Sunday, August 4, 2013

Asal-usul sejarah legenda zombie

Zombie sebenarnya berasal dan muncul dari pulau Haiti di Karibia. Mereka adalah orang2 yang hampir mati, lalu dihidupkan kembali dari tubuh yang hampir mati tsb oleh para pendeta/dukun Voodoo (semacam ilmu ghaib / supranaturalnya suku-suku indian, tentunya ini pakai mantera-mantera). Mereka biasanya digunakan sebagai budak selama sisa sisa hidup mereka yang sangat meyedihkan. Seperti halnya manusia, zombie pun dapat bergerak, makan, mendengar, dan berbicara, namun mereka tidak memiliki ingatan dan wawasan tentang kondisi mereka.
http://anehdidunia.blogspot.com
Legenda tentang zombie telah beredar selama berabad-abad, namun baru pada tahun 1980 sebuah kasus baru didokumentasikan. Cerita ini dimulai pada thn 1962 di Haiti. Seorang pria yang bernama Clairivius Narcisse dijual kepada salah satu Dukun Voodoo oleh saudara laki-lakinya, karena Clairvius menolak menjual bagian warisannya berupa tanah keluarga. Segera saja Clairvius dibuat meninggal dan dikuburkan. Namun, sebenarnya ia tidak benar2 mati, namun malah dijadikan zombie dan diperkejakan di perkebunan tebu bersama para pekerja zombie lainnya. Pada thn 1964, setelah pemilik zombie tsb meninggal, para zombie2 itu akhirnya menyebar dan mengembara melintasi pulau dalam keadaan linglung selama kurang lebih 16 tahun lamanya sebelum mereka mereka ini ditangkap.

Dr. Wade Davis, seorang ahli etnobiologi dari Harvard University, memutuskan pergi Ke Haiti untuk meneliti kebenaran cerita tsb dan ketika tiba disana ia benar2 menemui beberapa dukun2 voodoo yang mempraktekkan cara pemuatan zombi. Intinya, buatlah mereka mati dan buatlah mereka gila, sehingga pikiran mereka dapat ditundukkan. Seringkali dukun dukun tsb secara diam diam memberikan semacam obat-obatan utk mencapai hal ini. Cara membuat mereka mati tidak seperti yang kita bayangkan, misalnya dibacok pakai celurit, atau dipukul pake benda tumpul ,dsb. Namun dengan cara yang cukup unik, yaitu dengan campuran kulit katak yang biasa disebut bufo dan ikan puffer (jadi intinya mereka ini tidak benar-benar mati, alias nyawanya masih ada). Campuran ini dapat ditambahkan pada makanan, atau dioleskan pada kulit, terutama pada kulit yang lembut dan tidak rusak dibagian dalam lengan dekat siku. Kemudian setelah beberapa menit, para korban akan terlihat seperti mati, dengan napas dan detak jantung yang sangat lambat dan lemah. Nah kalau sudah begitu, maka orang orang yang melihatnya mengira ia telah mati dan segera dikuburkan. Tapi ingat, mereka ini belum benar benar mati, mungkin hanya dukun dukun yang menyebabkan mereka seperti itulah yang benar benar mengetahui kondisi sebenarnya. http://anehdidunia.blogspot.com

Kemudian, setelah ia dikubur oleh keluarganya, para dukun harus menunggu terlebih dahulu selama kira kira beberapa jam untuk menggali dan kemudian mengambil jasadnya (tapi jangan terlalu lama karena mereka bisa mati beneran karena sesak napas didalam sana). Lalu bagaimana cara membuat mereka gila?, yaitu dengan memaksa mereka memakan sejenis pasta yang terbuat dari datura (rumput jimsons). Karena datura ini sifatnya memutus hubungan pikiran dengan realitas, dan kemudian menghancurkan seluruh ingatan yang ada.Setelah mengkonsumsi itu mereka akan kebingungan, tidak tahu ini hari apa, dimana mereka berada, bahkan dirinya sendiri ia tidak tahu. Nah, sekarang zombie yang telah berada dalam kondisi semipermanen menjadi gila, dijual ke perkebunan tebu sebagai budak pekerja. Mereka diberi datura lagi jika perasaan mereka terlihat mulai pulih. Jadi intinya, zombie yang sebenarnya itu bukan seperti yang digambarkan ddidalam game maupun film2 yang umumnya telah benar benar mati kaya vampire vampire china yang bisa bangkit kembali, berjalan , lalu kemudian dapat bergerak menyerang manusia. Hal itu salah besar, zombie yang sebenarnya adalah seperti yang aku ceritakan diatas tadi.  


lalu bagaimana analisis Kimia-nya dari Pembuatan Zombie itu?

Para dukun2 voodoo menggunakan kulit katak bufo dan ikan pufer untuk membuat seseorang menjadi zombie. Kulit katak jenis bufo itu sangat berbahaya ,terdapat beberapa kandungan kimia yang bersifat racun mematikan didalamnya, yaitu biogenetik amina, bufogenin, dan bufotoksin. Sedangan ikan puffer dikenal di Jepang dengan nama Fugo. Racunnya disebut tetrodotoksin, racun saraf yang mematikan. Efek penghilang rasa sakitnya 160.000 kali lebih kuat daripada kokain. Memakan ikan jenis ini bisa membuat Keblinger karena kandungan racunnya. Di Jepang, banyak orang orang yang mati setelah menyantap ikan jenis ini, pada umumnya toksin tsb dengan cepat menurunkan suhu tubuh dan tekanan darah, selain itu dapat menyebabkan orang yang memakannya mengalami koma.

Sedangkan datura adalah sejenis rumput jimson (nama latinnya brugmansia candida), tumbuhan ini mengandung bahan kimia atropin, hyoskiamin dan skopolamin yang apabila dikonsumsi akan menyebabkan kita kehilangan ingatan. Bahkan jika mengkonsumsinya telalu banyak, kelumpuhan dan kematian akan mendatangi kita. Orang yang memberi bahan kimia diatas haruslah cukup terampil, harus bisa memperkirakan takaran secukupnya pada manusia yang mau dijadikan zombie supaya nantinya tidak mati beneran. 


Saturday, August 3, 2013

Ahok dan Asal Usul Keberanian

Katakepo.blogspot.com - Dari mana datangnya keberanian? Entahlah. Tapi Ahok memberi bukti, seorang minoritas amat mungkin jadi pejabat yang berani menyerang tanpa pandang bulu.

Orang mungkin banyak yang kaget pada keberanian Ahok mengumbar kritik, kecaman, ancaman terhadap mereka yang dianggapnya menghalangi kerja pemerintah provinsi DKI. Kekagetan itu, setidaknya pada diri saya, boleh jadi dipicu oleh pengetahuan umum terhadap latar belakang Ahok.

Kok bisa seorang Cina dan Kristen berani melawan kandidat gubernur petahana (incumbent) yang getol mengucapkan kosa kata sektarian dan kesukuan? Kok bisa seorang Cina dan Kristen secara terbuka menantang seorang pengusaha di daerah “merah” seperti Tenabang, sekaligus seorang haji yang berkiprah di partai Islam dan didukung massa yang tidak kecil?

Saya harus membuka diri pada kemungkinan tiga paragraf di atas dirembesi oleh tendensi-tendensi rasialis.

Tendensi itu tidak untuk merayakan apalagi mereproduksi stereotipe yang banyak berkembang di masyarakat tentang warga keturunan Cina. Tendensi itu, dalam konteks tulisan ini, untuk menggeledah bagaimana persepsi dibentuk oleh stereotipe yang sudah berkembang menjadi pengetahuan umum, wacana sehari-hari, bahkan anekdot dan canda yang dengan enteng dibicarakan di warung kopi.

Dan, boleh jadi, tendensi rasialis dalam kekagetan itu dipicu oleh kondisi makin sedikitnya pemimpin dan pejabat publik yang berani. Ada pejabat publik yang berani bersikap tegas dan keras saja sudah bikin kaget, apalagi jika pejabat itu seorang minoritas?

Rasialisme dan pemaksaanSaya tidak perlu mengulang-ulang kembali kisah diskriminasi rasial yang dialami orang-orang Cina yang merantau ke tanah air kita sejak era Nusantara, era kolonial sampai pascakemerdekaan.

Kekuatan penting orang Cina di Indonesia, yaitu bidang ekonomi, sebenarnya tumbuh akibat politik rasialis. Sejak berabad-abad lalu, para perantau dari Cina dipaksa untuk tidak banyak berurusan dengan perkara di luar ekonomi.

Mereka dipaksa penguasa (dari raja-raja bumiputera sampai penguasa kolonial) untuk mau “diparkirkan” di pasar. Justru “di lahan parkir” itulah mereka akhirnya jadi kekuatan yang tak bisa disangkal. Dan itu pun berakhir dengan stereotipe yang tak enak: mereka bisa kaya karena pelit, hanya solider dengan kelompoknya sendiri, dan lain-lain, dan lain sebagainya.

Jika menjadi kaya dari berdagang pun masih dilekati stereotipe yang seringkali tak mengenakkan, padahal itu sesuai keinginan penguasa, apalagi jika menonjol di bidang-bidang yang jauh lebih beresiko? Misalnya: politikus, jurnalis, atau aktivis HAM.

Masuk ke politikMemasuki abad-20, sudah banyak orang-orang Cina yang berani muncul ke permukaan sebagai aktivis yang gigih memperjuangkan isu-isu publik.

Di era pergerakan nasional itu, tak terbilang para aktivis penulis dan jurnalis Cina yang berkiprah di panggung politik. Mereka terbagi ke dalam dua kubu utama. Kubu pertama masih berkiblat ke Cina sebagai negara asal, sedangkan kubu kedua ikut ambil bagian menyiapkan dan memperjuangkan sebuah negara bangsa yang baru di tanah rantaunya ini.

Tetapi mereka semua adalah bagian inheren sejarah pergerakan Indonesia. Peran mereka tak bisa dihapuskan, kecuali jika Anda hendak menggelapkan sejarah. Mereka punya hak yang sama untuk dicatat dalam historiografi, sebagaimana orang-orang komunis atau para aktivis Islam. Surat kabar Sin Po, Keng Po atau Sin Tit Po, sama-sama dapat tempat dalam sejarah seperti halnya surat kabar Medan Prijaji, Djawi Hisworo atau Poetri Hindia.

Karena tak mau melulu “diparkir” di pasar-pasar, para aktivis itu memutuskan ikut berjuang di lapangan politik. Aktivisme itulah yang menyebabkan mereka memiliki wakil dalam fase krusial merancang negara-bangsa Indonesia dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Ada nama-nama seperti Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, atau Yap Tjwan Bing.

Pada periode ketika politik dan ideologi jadi panglima, pascakemerdekaan sampai kejatuhan Sukarno, orang-orang Cina di Indonesia sangat aktif berpolitik. Sejarah Indonesia kontemporer tak mungkin menghapuskan nama Baperki dan Siaw Giok Tjan yang berkampanye tentang integrasi atau LPKB dengan Kristoforus Sindhunata yang gigih mengusulkan konsep asimiliasi.

Polemik dua organisasi itu sampai kini kadang masih jadi isu dalam diskusi mengenai politik identitas orang-orang Cina.

Tetapi fase subur diskusi politik dan ideologi yang krusial itu praktis hilang setelah kejatuhan Sukarno. Militansi dukungan Baperki terhadap Sukarno dan kedekatannya dengan PKI jadi salah satu isu penting yang membuat orang-orang Cina di Indonesia (dipaksa/terpaksa) mundur secara teratur dari depan layar politik Indonesia.

Kebanyakan para aktivis itu bergerak di belakang layar atau bahkan di luar sistem. Ada yang berperan sebagai think tank Orde Baru melalui pelbagai saluran (misalnya CSIS), ada juga yang memilih berjuang jauh di luar struktur dengan menjadi kritikus yang tajam seperti Arief Budiman, Christianto Wibisono atau George Junus Aditjondro.

Tapi amat sedikit yang tampil di depan layar sebagai pejabat publik, apalagi berani menentang arus secara terbuka dan terang-terangan, misalnya seperti Ong Eng Die yang menjabat sebagai menteri keuangan pada awal 1950-an.

Kebaikan mayoritas vs keberanian minoritasTanpa menafikan keberadaan politisi dan pejabat berlatar belakang etnis Cina lainnya yang berani menentang arus, Ahok memang istimewa. Berpuluh-puluh tahun setelah masa Ong Eng Die, Ahok muncul sebagai pejabat publik di Jakarta, jantung kekuasaan Indonesia.

Dan itulah kenapa Ahok jadi titik perhatian yang penting sekaligus menarik. Sedari masa pencalonan, dia sudah diserang oleh isu-isu rasial dan sektarian, dari soal isu Cina maupun isu agama.

Melalui Ahok, debat tentang SARA bukan sekadar muncul, tapi juga jadi isu pokok. Sebelum Ahok, saya sudah lupa kapan terakhir isu Cina muncul dalam debat politik terkait posisi kepemimpinan yang vital dan krusial.

Saya menganggap debat yang membawa isu rasial dan sektarian itu hal yang bagus. Setelah puluhan tahun isu SARA dibungkam sebagai tabu yang berbahaya, isu ini kembali muncul. Kemenangan Ahok menunjukkan satu hal: SARA sebaiknya tak usah ditabukan, tapi biarkan menjadi bagian debat dan diskusi.

Tak ada yang bisa mencegah dan melarang seseorang memilih kandidat berdasarkan latar belakang rasial dan agama, tapi kematangan berpolitik warga negara akan memutuskan kinerja dan kredibilitas yang akan jadi pemenang. Dan kematangan itu hanya mungkin lahir ketika tabu-tabu politik berani diangkat, dibicarakan dan dengan itu dapat dicairkan.

Boleh jadi Ahok salah dalam salah satu momen perdebatan, tapi keberaniannya adalah hal lain yang penting dicatat. Inilah momen ketika “sindrom minoritas” berhasil dilampaui. Inilah momen ketika represi mayoritas bisa dilawan bukan karena kebaikan mayoritas, tapi karena keberanian minoritas itu sendiri.

Ahok adalah bukti bahwa toleransi memang penting, tapi bukan satu-satunya faktor penentu.

Toleransi sebenarnya “wacana mayoritas”. Konsep toleransi merujuk pada “kemurahan/kebaikan hati” mayoritas untuk bertenggang rasa kepada siapa pun yang jadi minoritas. Pendeknya, toleransi mesti dibaca dengan kekuasaan sebagai konteksnya. Kekuasaan di sini bukan menyangkut struktur politik, tetapi juga konstelasi antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam pelbagai matranya, baik etnis, agama, politik atau ekonomi.

Alih-alih menunggu “kebaikan mayoritas” lewat kabut bernama toleransi, Ahok bertindak sebagai pejabat publik dengan inisiatif penting bernama keberanian.

Dan, saya percaya, keberanian itu tidak muncul sebagai berkah bawaan yang diturunkan secara genetis. Keberaniannya lahir mungkin karena keyakinan dirinya bersih dan tidak melakukan korupsi.

Di situ, Ahok tak sendiri. Dia melanjutkan apa yang sudah dilakukan pendahulunya, sebut saja Soe Hok Gie dan Yam Thiam Hien.

Soe Hok Gie orang pertama yang dengan nekat menulis secara terbuka soal pembantaian orang-orang yang diduga komunis setelah 1965. Atau Yap Thiam Hien, yang mengambil risiko jadi miskin dan terasingkan, dengan membela tersangka G30S seperti Kolonel Latief dan Soebandrio dalam persidangan Mahmilub.

Saya ingin mengutip salah satu kalimat paling indah yang saya baca dari buku legendaris John F. Kennedy, “Profiles in Courage” (Sosok-sosok Pemberani).

“Kisah-kisah keberanian di masa lalu,” tulis Kennedy, “bisa memberikan pelajaran dan menawarkan harapan serta inspirasi. Tapi kisah masa lalu tak bisa memberi keberanian itu sendiri. Untuk mendapatkannya, setiap orang harus melihat ke dalam jiwanya sendiri.”

Itulah sebabnya keberanian bukan genetis. Dia tak pandang latar belakang karena siapa pun bisa saja jadi pemberani. Karena memang orang Cina bisa saja pelit tapi bisa juga tidak. Karena seorang jenderal bisa saja pemberani tapi bisa juga tidak.

Untuk soal satu ini, saya tidak ragu. Karena keraguan hanya milik Presiden.

SoldatenKaffee dan Trauma Ke-Indonesia-an

Katakepo.blogspot.com - Jika ada yang bertemu dengan pemilik SoldatenKaffee yang mengadopsi elemen-elemen Nazi, Anda bisa bertanya sembari berkelakar: “Anda Nazi? Kok kulitnya cokelat?”

Hitler, seperti yang sudah diketahui banyak orang, bukan hanya membenci ras Yahudi, tapi juga percaya bahwa ras Arya adalah ras yang paling superior. Semua orang Eropa berkulit putih, selama tak tercampur darah Yahudi, dimasukkan Hitler ke dalam ras Arya.

Di luar itu adalah ras kelas dua. Itu sebabnya rezim fasis Jerman saat itu melarang orang-orang Jerman melakukan perkawinan antar-ras. Sekali seorang Arya kawin dengan ras lain, maka keturunannya tak lagi murni.

Pandangan Hitler terhadap ras-ras selain Yahudi tidak begitu solid. Orang kulit hitam di Jerman tidak dibenci dengan level yang sama seperti Yahudi, tapi mereka banyak juga yang dieksekusi, dijadikan subjek eksperimen ilmiah, dan dianiaya.

Bagaimana dengan orang Asia? Sama saja. Tetap dianggap sebagai ras kelas dua. Kecuali bangsa Jepang. Orang-orang Jepang di Jerman saat itu diberi status kehormatan sebagai ras Arya. Pendeknya: Arya honoris causa.

Itulah sebabnya, orang-orang kulit berwarna yang (katakanlah) senang berkumpul di SoldatenKaffee, boleh jadi akan masuk daftar pembantaian seandainya: 1) Hitler benar-benar jadi reich yang menguasai dunia dan 2) tak ada Jepang yang saat itu jadi kolega Jerman dalam mengusung ideologi fasisme.

(Tentu saja historiografi tak mengenal kata “seandainya”. Tapi, seperti yang pernah dikatakan Guru Besar Sejarah UGM Kuntowijoyo, “pengandaian” masih ada gunanya terutama untuk mempertajam perspektif kita terhadap sejarah.)

Di artikel sebelumnya, saya sudah menguraikan perspektif sejarah singkat mengapa tidak ada “tabu Nazi” di Indonesia. Saya tidak akan mengulangi perspektif yang saya pakai di artikel pertama. Anda tinggal membacanya kembali.

Kali ini, guna mempertajam argumentasi di artikel pertama, saya ingin mengatakan bahwa memang bukan pemilik SoldatenKaffee dan para pengunjung kafe itu yang berbahaya.

Toh mereka adalah orang-orang kulit berwarna — yang karenanya, dalam pandangan Hitler, tidak lebih baik dari Yahudi alias sama-sama ras kelas dua.

Dan itulah sebabnya mereka tak punya argumentasi untuk merasa lebih superior dari orang Yahudi, apalagi untuk membantainya. Jika mereka pergi ke negara-negara yang banyak dihuni kelompok neo-Nazi, mereka juga akan jadi sasaran kebencian, sebagaimana nasib semua pendatang.

Di Indonesia, tempat SoldatenKaffee berada, bukan pemilik dan pengunjung kafe itu yang menjadi ancaman bagi Yahudi atau Israel. Yang kerap menggunakan retorika anti-Yahudi justru antara lain kader-kader Partai Keadilan Sejahtera, Front Pembela Islam, dan kelompok Islam militan lainnya.

Sikap anti-Yahudi mereka kadang-kadang sukar dibedakan dengan kebencian yang membabibuta. Sedikit-sedikit menyalahkan Yahudi, sedikit-sedikit menyalahkan Israel, sedikit-sedikit menyalahkan zionisme.

Dan, bukan sekali-dua saya menemukan, kadang tak jelas lagi beda antara Yahudi, Israel dan zionisme. Pukul rata begitu saja. Mau bagaimana lagi? Orang yang enggan berpikir sering kali justru mahir menemukan alasan apa pun.

Di artikel pertama, saya menyebut SoldatenKaffee tak ubahnya seperti sebuah kartu pos bergambar fasisme. Karena di sini, di Indonesia ini, fasisme yang menggunakan simbol-simbol Nazi memang tidak ada. Fasisme Nazi tidak pernah menjadi kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia pascakemerdekaan.

Tabu Nazi adalah tabu Eropa dan trauma Nazi adalah trauma Eropa. Bukan sekadar karena korban terbesar Nazi juga terjadi di Eropa, tapi Nazi sendiri memang serupa “aib” yang jadi lubang hitam yang merongrong keagungan gagasan Pencerahan Eropa, tentang Eropa yang humanis, tentang Eropa yang beradab.

Bukan berarti saya setuju dengan pembantaian Yahudi yang dilakukan Hitler. Karena yang mati adalah Yahudi Eropa, maka kita tidak patut marah, bukan begitu.

Poinnya adalah: kita memang tidak patut mengalami trauma — apalagi jadi paranoid — untuk apa yang tidak kita alami (dalam hal ini kejahatan fasisme Nazi).

Saya menolak trauma dan paranoia terhadap simbol-simbol Nazi karena itu bukan trauma dan paranoia saya. Trauma dan paranoia tidak bisa dipaksakan, bukan?

Trauma dan paranoia saya adalah penguasa negeri ini yang membantai jutaan orang yang diduga komunis tanpa proses peradilan. Trauma dan paranoia saya adalah serbuan bersenjata terhadap orang Timor Leste dalam insiden Santa Cruz dua dekade lalu, juga terhadap orang-orang Aceh yang dibantai di masa Daerah Operasi Militer, juga terhadap orang dan aktivis Papua saat ini.

Trauma dan paranoia saya adalah militer yang dengan mudahnya membantai mereka yang bertato pada awal 1980-an dalam proyek keji Penembakan Misterius (Petrus). Trauma dan paranoia saya adalah negara yang bertindak keji pada orang-orang Islam di Talangsari, 1989, dan Tanjung Priok, 1984.

Trauma dan paranoia saya adalah massa buas nan rasis yang membakari toko-toko di Jakarta dan bahkan memerkosa perempuan-perempuan Tionghoa di jalanan pada Mei 1998.

Trauma dan paranoia saya adalah para suporter yang memukuli mobil dari kota lain atau suporter yang menyanyikan yel-yel kelompoknya saat masuk penjara gara-gara membunuh suporter lawan.

Trauma dan paranoia saya adalah mereka yang berteriak “Allahu akbar” saat membantai jemaat Ahmadiyah di Cikeusik dan membakari rumah milik umat Syiah di Sampang. Trauma dan paranoia saya adalah para laskar yang tanpa ba-bi-bu memukuli orang-orang yang makan di siang hari di bulan Ramadan.

Saya mengalami trauma dan jadi paranoid karena di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu siapa saja bisa jadi korban. Kemarin orang lain, hari ini kenalan jauh, besok mungkin saya, lusa mungkin Anda. Kita tak akan pernah tahu sampai kemudian mengalaminya. Semoga saja tidak.

Dan di hadapan kekuatan-kekuatan macam itu, apalah artinya simbol Nazi dan gambar wajah Hitler?

Saya berusaha tidak takut pada simbol, karena saya tak pernah ingin memuja simbol.

Laki-laki Mesti Peduli Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan

katakepo.blogspot.com - Kesehatan reproduksi merupakan salah satu topik penting yang mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar. Tetapi kesehatan reproduksi masih selalu dikaitkan dengan ”urusan perempuan” seperti dalam kasus KB, dan pengendalian jumlah penduduk.

Perempuan selalu jadi objek program KB hanya karena tugas dan perannya yang dianggap sebagai pihak yang menghasilkan pertambahan jumlah penduduk. Sayangnya, program KB itu kurang memedulikan pengaruh alat-alat kontrasepsi terhadap tubuh perempuan. Alat KB seperti pil, suntik, dan IUD dapat memengaruhi hormon perempuan dan kesehatannya.

Perempuan seharusnya diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik menurut dirinya. Ini bisa dilakukan jika laki-laki sudah peduli terhadap perempuan. Bagaimanapun, tanggung jawab atas kesehatan reproduksi serta perilaku seksual yang aman dan sehat tidak bisa ditanggung seorang diri oleh perempuan.

Bentuk  kepedulian laki-laki atau suami secara langsung dan tidak langsung  sebagai peserta KB adalah dengan menggunakan metode pencegahan kehamilan, seperti vasektomi, kondom serta KB alamiah.

Karena rendahnya kepedulian laki-laki terhadap kesehatan reproduksi perempuan inilah, petugas kesehatan dan tempat konseling menjadi penting dan strategis. Mereka dapat membantu peserta KB dalam menentukan sendiri mana alat kontrasepsi yang hendak digunakan. Mereka bahkan bisa memberi paradigma baru kepada laki-laki yang enggan ikut KB, sehingga berubah mendukung dan mempraktikkannya.

Mereka yang menganggap persoalan KB hanyalah urusan perempuan harus bergeser ke arah anggapan bahwa KB adalah urusan serta tanggung jawab suami dan istri. Sikap seperti inilah yang menjaga kesetiaan pasangan suami-istri.

Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari program penguatan akses kesehatan reproduksi dan seksual untuk remaja yang didukung oleh Kedutaan Norwegia dan Hivos yang melibatkan organisasi Rahima, PKBI, Pamflet dan Pusat Studi Gender dan Seksualitas UI.

Pendapatan Iklan Facebook Melonjak







TEMPO.CO, Jakarta - Facebook membukukan kinerja cemerlang pada layanan iklan mobile-nya untuk kuartal kedua tahun ini. Menurut paparan manajemen, pendapatan iklan mobile mencapai 41 persen dari total iklan.
"Pertumbuhan pendapatan iklan mobile lebih cepat empat kali dibandingkan pertumbuhan iklan dari layanan situs desktop-nya," demikian tertulis di situs Techcrunch pada Kamis, 25 Juli 2013.
Pendapatan total iklan Facebook mencapai US$ 1,60 miliar (sekitar Rp 15,4 triliun). Maka, jika dikalkulasi, pendapatan iklan desktop sekitar US$ 944 juta (sekitar Rp 9 triliun).
Dengan pertumbuhan iklan mobile yang mencapai sekitar 9 persen per kuartal, maka pada kuartal ketiga ini pendapatan iklan mobile dan desktop bakal seimbang.
Layanan mobile pada telepon seluler cerdas dan tablet menjadi semakin penting seiring dengan semakin populernya gadget dibandingkan komputer desktop dan laptop.
TECHCRUNCH | BUDI RIZA