Katakepo.blogspot.com - Presiden
Joko Widodo
telah memutuskan untuk menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis
Premium. Sementara, jenis Solar masih tetap akan diberikan subsidi
dengan skema besaran tetap yakni Rp 1.000 per liter.
Keputusan
presiden ini tentunya membuat harga BBM menjadi tak pasti. Alias naik
turun. Dalam beberapa bulan ke belakang, rakyat sempat senang karena
harga BBM turun. Namun, bulan lalu, rakyat kembali berteriak karena
harga BBM naik.
Tercatat, sejak Oktober 2014 sampai Maret 2015, harga BBM sudah lima kali mengalami penyesuaian. Pada November 2014, Presiden
Jokowi-
JK
menaikkan harga BBM, lalu diturunkan pada Januari 2015. Harga BBM
kembali turun pada pertengahan Januari 2015. Awal Maret 2015, harga BBM
kembali naik. Di penghujung Maret 2015, harga BBM kembali dinaikkan.
Saat menaikkan harga BBM pertama kali, memang
Jokowi
beralasan ingin memperbaiki pengelolaan anggaran agar lebih sehat dan
tidak banyak uang negara dihabiskan untuk subsidi yang sifatnya
konsumtif. Alasan lain diungkapkan ketika Jokowi menurunkan harga BBM.
Saat itu Jokowi beralasan kebijakannya itu merespon harga minyak dunia
yang terus mengalami penurunan.
Pemerintah sendiri menanggapi
santai naik turunnya harga BBM ini dan yakin masyarakat akan terbiasa.
"Ini kan (naik) karena harga minyak (dunia) kayak yoyo (mainan)," ujar
Menko bidang Perekonomian
Sofyan Djalil di
Jakarta.
Naik
turunnya harga BBM mengundang protes dari beberapa kalangan lantaran
cenderung berdampak buruk bagi masyarakat. Kenaikan harga BBM hampir
selalu diikuti naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Apa saja kritik pada keputusan Jokowi melepas harga BBM sesuai mekanisme pasar? Berikut kami merangkumnya untuk pembaca.
Jokowi jadikan BBM hanya sebagai alat pencitraan
Direktur Eksekutif Indonesian
Resource Studies, Marwan Batubara, menilai sejauh ini dirinya tidak
melihat transparansi pemerintah dalam kenaikan BBM bersubsidi pada 28
Maret 2015 lalu. "Kenaikan kemarin saya tidak lihat pemerintah melakukan
sosialisasi dengan baik," tuturnya.
"Begitu (harga BBM) turun,
Jokowi tampil. Begitu naik kemarin, jangankan
Jokowi, menterinya pun tidak ada yang tampil," tambah Marwan.
Tak
ayal, Marwan menyebut fluktuatifnya harga BBM hanya dijadikan ajang
pencitraan Pemerintahan Jokowi semata. "Jadi ini hanya untuk pencitraan
saja," tandasnya.
Harga BBM naik turun bukti buruknya tim ekonomi Jokowi
Dalam kurun waktu enam bulan, pemerintahan
Jokowi-
JK
sudah tiga kali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan dua kali
menurunkan harga BBM. Kenaikan harga BBM terakhir dilakukan akhir pekan
lalu, 28 Maret 2015.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
menilai, kenaikan harga BBM dan imbasnya pada kenaikan harga sejumlah
komoditas serta tarif angkutan, tidak bisa dilepaskan dari kesalahan
pemerintahan
Jokowi-
JK.
Pengurus
Harian YLKI, Tulus Abadi memasukkan buruknya mekanisme penetapan harga
BBM dalam daftar rapor merah pemerintahan Jokowi-JK. Dia menilai
pemerintahan Jokowi-JK sudah kehilangan tajinya.
"Ini akibat
buruknya tim ekonomi pemerintah yang terus membebani masyarakat. Dulu
masyarakat berharap presiden baru, harapan baru. Tapi kok kayak begini?"
kata Tulus di
Jakarta.
Negara tidak lindungi rakyat dari tekanan ekonomi dunia
Ketua Pengurus Harian YLKI
Sudaryatmo menyarankan pemerintah tidak menyerahkan pembentukan harga
BBM pada mekanisme pasar. Sebab, itu sama artinya menyerahkan risiko dan
beban perekonomian global pada konsumen.
"Selama ini mekanisme harga BBM dievaluasi setiap bulan. Lalu apa gunanya negara yang seharusnya jadi bumper," ujar Sudaryatmo.
Meski
pemerintah selalu membantah dengan menyatakan pemerintah tak pernah
menyerahkan penentuan harga BBM pada mekanisme pasar, pada kenyataannya
justru sebaliknya. Secara tegas dia mengatakan, dengan menyerahkan harga
BBM sesuai mekanisme pasar, pemerintahan
Jokowi-
JK telah melanggar konstitusi. Pasalnya dalam undang-undang Migas menyebutkan bahwa harga migas tidak boleh mengikuti harga pasar.
"Buat
apa ada negara kalau semua harga diserahkan ke pasar. Enak banget jadi
pejabat. Konsumen menanggung perekonomian global," terangnya.
Harga BBM naik turun, nelayan semakin melarat
Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diberlakukan pemerintah
Jokowi
sejak Sabtu (28/3) membuat kehidupan nelayan kecil semakin sengsara.
Dampak tersebut dirasakan para nelayan di wilayah Kampung Laut Cilacap,
Jawa Tengah.
Salah satunya Bono (35) nelayan di pantai
Pelawangan. Dia mengemukakan sejak harga BBM naik dari Rp 6.700 perliter
menjadi Rp 7.400 menyebabkan nasib nelayan semakin tak menentu.
"Kenaikannya
di sini sudah cukup tinggi, kemarin saja saat BBM di POM (SPBU) dijual
Rp 6.700 per liter, kami membelinya di eceran kisaran harganya Rp 8 ribu
sampai Rp 8.500 per liter. Sekarang sudah sampai Rp 9.500 perliter,"
katanya saat ditemui di pantai Pelawangan Barat.
Dia mengeluhkan
beban kenaikan harga BBM juga membuat kondisi perekonomian keluarga tak
menentu. Dia mengungkapkan saat ini nelayan kesulitan mencari ikan.
"Sejak pukul 05.30 WIB saya keluar, sampai sekarang belum dapat ikan.
Sudah tangkapannya sedikit, harga ikan juga ikutan turun," keluhnya.
Saat
ini harga ikan untuk tiap kilogramnya dihargai Rp 25 ribu. "Kalau
dijual di dekat rumah malah harganya hanya Rp 20 ribu perkilogram,"
ucapnya.
Keluhan serupa juga diakui Badrian (55), nelayan asal
Majingklak Pangandaran yang mencari ikan di pantai Pelawangan. Kondisi
tangkapan Badrian sedikit lebih baik dari Bono. "Tadi saya keluar pukul
06.00 WIB sudah dapat lima kilogram ikan bekuku. Sekarang ini memang
susah buat dapat ikan," ucapnya yang menggunakan perahu cukung.
Cuaca
yang tidak menentu ditambah harga BBM yang naik turun membuat nelayan
semakin terjepit. Untuk melaut seharian, kedua nelayan ini menghabiskan
bahan bakar mulai dari 1 sampai 2 liter setiap kali berangkat.
Kenaikan harga BBM terlalu sering berbahaya
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
menilai, berbahaya jika pemerintah sering menaikkan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM). Untuk itu, pemerintah diminta tidak mengubah harga
komoditas primer itu setiap bulan.
"Masalah frekuensi kalau
terlalu cepat berbahaya. Dampak kenaikan terdahulu belum selesai, muncul
lagi dampak baru akibat kenaikan sekarang. Jadi dampaknya
terakumulasi," kata Anggota Komisi VII Fraksi Partai Nasdem Kurtubi saat
rapat kerja dengan Kementerian ESDM, SKK Migas, dan Pertamina,
Jakarta, Senin (30/3).
Maka
itu, dia mengusulkan agar penyesuaian harga BBM dilakukan minimal enam
bulan atau setahun. Perhitungan besaran harganya didasarkan pada patokan
harga minyak Singapura (MOPS), asumsi harga minyak mentah Indonesia dan
kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam APBN.
"Nanti
implementasi harganya bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Kalau harga
lebih rendah dari patokan pemerintah bisa dapat laba bersih minyak.
Kalau lebih tinggi, pemerintah bisa pakai laba bersih itu untuk
menambal," katanya.
Menurut Kurtubi, skema itu bisa membuat harga
BBM lebih stabil. Dengan begitu, gejolak ditimbulkan oleh penaikan
harga BBM di masyarakat bisa diredam.