Katakepo.blogspot.com - Jauh dari kampung
halamannya di amherst, Massachusetts, Amerika Serikat (AS), Hamza
Shakeel Awaizi ingin mempelajari kebudayaan di negeri yang mahsyur
karena keberagamannya, Indonesia. Demi mencapai impiannya, anak
laki-laki berusia 16 tahun itu mendaftarkan dirinya mengikuti program
pertukaran pelajar yang di biayai pemerintahnya ke Indonesia. Di negeri
ini, ia singgah untuk menuntut ilmu bersama rekan-rekan sebayanya di
SMAN 24 Ujungberung, Bandung.
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dan Sejarah Indonesia adalah dua mata pelajaran
favoritnya. Prinsip-prinsip yang diajarkan dalam PKn dan moral Pancasila
sangat menarik baginya. Melalui pelajaran sejarah, Hamzah mendapatkan
pemahaman sejarah bangsa ini. Penyuka segala sesuatu mengenai Perang
Dunia II ini mendapati Indonesia sebagai bangsa yang menarik.
Di AS, menurut dia
sekolah tidak mengajarkan moral dan agama. Setelah mendapat pemaparan
PKn di kelas, Hamzah kerap mencari gambaran riil dijalanan. Ia bertanya
kepada orang mengenai segala hal, mengenai situasi sosial dan politik
Indonesia dan pandangan mereka terhadap AS. “Karena umumnya mereka tidak
tahu saya berasal dari Amerika, mereka berkomentar bebas mengenai
AS,”ujarnya ketika ditemui di Kedutaan Besar AS untuk Indonesia, Jln.
Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat.
Tak pernah puas, pola
pikir logis dan out of the box membuat Hamzah tak pernah puas untuk
belajar hanya di dalam kelas atau buku teks. Pola ini ia gunakan juga
ketika mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Pada awalnya ia
tinggal di Kota Bandun, ia merasa terbebani dengan perbedaan bahasa.
Menyadari kemampuan
bahasa Indonesianya tidak berkembang, ia banyak bergaul dengan rekan
sekelas dan orang di jalanan. Hamzah tak segan berpergian menggunakan
angkot. Ia berbicara dengan banyak orang, termasuk dengan sopit angkot.
“Saya hanya belajar ‘Nama saya Hamzah dari buku. Selebihnya saya
pelajari di jalanan,”ucapannya.
Selama empat bulan di
Bandung, Hamza membuat keputusan penting. Ia pindah dari SMA swasta
elite di arcamanik ke sekolah negeri. “Di sekolah negeri, kamu bisa
bergaul dengan pelajar dari berbagai kelas ekonomi,” katanya.
Ia juga mendapati kultur
pendidikan berbeda. Di Bandung, guru menyalin materi pelajaran di buku
ke papan tulis lalu murid menyalinnya ke buku catatan masing-masing.
Metode pengajaran yang ia sebut copy paste itu berbeda dengan
di AS. Di Amherst, kegiatan dalam kelas lebih didominasi dengan diskusi.
Meskipun begitu, Hamza mengaku masih akan menikmati keberbedaan in
hingga masa studinya di SMAN 24 berakhir 17 Juni mendatangi.