Katakepo.blogspot.com Presiden Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi mengeluarkan pernyataan mengejutkan saat kunjungan kerja ke Jepang hari, Selasa (23/3). Dikutip surat kabar Jepang, Yomiuri Shimbun, Jokowi menegaskan sikap dalam kisruh Laut China Selatan. Jokowi menilai China perlu hati-hati menentukan peta perbatasan lautnya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terancam dirugikan karena aksi China menggambar sembilan titik wilayah baru di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Jika dilihat sekilas, perairan kaya gas itu terkesan masuk wilayah kedaulatan China. Menurut Kementerian Luar Negeri, klaim China melanggar Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
"Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun," kata Jokowi.
Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana mengapresiasi pidato Jokowi itu. Profesor Universitas Indonesia ini menyatakan Jokowi memang perlu tegas dan mempertanyakan maksud gambar peta versi China tersebut.
"Pak Jokowi menafsirkan politik bukan lagi semua harus teman tapi kalau kedaulatan diganggu maka siap berhadapan-hadapan. Pernyataan beliau sampaikan kami akan menjadikan penengah (honest broker) yang baik asal kedaulatan jangan diganggu," kata Hikmahanto.
Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebetulnya juga sudah memprotes lewat Komisi Landas Kontinen PBB.
Garis putus-putus yang diklaim pembaruan atas peta 1947 itu membuat Indonesia berang. Padahal RI sebenarnya berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.
Sebetulnya, mengapa Indonesia harus sekuat tenaga mempertahankan Natuna? Berikut mencoba merangkum sejumlah alasannya.
Mempertahankan harga diri bangsa
Pengamat hukum internasional dari
UII, Djawahir Tantowi menegaskan, tak ada kata lain buat Indonesia untuk
takut menghadapi China. Menyangkut soal kedaulatan, tidak ada kata
kompromi."Jangan sampai hilang seperti Sipadan dan Ligitan," kata Djawahir Kamis (26/3).
Indonesia tak boleh tinggal diam. Lewat armada angkatan lautnya harus berani memberi peringatan pada China bahwa Indonesia punya kedaulatan yang tak bisa diganggu negara manapun.
Klaim China tidak masuk akal
Menurut dia, Pulau Natuna sebetulnya lebih dekat berbatasan dengan Vietnam dan Malaysia. Maka dari itu, pihaknya merasa menjadi tak masuk akal jika China mengklaim bahwa Natuna masuk ke dalam wilayahnya.
"Di situ batasnya adalah dengan Vietnam. Enggak berhubungan langsung dengan China," terangnya.
Kaya akan sumber daya alam
Hitungan pemerintah mengacu pada salah satu ladang gas alam yaitu Blok Natuna D-Alpha, di mana menyimpan cadangan gas dengan volume 222 triliun kaki kubik (TCT). Jika diambil, cadangan gas alam itu tidak akan habis untuk 30 tahun mendatang.
Sementara, potensi gas yang recoverable atau yang bisa diperkirakan di Kepulauan Natuna sebesar 46 tcf (triliun cubic feet) setara dengan 8,383 miliar barel minyak.
Total, jika digabung dengan minyak bumi, terdapat sekitar 500 juta barel cadangan energi hanya di blok tersebut. Maka wajar saat sejumlah ahli mengklaim wilayah ini memiliki cadangan energi terbesar di dunia.
Pengamat Energi, Marwan Batubara, menilai sudah seharusnya pemerintah mengantisipasi pencaplokan wilayah perairan Natuna sedini mungkin. Sebab, jika tidak dipertahankan maka Indonesia akan kehilangan cadangan migas yang sangat besar.
"Nantinya Indonesia bukan hanya rugi soal cadangan migas saja tapi juga potensi laut, potensi perikanan, hasil laut dan hasil lainnya," jelas dia.
Uang triliunan Rupiah berpotensi hilang
Nilai kekayaan ini sangat besar jika dibandingkan dengan pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini yang hanya sekitar Rp 1.700 triliun.
"Jika kita kehilangan Natuna, itu dampaknya sangat berasa karena sektor migas salah satu paling besar pendapatannya. Ini merupakan ancaman besar," jelas Ketua Energi Watch Ferdinand Hutahaen.
0 comments:
Post a Comment