Katakepo.blogspot.com - JAKARTA, Salah satu kendala yang dialami Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
menormalisasi sungai dan waduk adalah membebaskan lahan. Lahan-lahan
yang sedianya untuk ruang terbuka hijau (RTH) dan saluran air kini telah
dipakai untuk bangunan-bangunan liar. Ada yang semipermanen, tak
sedikit pula yang mewah. Hal-hal itulah yang menjadi penyebab utama
Jakarta selalu langganan banjir.
Masalah itu pula yang kini dihadapi Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Selama lebih kurang satu tahun membenahi Ibu Kota, Basuki dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terus berupaya membereskan masalah itu. Hal tersebut dilakukan dalam upaya normalisasi Waduk Pluit dan Ria Rio serta Sungai Ciliwung dan Pesanggrahan.
Basuki mengatakan siap menegakkan hukum untuk merampungkan normalisasi kawasan perairan itu. Ia menyadari risiko atas hal itu, yakni akan dianggap melanggar hak asasi manusia. "Jadi, kalau mesti dipenjara, dihukum mati, biar saya yang tanggung," kata Basuki saat berkunjung ke kantor Kompas.com, Palmerah, Jakarta Barat, pekan lalu.
Basuki mengakui, sudah banyak warga yang dulu mendukungnya, tetapi kini menyesal dan berjanji tidak akan mendukungnya lagi pada periode berikutnya. Namun, ia tidak peduli dengan sikap warga tersebut. Ia bertekad untuk konsisten menaati konstitusi di atas konstituen dalam memimpin sebuah wilayah.
Basuki mencontohkan pelanggaran yang dilakukan warga di Kali Sunter. Meskipun di sepanjang sungai itu telah dipasangi sheet pile (dinding penahan atau tanggul) cukup tinggi, warga justru membuat rumah secara liar di dekatnya. Warga juga menikmati sambungan listrik ataupun air bersih, meskipun rumah yang mereka tinggali itu ilegal. Warga juga melubangi dinding tanggul tersebut sehingga berisiko banjir saat air laut pasang.
Menurut Basuki, satu-satunya cara untuk menanggulangi hal-hal seperti itu adalah dengan membongkar permukiman liar warga. Warga di sana direlokasi ke rumah susun. Solusi ini tidak mudah dilakukan karena, menurut Basuki, pasti ada yang menolak pembongkaran permukiman liar tersebut.
"Sekarang uang kerahiman sudah kita cabut. Orang-orang ribut dan menuduh kita melanggar HAM, kurang ajar itu namanya," ujar Basuki.
Basuki berpendapat bahwa warga lebih suka tinggal di rumah-rumah liar karena tidak harus membayar pajak dan biaya lain. Sementara itu, jika harus tinggal di rumah susun, maka warga harus membayar uang sewa, listrik, air bersih, dan lain-lain.
Hal serupa juga terjadi ketika Pemprov DKI Jakarta membongkar permukiman liar di bantaran Sungai Pesanggrahan. Basuki menuturkan, warga menuntut uang kerahiman, tetapi mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang jelas. Basuki menginstruksikan Dinas Pekerjaan Umum DKI untuk langsung menertibkan permukiman tanpa surat dan sertifikat tanah tersebut. Menurut Basuki, cara itu harus ditempuh agar paling tidak lokasi banjir di Jakarta semakin berkurang.
"Mudah-mudahan, April-Mei ini rusunnya selesai. Jadi, semua (bangunan liar) yang di atas bendungan, termasuk di rumah pompa, harus kita sikat," kata Basuki.
Masalah itu pula yang kini dihadapi Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Selama lebih kurang satu tahun membenahi Ibu Kota, Basuki dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terus berupaya membereskan masalah itu. Hal tersebut dilakukan dalam upaya normalisasi Waduk Pluit dan Ria Rio serta Sungai Ciliwung dan Pesanggrahan.
Basuki mengatakan siap menegakkan hukum untuk merampungkan normalisasi kawasan perairan itu. Ia menyadari risiko atas hal itu, yakni akan dianggap melanggar hak asasi manusia. "Jadi, kalau mesti dipenjara, dihukum mati, biar saya yang tanggung," kata Basuki saat berkunjung ke kantor Kompas.com, Palmerah, Jakarta Barat, pekan lalu.
Basuki mengakui, sudah banyak warga yang dulu mendukungnya, tetapi kini menyesal dan berjanji tidak akan mendukungnya lagi pada periode berikutnya. Namun, ia tidak peduli dengan sikap warga tersebut. Ia bertekad untuk konsisten menaati konstitusi di atas konstituen dalam memimpin sebuah wilayah.
Basuki mencontohkan pelanggaran yang dilakukan warga di Kali Sunter. Meskipun di sepanjang sungai itu telah dipasangi sheet pile (dinding penahan atau tanggul) cukup tinggi, warga justru membuat rumah secara liar di dekatnya. Warga juga menikmati sambungan listrik ataupun air bersih, meskipun rumah yang mereka tinggali itu ilegal. Warga juga melubangi dinding tanggul tersebut sehingga berisiko banjir saat air laut pasang.
Menurut Basuki, satu-satunya cara untuk menanggulangi hal-hal seperti itu adalah dengan membongkar permukiman liar warga. Warga di sana direlokasi ke rumah susun. Solusi ini tidak mudah dilakukan karena, menurut Basuki, pasti ada yang menolak pembongkaran permukiman liar tersebut.
"Sekarang uang kerahiman sudah kita cabut. Orang-orang ribut dan menuduh kita melanggar HAM, kurang ajar itu namanya," ujar Basuki.
Basuki berpendapat bahwa warga lebih suka tinggal di rumah-rumah liar karena tidak harus membayar pajak dan biaya lain. Sementara itu, jika harus tinggal di rumah susun, maka warga harus membayar uang sewa, listrik, air bersih, dan lain-lain.
Hal serupa juga terjadi ketika Pemprov DKI Jakarta membongkar permukiman liar di bantaran Sungai Pesanggrahan. Basuki menuturkan, warga menuntut uang kerahiman, tetapi mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang jelas. Basuki menginstruksikan Dinas Pekerjaan Umum DKI untuk langsung menertibkan permukiman tanpa surat dan sertifikat tanah tersebut. Menurut Basuki, cara itu harus ditempuh agar paling tidak lokasi banjir di Jakarta semakin berkurang.
"Mudah-mudahan, April-Mei ini rusunnya selesai. Jadi, semua (bangunan liar) yang di atas bendungan, termasuk di rumah pompa, harus kita sikat," kata Basuki.