau BRT.
Saya menunggu bis Trans-Semarang di halte Kalibanteng. Tidak terlalu lama menunggu, sekitar lima menit kemudian bis sudah datang. Saya pun menaiki bus dan membayar tarif sebesar Rp3.500. Bila ingin menuju Ambarawa, dengan gamblang petugas BRT menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada rute langsung ke Ambarawa, tapi dia menyarankan untuk tetap naik bis menuju lokasi terdekat ke Ambarawa, nanti dari tempat terdekat itu perjalanan bisa dilanjutkan menggunakan bis biasa.

Dari shelter bis Trans-Semarang Banyumanik, bis ke arah Ambarawa tarifnya hanya Rp5.000. Sebelum naik bis saya mengingatkan keneknya bahwa saya akan turun di pertigaan Monumen Palagan.
Sekitar jam 10.00 saya sampai di Monumen Palagan. Sebenarnya perjalanan normal menuju Ambarawa bisa ditempuh dengan waktu sekitar satu setengah jam, namun kala itu ada insiden kecelakaan antar truk yang menyebabkan jalan menjadi macet.
Sesampainya di Monumen Palagan, untuk menuju Museum Kereta Api Ambarawa bisa jalan kaki sebentar sekitar sepuluh menit, tapi karena cuaca kala itu sudah cukup terik saya memutuskan untuk naik angkot bewarna hijau dengan tarif Rp2.000 dan turun di depan Museum Kereta Api Ambarawa.
Saat tiba di depan museum saya melihat spanduk pengumuman bahwa Museum Kereta Api Ambarawa sedang dalam masa renovasi. Dalam pengumuman tersebut sebenarnya dalam masa renovasi museum ditutup, tapi entah mengapa saat saya melihat ke arah dalam museum suasana tetap ramai pengunjung, dan juga banyak bus pariwisata parkir di halaman depan museum. Saya membuat kesimpulan sendiri bahwa museum tidak ditutup dalam masa renovasi ini.
Di dalam museum terdapat banyak poster yang menjelaskan mengenai sejarah Stasiun Kereta Api Ambarawa. Menurut sejarah, pada awalnya tujuan dibangunnya stasiun Ambarawa ini adalah untuk keperluan mengangkut tentara Belanda pada masa pemerintahan kolonial. Stasiun ini dibangun atas perintah Raja Willem I. Tahun 1976 Stasiun Ambarawa dijadikan sebagai tempat melestarikan lokomotif uap.




Saya melihat ke sekeliling museum, terdapat banyak lokomotif tua terparkir di sekitarnya, sebagian masih ada yang bisa digunakan dan sebagian sudah harus pensiun beroperasi. Salah satu kereta api uap dengan lokomotif nomor B 2502 dan B 2503 buatan Maschinenfabriek Esslingen sampai sekarang masih dapat menjalankan aktivitas sebagai kereta api wisata. Lokomotif itu sangat terkenal pada zamannya, walaupun umurnya sudah tua sekarang masih dapat menjalankan aktivitas sebagai kereta api wisata.
Sayangnya saya tidak bisa mencoba menaiki kereta wisata itu karena ketinggalan. sesaat setelah saya masuk museum, kereta uap baru saja jalan, saya pun ketinggalan kereta uap. Namun saya tidak lantas kecewa karena toh tujuan utama saya datang ke museum ini sebenarnya hanya ingin melihat sejarah kereta api di Indonesia sekaligus ingin melihat lokomotif dan kereta tua sejak zaman kolonial Belanda.
Tempat ini amat direkomendasikan untuk semua orang yang suka wisata sejarah sekaligus wisata alam, para pengunjung bisa naik kereta lori wisata dengan kapasitas 15-20 penumpang yang akan dijalankan menyusuri rel Ambarawa-Tuntang sambil menikmati hijaunya alam Ambarawa sambil mengetahui sejarah kereta api di Indonesia. Untuk info, Rute yang dilayani oleh kereta wisata kuno ini adalah Ambarawa-Bedono dan Ambarawa-Tuntang. Kereta wisata ini biasanya hanya melayani bila jumlah peserta wisata mencapai jumlah tertentu, atau bisa juga melayani rombongan dengan sistem sewa per gerbong.
  • Disunting oleh SA 18/07/2013