Katakepo.blogspot.com - TANAH Papua, wilayah paling luas di negeri ini,
memiliki banyak kisah tentang makanan, alam, dan manusianya. Tak ada
kisah yang akan utuh menuturkan tradisi bersantap Papua. Ini cerita
tentang makin pudarnya penghormatan terhadap keberagaman pangan di
Nusantara dan kisah tentang surutnya kemandirian pangan masyarakat
Papua.
Tak ada api yang tersisa, tak ada semerbak aroma rempah
yang menggantung di udara. Yang ada hanya asap tipis mengepul dari
tumpukan batu di samping hunila atau honai panjang dapur keluarga Iriana
Wetipo. Ketika memasak belum lagi dimulai, kayu yang membakar tumpukan
batu itu tinggal menyisakan abu. Hangat menyelusup di antara dinginnya
angin sore Lembah Baliem di Kampung Hepuba, Distrik Asolokobal,
Kabupaten Jayawijaya, Minggu (8/12/2013).
Maria Lokobal, mertua
Iriana, mengambil sebuah tongkat yang ujungnya terbelah untuk menjepit
dan memindahkan batu-batu panas ke dalam sebuah liang bulat. Ia menyusun
batu-batu panas itu melapisi dinding liang sedalam 70-an sentimeter.
”Inilah bakar batu, memasak dengan batu yang dibakar sampai panas,”
tutur Maria.
Magda Lokobal, adik Maria, mengambil peran lain. Ia
menaruh sepelukan daun lokop, sisika, jeleka, dan daun dari tanaman
serua pohon kapas untuk melapisi batu-batu panas. Maria dan Iriani
menyusul Magda dengan memasukkan aneka jenis ubi. Orang Hepuba
menyebutnya hupuru, orang Wamena menamainya hipere. Di daerah barat
Papua, barang yang sama disebut erom atau mbik.
Setelah hupuru,
giliran berbonggol-bonggol jagung dibenamkan di sela-sela ubi. Magda
kembali menimbun liang itu dengan sepelukan lain daun lokop. Timbunan
itu dilapisi lagi daun pisang dan setumpuk daun lokop. Maria menambahkan
garam dan menuangkan minyak goreng nabati hingga tumpukan itu nyaris
kuyup.
Tidak berhenti di situ, Magda dan Iriana kembali melapisi
tumpukan itu dengan daun pisang lebar dan daun lainnya. Agar tak ada uap
panas yang keluar dari liang, mereka melapisi lagi timbunan itu dengan
plastik bening dan kain-kain usang. Begitulah, ada berlapis-lapis bahan
yang dimasukkan untuk mengunci suhu panas batu tetap berada di dalam
liang. ”Kita tinggal menunggu, satu jam saja hupuru akan matang
sempurna. Daun-daun itu tidak sekadar melapisi batu agar ubi jalar tidak
gosong, tetapi juga memberi rasa,” kata Maria tersenyum.
Ketiga
”koki” bakar batu itu segera menghilang ke dalam hunila Iriana,
meninggalkan lubang bakar batunya yang kini menjadi gundukan kecil
dengan asap tipis mengudara. Suami Maria, Ferry Asso, tertawa melihat
wajah tetamunya digantungi aneka pertanyaan. ”Kita akan menyantap hupuru
yang lezat. Bakar batu selalu menawarkan sajian yang lebih lezat dari
sepiring nasi,” katanya.
Asso menunjuk ke pagar panjang mendaki
bukit yang memagari tiga hunila dan sebuah honai (rumah tradisional
berbentuk bulat) di kaki bukit di Hepuba itu. ”Seluruh kompleks
rumah-rumah ini kami sebut silimo. Hunila yang paling atas ini menjadi
dapur menantu saya, Iriana. Bakar batu di samping hunila dimasak untuk
santapan keluarga hunila-nya. Hunila Maria ada di bawah, dan lain hari
Maria membuat bakar batu di sana untuk santapan kami.”
Pelan
tetapi pasti, aroma yang memompa selera kian tercium dari gundukan itu.
Setelah satu jam berlalu, Iriana, Maria, dan Magda membongkar kembali
liang bakar batunya, membebaskan panas yang terperangkap timbunan
dedaunan, kain tua, dan plastik. Segenap orang di silimo beranjak
mendaki tanjakan kecil menuju hunila Iriana, merubung Maria yang
menggali puluhan ubi jalar bakar. ”Ini yang paling enak,” ujar Asso
mengambil sebuah ubi jalar berkulit ungu yang tampak kering, nyaris
serupa ubi jalar mentah.
Begitu ubi di genggaman merekah, uap
yang lebih pekat segera menebar harum. Pada gigitan pertama, sensasi
rasanya begitu berbeda. Ubi itu begitu bersih, polos, namun sungguh
pulen dan lembut hingga nyaris melumer di lidah. Rasanya manis seperti
madu dengan jejak asap yang menyusup hingga ke pori-pori daging ubi.
Maria
menyodorkan sebonggol jagung. Begitu pelepahnya terkelupas, biji jagung
yang kering langsung menebar rasa manis. ”Rasa manisnya jauh berbeda
jika jagung itu kami rebus atau kami kukus,” tutur Maria, terbahak.
Asso puas dengan bakar batu Minggu sore itu. ”Ini bakar batu yang baik, semua sajiannya matang sempurna,” tuturnya.
Dia
menjelaskan, bakar batu untuk santapan harian dengan bakar batu untuk
ritual sangat berbeda. Untuk keperluan ritual, bakar batu harus digelar
di halaman silimo Otilu. Ia menunjuk sebuah halaman yang diapit dua
hunila dan sebuah honai perang di tengahnya. Aturan bakar batunya pun
lebih ketat. Liang bakar batu biasanya bergaris tengah dua meteran yang
cukup untuk menampung setumpuk ubi dan dua ekor babi. ”Hanya daun lokop
dan lukata yang boleh dipakai untuk melapisi batu panasnya. Selain itu,
hasilnya harus dinikmati segenap keluarga yang tinggal di silimo,” tutur
Asso.
Begitulah, bakar batu di halaman silimo bukan sekadar
aktivitas memasak, melainkan bagian dari ritus. Apa yang keluar dari
liang batu bakar adalah isyarat atas doa dan harapan yang mengiringi
upacara adat. Jika semua bahan termasak sempurna, itu pertanda baik.
Jika ada bagian yang mentah, itu berarti ada sesuatu yang salah. ”Kita
harus mencari tahu. Pasti ada saja sesuatu yang salah,” kata Asso.
Sebagai
medium berkomunikasi dengan roh leluhur, ritus bakar batu diyakini
harus selalu ada dalam beragam upacara menyangkut laku hidup manusia
suku Hubula di Lembah Baliem. Bakar batu juga menjadi tradisi pokok
beratus ribu anak adat dari suku-suku lain di kawasan pegunungan tengah
Papua yang membentang mulai Kabupaten Paniai di barat hingga Kabupaten
Pegunungan Bintang di ujung timur di perbatasan Indonesia-Papua Niugini.
”Tak
ada bakar batu tanpa hupuru dan babi. Tanpa keduanya, kami tak bisa
menjalani ritus menjadi manusia dewasa, menikah, ataupun membuka kebun
yang subur. Jika seperti itu, kami bukan lagi anak adat Hubula,” tegas
Asso.