Katakepo.blogspot.com - Gusti ora sare, kata orang Jawa, artinya 'Tuhan tidak tidur'.
Demikianlah segala kejadian yang ada di bawah kolong langit initidak
pernah luput dari kuasa Tuhan. Termasuk segala kejadian bencana alam
seperti gempa, tsunami atau konflik antarmanusia seperti perang.
Di tengah kejadian-kejadian itu, manusia kerap jadi korban dan semua
harta benda seperti bangunan hancur berantakan. Namun di antara bangunan
yang hancur rata dengan tanah, ternyata ada sejumlah masjid yang masih
sanggup bertahan kokoh berdiri.
Tempat ibadah umat Islam itu akhirnya menjadi lokasi penampungan para
korban selamat. Bagaimana kisah masjid-masjid itu saat dilanda bencana?
Ikuti ulasannya berikut ini.
Masjid At Tauhid di Haiti
Gempa luar biasa yang mengguncang Haiti
pada 2010 menimbulkan 220.000-316.000 korban jiwa, namun umat muslim
Haiti mengakui bahwa tidak satupun masjid di sekitar lokasi gempa
terkena dampak hebat bencana alam ini.
Masjid yang masih berdiri kokoh akhirnya dijadikan posko perlindungan
bantuan darurat gempa oleh penduduk yang selamat. Salah satunya adalah
masjid At Tauhid di Ibu Kota Port-au-Prince.
Sebab masjid ini tetap berdiri kokoh dan menjadi tempat para korban gempa, baik yang muslim ataupun non muslim untuk mengungsi
Di saat istana kepresidenan dan gedung-gedung pemerintah hancur, masjid ini tetap berdiri kokoh seperti tidak terjadi apa-apa
Masjid Golcuk di Turki
Pada 1999 gempa bumi hebat di Turki
menimbulkan korban jiwa hingga mencapai 45.000, dan 43.953 korban luka.
Namun sebuah mesjid bernama Golcuk terbebas dari dampak kerusakan gempa
dahsayt tersebut.
Umat muslim percaya ini adalah sebuah mukjizat
dari Allah karena terlihat jelas hanyalah masjid tersebut yang berdiri
kokoh sementara bangunan di sekitarnya luluh lantak tak bersisa.
Masjid Kobe di Jepang
Masjid Kobe di Jepang jadi saksi bisu
dahsyatnya Perang Dunia Kedua. Masjid yang diresmikan pada 1935 ini
adalah masjid pertama di Jepang. Penyerangan Jepang atas pelabuhan Pearl
Harbour di Amerika telah membuat pemerintah Amerika memutuskan untuk
menjatuhkan bom atom pertama kali dalam peperangan. Jepang akhirnya
mengaku kalah.
Dua kotanya, Nagasaki dan Hiroshima dibom atom oleh Amerika Serikat.
Saat itu, kota Kobe juga tidak ketinggalan menerima akibatnya. Boleh
dibilang Kobe menjadi rata dengan tanah.
Tapi ajaibnya, masjid
Kobe masih berdiri kokoh. Akan tetapi, kekokohan masjid Kobe diuji lagi
dengan gempa dahsyat pada 1995. Tepatnya pada pukul 05.46 Selasa, 17
Januari 1995. Gempa ini sebenarnya bukan hanya menimpa Kobe, tapi juga
menimpa kawasan sekitarnya seperti South Hyogo, Hyogo-ken Nanbu, dan
lainnya. Diperkirakan telah menelan korban 140 ribu jiwa namun lagi-lagi
masjid Kobe tetap kokoh berdiri.
Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Sore itu, Rabu (24/12/2014) puluhan
anak-anak berbaju koko duduk membentuk kelompok kecil di dalam masjid.
Dipimpin oleh seorang ustazah, anak-anak tersebut melantunkan ayat suci
Alquran. Sementara dalam kelompok yang lain, sedang menyimak bacaan anak
perempuan yang mengaji.
Taman Pengajian Alquran menjadi kegiatan
rutin setiap selesai salat Ashar. Setidaknya dua barisan penuh saat
solat fardhu tiba. Sementara jamaah lainnya beranjak keluar dari masjid,
para santri ini duduk membentuk beberapa kelompok kecil untuk belajar
mengaji.
Itulah aktivitas di Masjid Baiturrahman di Ulee Lheue,
Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Sebuah masjid yang menjadi saksi bisu
dahsyatnya diterjang tsunami 10 tahun silam.
"Ini kegiatan rutin
kita di sini. Selain itu kita juga ada pengajian, ada baca kitab dan ada
baca hadits. Tiap tiga malam kita ada pengajian di sini," sebut Imam
Masjid Baiturrahman.
Gempa
bumi dan gelombang tsunami yang menyapu daratan Aceh tahun 2004 silam
merupakan salah satu bencana alam terdahsyat sepanjang abad 20. Tercatat
200.000 jiwa menjadi korban dalam tragedi tersebut.
Tidak hanya
korban jiwa, banyak pula bangunan fisik yang habis tersapu gelombang.
Namun tidak begitu dengan Masjid Baiturrahman. Rumah ibadah yang
terletak di kawasan Pantai Ulee Lheu, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh ini
menjadi satu-satunya bangunan yang selamat dalam peristiwa tersebut.
Masjid
yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai ini menjadi saksi
bisu peristiwa 10 tahun yang lalu. Saat gelombang terjadi, hanya
sembilan orang yang selamat di masjid ini, enam orang laki-laki dan tiga
orang perempuan serta seorang bayi berumur tiga bulan.
Saat
gelombang pertama datang, setidaknya ada 138 orang yang berlindung di
masjid ini. Saat gelombang kedua datang, warga yang berlindung di tempat
ibadah ini masih berjumlah sama. Namun, sebut Tgk Buchari saat
gelombang ketiga datang, tiba-tiba air masuk entah dari mana dan
menghayutkan warga yang ada.
"Saat gelombang ketiga, air masuk
entah dari mana. Ada mobil yang menabrak dinding naik di atas mimbar,
hingga orang macam diblender di air dan banyak orang di atas masjid
jatuh," kenang Tgk Buchari.
Sementara beberapa bangunan masjid
bagian depan, seperti pagar dan kaca, atau sekitar 20 persen mengalami
kerusakan. Tgk Buchari menjelaskan pasca-tsunami masjid ini kembali
direhab dengan bantuan dari negara donor pada waktu itu.
Dalam
pekarangan masjid juga berdiri tegak sebuah menara yang dibangun oleh
kerajaan Brunei Darussalam. Tgk Buchari menuturkan, menara tersebut
merupakan sedekah dari Sultan Hassanal Bolkiah karena para pengurus
menolak pembangunan masjid baru.
"Kami menolak masjid ini
dirubuhkan dan dibangun masjid baru karena ini aset orang tua kami yang
menyumbang sewaktu mereka hidup. Jadi biarlah tetap seperti ini,"
ucapnya.
Kawasan Ulee Lheu sebelum tsunami merupakan kawasan
padat dengan jumlah penduduk mencapai 700.000 jiwa. Namun, saat gempa
bumi dan tsunami menghantam kawasan ini, hanya 700 orang saja yang
selamat. Lebih dari separuh warga menjadi korban.
Masjid
Baiturrahman dulu dikenal sebagai Masjid Olele, Koetaradja. Masjid ini
didirikan di atas tanah wakaf dan dibangun secara swadaya oleh
masyarakat Meuraxa yang saat itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa
pada tahun 1923/1926 Masehi.
Dengan program gotong-royong,
masyarakat Meuraxa pada waktu itu mengumpulkan dana untuk pembangunan
masjid. Para lelaki yang sebagiannya berprofesi sebagai nelayan setiap
pulang dari menjual hasil melaut menyisihkan sebagiannya untuk masjid.
Sementara
kaum ibu mengumpulkan beras yang ditaruh dalam karung beras sebanyak
satu mok (satu kaleng susu), dan pada akhir bulan diserahkan pada
panitia pembangunan masjid tersebut.
Masjid yang berdiri pada
akhir tahun 1923 ini tidak memiliki kubah seperti pada umumnya, namun
hanya ada sebuah puncak masjid berbentuk persegi empat. Pada tahun 1984
puncak masjid ini rubuh sehingga tahun 2004 masjid tidak memiliki kubah.
Pada awal pembangunannya, masjid ini hanya mampu menampung
jamaah hingga 500 orang. Namun pada tahun 1981, Kerajaan Arab Saudi
memberikan bantuan untuk perluasan masjid hingga dapat menampung jamaah
sampai 1.500 orang.
Masjid Jami di Nepal
Masjid Jami di Bag Bazaar, Ibu Kota
Kathmandu, Nepal itu masih berdiri tegak. Tak ada dinding terkelupas
atau bahkan retak. Aktivitas di sekitar area masjid sangat ramai.
Pertokoan mulai buka, walau madrasah masih tutup.
"Kami
bersyukur, ini semua karena kuasa Allah," kata, anggota takmir Masjid
Jami Nepal Mohammad Rizwan kepada merdeka.com kemarin.
Rizwan
menjelaskan Masjid Jami Nepal ini bangunan yang relatif lebih baru.
Renovasi besar masjid ini terakhir dilakukan pada 1995.
Tapi
hanya berjarak 600 meter, ada Masjid Khasmiri Taqiya yang dekat
Universitas Tri Chandra. Masjid itupun tidak mengalami kerusakan apapun.
Padahal tempat ibadah itu sudah dibangun sejak 1524 Masehi.
"Ada beberapa masjid di seputaran Kathmandu. Sebagian besar berusia lebih dari 100 tahun dan tidak ada yang rusak," kata Rizwan.
Di Lalitpur, masjid jami masih berdiri tegak. Demikian pula masjid di Kota Bharatpur, Distrik Chitwan.
Merujuk
sensus terakhir, ada 1,1 juta penganut ajaran Islam di Nepal, urutan
ketiga setelah Hindu dan Buddha. Itu mencakup sekitar 10 persen total
populasi di negara lereng Pegunungan Himalaya tersebut. Kebanyakan
adalah warga India keturunan etnis urdu.
Rizwan menyatakan
setelah gempa 7,8 skala richter melanda pada 25 April lalu, takmir
seluruh masjid langsung berkumpul. Mereka mencari info adakah warga
muslim yang jadi korban. Ternyata di seputar Kathmandu hanya ada dua
warga tewas dan belasan cedera. Tapi mayoritas keluarga muslim selamat.
Oleh
sebab itu, kini Masjid Jami menjadi pusat pengiriman bantuan logistik
untuk korban lindu. Mayoritas adalah beras, air bersih, dan makanan siap
saji. Tiga truk hilir mudik mengangkut logistik.
"Ini bantuan yang datang dari komunitas muslim Nepal. Kami mengirim ke manapun warga membutuhkan," kata Rizwan.
Pria
40 tahun ini pun mengkritik derasnya bantuan gempa Nepal, tapi
mengedepankan bendera lembaga masing-masing. Dia menyatakan bantuan
masjid jami bahkan tidak ditempeli stiker.
"Kami tidak memotret bantuan, kami yakin Allah telah mencatatnya."