Sunday, September 29, 2013

Perjanjian terselubung (Mafia Obat)

Katakepo.blogspot.com - Untuk menjaga persekongkolan dengan dokter langgeng, perusahaan farmasi menyediakan fasilitas menggiurkan. Bisa berupa fulus hingga mobil.

Menurut penjual obat bernama Ando, bukan nama sebenarnya, mengungkapkan perjanjian tidak tertulis itu biasa disepakati oleh perusahaan dan dokter tanpa sepengetahuan pemasar obat. Menurut lelaki asal Medan, Sumatera, ini, isi perjanjian menyebutkan dokter bersangkutan bakal memakai obat perusahaan rutin hingga waktu ditentukan.

Dia mengisahkan pengalaman seorang dokter ingin memiliki mobil baru. "Kita (perusahaan) mau menyediakan tapi ada perjanjian penggunaan obat tetap kita, bisa sebulan, sampai tahunan," kata Ando saat ditemui merdeka.com Kamis pekan lalu di bilangan Klender, Jakarta Timur. Dari tiap obat terjual, dokter bisa untung 10-20 persen.

Hal senada juga dilontarkan Rin, pemasar obat produk Amerika Serikat. Dia mengungkapkan para penjual obat asal dalam negeri biasa bermain sogok. Untuk perusahaan asing, lebih menjaga peraturan untuk menjaga reputasi perusahaan itu sendiri.

"Enggak bisa dipungkiri kalau kebanyakan pemasar obat produk dalam negeri atau lokal biasa bermain kayak gitu, seperti perusahaan Sanbe, Kalbe, atau Indofarma," ujar Rin saat ditemui di kediamannya, Cawang, Jakarta Timur.

Rin membenarkan perusahaannya ikut mensponsori penambahan keahlian dokter di luar negeri terhadap dokter memenuhi syarat. "Karena ada beberapa dokter hanya memanfaatkan untuk berlibur saja," tuturnya.

Resep beracun sang dokter

Katakepo.blogspot.com - Kondisi kesehatannya terus menurun. Berat badannya mengikis hingga 35 kilogram. Endang Sulistiyaningsih, 55 tahun, saat ini harus melakukan cuci darah dua kali sepekan di rumah sakit lantaran penyakit gula masih menggerogoti tubuhnya.

Sejak divonis menderita diabetes 13 tahun lalu, Endang sudah tidak seceria dulu. Kulit putihnya pucat. Dia harus berhati-hati mengkonsumsi jenis makanan. Endang hanya makan bubur tanpa bumbu serta sukun dan kentang rebus.

"Makanan saya semuanya dipantang, saya harus hati-hati kalau makan," kata Endang saat ditemui merdeka.com di kediamannya, Perumahan Taman Wisma Asri, Bekasi Utara, Jawa Barat, Selasa pekan lalu.

Endang menjadi korban resep dokter. Dia harus membeli obat di apotek sebuah rumah sakit tempat dokter itu bekerja. Namun saat di cek ke apotek lain, harganya jauh lebih ringan ketimbang apotek saran sang dokter.

Ando, bukan nama sebenarnya yang pernah bekerja 2,5 tahun di perusahaan farmasi nasional, mengaku memang ada kesepakatan untuk penjualan obat dengan dokter. Namun untuk harga obat, dokter tidak diberitahu. "Pemasar obat tidak bisa memberitahu secara pasti harga produknya. Sudah tercantum dalam kode etik penjual obat dan perusahaan," ujar Nando saat ditemui di bilangan Klender, Jakarta Timur, Kamis pekan kemarin.

Namun dia memberikan gambaran, harga obat tergantung tingkat keparahan penyakit pasien. Jenis obat paling mahal Ando jual biasanya khusus untuk penderita stroke, hipertensi, diabetes, jantung, dan ginjal. "Untuk ongkos sang dokter sudah diatur perusahaan, tidak bisa diketahui oleh penjual obat," tuturnya.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dr Daeng M. faqih mengatakan resep obat dari dokter memang tergantung penyakit pasien. Namun dokter harus melihat kondisi ekonomi dan memberikan resep sesuai kemampuan. "Obat di resep dokter aturannya sesuai indikasi medis pasien dan penanganannya bagaimana. Dalam menulis (resep) sesuai kemampuan pasien agar mampu terbeli," katanya ketika dihubungi melalui telepon seluler.

Dia menjelaskan dokter mesti melihat pula jika pasien berobat menggunakan asuransi, apakah obat itu termasuk dalam asuransi. Bila tidak, dokter boleh menganjurkan pembelian obat di rumah sakit atau apotek menjual jenis obat itu. "Jika memang tak dibutuhkan tapi dokter menulis resep, itu salah besar. Harus sesuai indikasi medis," ujar Daeng.


Proyek nuklir rahasia Zionis

Katakepo.blogspot.com - Pertengahan Juli 1964 Departemen Luar Negeri Amerika Serikat bersama CIA (dinas rahasia luar negeri Amerika) mengirim pesan bersama. Isinya meminta kedutaan besar negara itu di Argentina dan Israel mengecek sebuah laporan intelijen belum terverifikasi.

Kedua lembaga ini ingin mengetahui apakah Buenos Aires telah sepakat menjual kepada Tel Aviv 80-100 ton uranium oksida, kerap disebut yellowcake atau urania. Bahan ini sangat penting sebagai bahan bakar reaktor nuklir dan bila diproses lebih lanjut bisa menghasilkan plutonium bisa digunakan membuat senjata nuklir.

Washington mendapat informasi soal penjualan itu dari Inggris. London memperoleh kabar awal dari Kanada. Ketiga negara ini sangat cemas terhadap ambisi Israel memproduksi senjata pemusnah massal itu. Transaksi urania antara Israel dan Argentina merupakan bukti kuat ada sesuatu keliru, seperti dilansir majalah Foreign Policy awal Juli lalu.

Kedutaan Amerika di Argentina membenarkan soal penjualan itu sehingga Departemen Luar negeri berada di posisi kikuk. Mereka mesti menanyakan mengenai hal itu kepada Israel, namun di sisi lain harus memastikan program nuklir Israel buat kepentingan sipil.

Program nuklir negara Zionis itu amat sangat dirahasiakan. Salah satu aspek paling misterius adalah bagaimana dan di mana Israel memperoleh bahan baku membuat senjata nuklir. Pada 1960-an intelijen Amerika belum bisa meyakini program nuklir Israel bukan buat kepentingan militer. Bahkan sampai saat ini, negara Bintang Daud itu masih bungkam soal bom nuklir.

Mordechai Vanunu menjadi orang pertama dan mungkin satu-satunya berani membocorkan proyek rahasia itu. Israel telah mrmproduksi 200 bom nuklir, katanya kepada Hamaslovers sembilan tahun lalu. Karena kenekatannya ini, bekas teknisi nuklir Dimona itu sempat dipenjara 18 tahun. Sejak dibebaskan pada 2004, statusnya tahanan kota. Dia tidak boleh meninggalkan Yerusalem. Dia kini menetap di sebuah flat bersama temannya penggiat dari Palestina di Yerusalem Timur.

Cerita Argentina menjual yellowcake ke Israel masih banyak belum terungkap. Sebab Israel terus merahasiakan hal itu dan Amerika juga tetap tutup mulut soal apa yang mereka ketahui saat itu. Gedung Putih selalu bimbang menghadapi program nuklir Israel. Kalau sampai membuka apa yang diketahui atau mencurigai proyek senjata pemusnah massal itu, bakal menimbulkan persoalan diplomatik serius dengan negara-negara Arab dan bahkan Uni Soviet.

Kekhawatiran Amerika terhadap program senjata nuklir Israel sudah berlangsung sejak akhir 1960-an. Sikap itu muncul setelah CIA selama dua tahun penyelidikan berhasil menemukan bukti: Israel telah membangun fasilitas nuklir (sebuah reaktor dilengkapi infrastruktur penunjang) atas bantuan Prancis di Dimona, Gurun Negev.

Awalnya, Prancis setuju memasok bahan bakar reaktor tanpa pengawasan. Ketika Charles De Gaulle berkuasa, kebijakan Negeri Mode ini berganti. Ketika 1963 pembangunan reaktor Dimona hampir selesai, Prancis sangat membatasi kiriman uranium ke Dimona.

Sejak itu, Israel berupaya menghasilkan uranium dari kandungan fosfat, tapi proses ini terbilang mahal. Karena itu, mereka perlu sumber uranium bisa digunakan bebas tanpa diawasi pihak luar. Afrika Selatan masuk bidikan. Prancis mengakui Israel bisa memperoleh uranium dari negara lain, seperti Argentina atau Belgia. Awal 1964, Paris bertanya kepada Washington apakah israel sudah mendapatkan pemasok uranium.

Pemerintah Kanada juga tertarik dengan program nuklir Israel sejak permulaan. Ketika Perdana Menteri David Ben Gurion bertemu Perdana Menteri John Diefenbaker, 25 Mei 1961, Dimona menjadi agenda utama diskusi. Dalam pertemuan dengan Presiden Amerika John Fitzgerald Kenndey beberapa hari kemudian, Ben Gurion berjanji proyek nuklir Dimona untuk kepentingan damai. Namun, laporan rahasia disusun ahli intelijen Kanada Jacob Koop pada Maret 1964 menyimpulkan Israel telah memenuhi syarat buat memproduksi senjata pemusnah massal.

Tak lama setelah laporan ini selesai dibuat, badan intelijen Kanada mendapat informasi dari sumber belum diketahui, Argentina telah mempersiapkan pengapalan 80-100 ton yellowcake ke Israel. Akhir 1964, pemerintah Inggris telah membaca laporan intelijen Kanada itu. Ini berarti Israel memiliki pasokan uranium bebas dari pengawasan, ujar seorang diplomat Inggris. Jika bahan baku ini diproses lebih lanjut, mereka bisa menghasilkan cukup uranium untuk membuat sebuah bom atom dalam 18-20 bulan sejak awal 1964.

London segera membagi informasi intelijen ini kepada Washington. Mereka paham Kanada tidak akan memberi tahu hal itu karena Amerika juga tidak membagi hasil kunjungan mereka ke reaktor Dimona. CIA mulanya ragu, namun pada Juni 1964 Departemen Luar negeri Amerika bersama CIA memutuskan mengecek kebenaran informasi itu lewat kedutaan mereka di Argentina dan Israel. Tiga bulan kemudian, duta besar Amerika di Buenos Aires membenarkan setelah mendapat informasi dari sumber lokal. Pada 1963, Israel sudah mengatur pembelian 80 ton urania dari Argentina.

Gedung Putih akhirnya menanggapi serius hal ini. Seperti Inggris dan Kanada, Amerika sangat cemas satu saja bom nuklir Israel bisa mengancam stabilitas Timur Tengah. Untuk memastikan program nuklir itu bersifat damai seperti janji Ben Gurion, Kennedy dan Perdana Menteri Israel Levi Eshkol mencapai kesepakatan rahasia pada musim panas 1963. Israel mengizinkan ilmuwan Amerika mengunjungi reaktor Dimona. Tim pertama tiba awal Januari 1964. Namun sekarang terungkap Israel tidak mengizinkan mereka melihat semua fasilitas.

Musim gugur 1964, tidak lama setelah kontrak penjualan urania diketahui, sejumlah diplomat Amerika membahas persoalan ini dengan pejabat Argentina. Mereka tidak keberatan dengan pengiriman yellowcake ini, tapi mereka khawatir karena tanpa pengawasan.

Sebab itu, Departemen Luar Negeri Amerika meminta IAEA (Badan tenaga Atom Internasional) dibolehkan mengawasi penjualan selanjutnya lewat laporan dan inspeksi. Laksamana Oscar A. Quihillalt, direktur program tenaga atom Argentina, kelihatan bersimpati kepada Amerika. Tapi dia menegaskan kontrak itu tidak bisa dibatalkan atau diubah.

Ketika Amerika sedang mempelajari pengiriman urania Argentina ke Israel, muncul selentingan pada musim semi 1965. Perusahaan uranium Prancis di Gabon meminta izin kepada paris buat menjual yellowcake ke Israel. Prancis telah menghentikan upaya itu sejak 1963. Apakah Israel akhirnya memperoleh yellowcake dari Gabon selama 1960-an, itu masih menjadi misteri.

Yang terjadi pada pertengahan 1968, Israel mendapatkan 200 ton urania dari Belgia lewat sebuah operasi rahasia rumit dikenal dengan skandal Plumbatt. Penjualan ini melibatkan sebuah perusahaan tersohor Italia milik Mossad. Pemindahan uranium berlaku di tengah laut dari sebuah kapal kargo Eropa ke kapal angkut Israel.

Hingga kini program senjata nuklir Israel masih misterius. Seperti halnya rancangan reaktor Dimona bikinan Prancis. Di sana terdapat sebuah fasilitas bawah tanah, rahasia nuklir Israel terpenting.


Mengintip pabrik senjata biologi Israel

Katakepo.blogspot.com - Tak ada yang pernah tahu kegiatan apa saja ada di dalam sana. Para pengemudi melintas di jalan tol Tel Aviv-Rishon Litsion hanya bisa memandang sekilas ke arah bangunan besar berdiri di atas bukit pasir itu. Mereka dilarang berbelok ke arah jalan menuju tempat itu.

Bangunan itu dikelilingi tembok semen dengan sistem pengamanan superketat. Wajar saja, di sanalah lokasi Institut Riset Biologi Israel (IIBR). Lokasinya di Ness Ziona, 20 kilometer sebelah selatan Ibu Kota Tel Aviv. Ini merupakan instalasi militer paling rahasia di negara Zionis itu. Dengan sensor sungguh ketat, pers pun tidak dapat mencari keterangan soal lembaga itu, seperti dilansir surat kabar Haaretz Juni 2011.

Namun usia rahasianya hampir sama dengan umur negara Israel itu terkuak sedikit ke masyarakat. Ini terjadi setelah Mei lalu seorang pegawai IIBR bernama Avisha Klein, menggugat kantornya itu atas tuduhan diperlakukan tidak menyenangkan. Dia merupakan pegawai senior IIBR dan sudah ditempatkan di pelbagai posisi. Salah satunya masuk dalam tim mengembangkan salep untuk melindungi kulit dari gas mostar.

IIBR dibangun pada 1952 oleh Profesor Ernst David Bergman, penasihat sains Perdana Menteri pertama Israel David Ben-Guurion, dan Dr Alexander Keynan. Lembaga ini terbentuk atas perintah Ben-Gurion.

Saking rahasianya, semua informasi mengenai IIBR akan dikeluarkan harus seizin Ben-Gurion. Bahkan, pekerja di sana meminta maaf lantaran tidak bisa menunjukkan program apa saja sedang mereka kerjakan saat perdana menteri kedua Moshe Sharett berkunjung ke sana pada 1954.

IIBR memiliki sekitar 350 karyawan, termasuk 150 ilmuwan bekerja di satu atau lebih departemen. Tiap-tiap departemen ini mempunyai spesialisasi pada riset kimia atau biologi secara umum bertujuan memproduksi senjata kimia atau biologi. Sebagai lembaga strategis, IIBR bekerja sama dengan militer serta Mossad, Shin Beth (dinas rahasia dalam negeri), dan Aman (lembaga intelijen militer).

Sejumlah laporan menyebutkan IIBR menghasilkan racun pernah digunakan untuk membunuh Kepala Biro Politik Hamas Khalid Misyaal pada 1997 di Ibu Kota Amman, Yordania. Upaya pembunuhan itu dilakukan oleh Kidon, satuan pembunuh elite dalam tubuh Mossad (dinas rahasia luar negeri Israel). Usaha mereka gagal setelah obat penawar diberikan sebagai balasan membebaskan agen Mossad tertangkap.

Haaretz mengungkapkan racun produksi IIBR pertama kali dipakai Mossad untuk membunuh pemimpin PFLP (Barisan Rakyat bagi Pembebasan Palestina) Wadia Haddad pada 1977. Ia dituding bertanggung jawab atas pembajakan sebuah pesawat penumpang Israel tujuan Entebbe, Uganda, setahun sebelumnya.

cMenurut buku ditulis wartawan Israel, Aharon Klein, Mossad memasukkan racun itu ke dalam cokelat Belgia kegemaran Haddad. Seorang pejabat Irak bekerja untuk Mossad lantas membawa cokelat beracun itu kepada Haddad yang tinggal di Baghdad. Karena daya kerjanya perlahan, racun bersarang di tubuh Haddad tidak diketahui.

Kesehatannya berangsur-angsur memburuk. Setahun kemudian ia meninggal. Tim dokter merawat dia di sebuah rumah sakit di Jerman Timur mengungkapkan Haddad menderita leukemia.

IIBR juga mempunyai sebuah departemen memproduksi vaksin antisenjata biologi, termasuk vaksin anthrax. Institut (IIBR) mendapat hibah ratusan juta dolar (dari Amerika Serikat) untuk memproduksi vaksin anthrax, tulis Haaretz dalam situsnya berbahasa Ibrani. Hibah ini diberikan setelah teroris lokal di Amerika melancarkan serangan dengan virus anthrax.

Ironisnya, bukan hanya kelinci, babi, monyet, dan binatang lainnya menjadi percobaan bagi vaksin anthrax. Tentara Israel juga dikorbankan untuk menguji keampuhan vaksin buatan IIBR itu.

Ibaratnya mengintip, informasi seputar IIBR tidak mendalam. Namun itu saja sudah cukup menggambarkan betapa Israel merupakan salah satu ancaman terbesar bagi keamanan dan perdamaian dunia.

Kisah Habibie bikin pesawat melebihi 20 kali kecepatan suara

Katakepo.blogspot.com - Presiden ketiga Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie menceritakan pengalamannya dalam industri penerbangan. Ketika masih kuliah di Jerman dan tengah menyelesaikan tugas akhir sebagai syarat mendapat gelar doktor, Habibie diharuskan membuat pesawat yang kecepatannya 20 kali kecepatan suara.
"Waktu saya mau selesaikan S-3, saya merancang pesawat terbang yang terbangnya 20 kali kecepatan suara. Seperti apa pesawatnya saya tidak bisa membayangkan tapi harus dikembangkan, kalau tidak, ya tidak dapat S-3," kata Habibie di Jakarta, Kamis (26/9).
Sewaktu mengembangkan pesawat tersebut, Habibie bekerja di perusahaan kecil di Hamburg, Jerman. Singkat cerita, usai berhasil mengembangkan pesawat tersebut, Habibie langsung disuruh pulang ke Tanah Air. Dia diminta mengembangkan industri strategis di dalam negeri.
"Tidak banyak yang mengetahui saya disuruh pulang karena saya cuma gelombang ke-4 putra putri bangsa di kirim ke luar negeri," katanya.
Sesampainya di Indonesia, Habibie mulai mengembangkan industri penerbangan nasional dengan membuat pesawat N 250 yang dikerjakan hanya 20 orang. Namun harapan untuk memajukan industri strategis ini kandas ketika Habibie diangkat menjadi Wakil Presiden.
"Saya ditugaskan membuat industri strategis. Tapi waktu saya diangkat menjadi wakil presiden saya meletakkan itu semua. Saya akhirnya punya 48.000 karyawan dan USD 10 miliar aset industri saya itu membuat pesawat N-250," ceritanya.