Saturday, September 14, 2013

3 Tahun mengembara di Negeri Sakura

Katakepo.blogspot.com - Tanggal 13 Februari 2007, saya berhasil menjejakkan kaki pertama kali di Jepang, tepatnya di Nagoya, sekitar pukul 14:00 WIB atau pukul 16.00 waktu Jepang.
Perasaan yang pertama kali saya rasakan saat keluar dari pesawat dan menuju tempat pengambilan barang-barang, adalah "Japan so awesome!". Bersih dan tertata rapi. Cuaca kala itu tidak terlalu dingin karena sudah mendekati musim semi - bulan Februari.
Beberapa rekan yang ikut terbang bersama saya pun bersorak kegirangan dan boleh dikatakan norak karena ketika mereka berbicara ada asap keluar dari mulut. Tentu saja hal tersebut mematik perhatian orang-orang sekitar, apalagi kami ber-16 menggunakan jas resmi, hitam-hitam dengan kemeja putih serta dasi dan peci (kopyah) hitam. Ya, kami Tenaga Kerja Indonesia yang baru tiba di Jepang.
Setelah masuk ke area bandara, kami disambut oleh orang-orang biro yang bakal mengurusi segala hal selama 3 tahun ke depan. Saya tak henti-hentinya menoleh ke sana ke mari karena pemandangan yang saya impi-impikan sejak duduk di bangku SMA - tahun 1995 silam - telah berada di hadapan saya saat itu.
Setelah di-briefing oleh seorang team leader yang waktu itu paling mahir berbahasa Jepang, kami semua kemudian digiring masuk ke dalam sebuah bus yang sudah menunggu di luar bandara. Mini bus itu kecil tetapi bersih, wangi dan modern. Jujur, tidak pernah saya temui bus seperti itu di Indonesia. Selama perjalanan, saya dan teman-teman saling bersenda-gurau dan akhirnya satu per satu dari kami jatuh terlelap karena perjalanan yang sangat panjang.
Akhirnya sampai juga kami di sebuah daerah yang sangat asing. Desa itu bernama Shinohara. Tempat ini adalah desanya kota Hamamatsu, Shizuoka. Meski dikatakan sebuah desa, belum pernah saya melihat sebuah desa memiliki tata kota, pedestrian yang bersih, lalu lintas yang tertib, jalan yang rapi, dan bangunan-bangunan modern.
Bayangan saya tentang Shinohara adalah desa, ya, desa. Sedikit tertinggal dari daerah yang dinamakan kota. Tetapi Shinohara boleh dibilang lebih mirip kota-kota berkembang (bukan kota maju) di Indonesia daripada disebut sebuah desa.
Perkenalan dan basa-basi awal di dalam kantor biro berlangsung membosankan dan cukup lama. Namun, setelah sekitar 2 jam berlalu, akhirnya para penanggung jawab yang tak lain adalah bos perusahaan yang akan menjadi orang tua sekaligus pimpinan tempat kita bekerja mulai mengajak semua "anak-anak"nya ke luar untuk diantar ke apartemen masing-masing. Oh ya, kita ber-16 dibagi beberapa orang untuk bekerja di perusahaan yang berbeda-beda.
Kembali lagi, dalam pemikiran saya, kata apartemen adalah tempat tinggal yang mewah dan penuh dengan kenyamanan. Anggapan orang Indonesia! Namun, ternyata bagi orang Jepang kata apartemen atau disebut juga apattoo hanyalah sebuah rumah mungil dan kumuh, sedangkan istilah apartemen mewah yang dikenal oleh orang Indonesia itu pada umumnya disebut mension atau mansion dalam bahasa Jepang.
Singkat kata, saya sudah "diperkenalkan" dengan rumah tinggal baru saya dan kemudian bos mengajak saya untuk melihat dan menjelaskan jalan pulang-pergi ke perusahaan. Sekali lagi bayangan yang saya bawa dari Indonesia salah. Awalnya saya beranggapan bahwa kerja di Jepang yang serba hi-tech itu hanya tinggal duduk, pencet tombol, beres perkara. Namun, ketika saya dibawa ke pabrik dan diperlihatkan di mana tempat mesin yang harus saya operasikan nantinya, saya agak terkejut.
"Mesin apa ini!" pekik saya dalam hati.

Banyak kabel-kabel menjulur di sana-sini, barang mentah, tombol ini-itu dan banyak lagi. "Mampukah saya mengoperasikan mesin ini besok? (esok hari saya sudah harus bekerja)," batin saya.
Setelah diberitahukan jalan pulang-pergi sekaligus mesin yang harus dioperasikan dan lokasi tempat saya bekerja, sang bos yang kemudian saya panggil otou-san atau ayah itu memberikan sebuah kunci kepada saya. Dia kemudian mengajak saya ke ruangan lain dan menunjuk sebuah sepeda mini dengan keranjang di bagian depannya.
"Itu untuk kamu. Dia adalah alat transportasimu selama 3 tahun di sini," jelasnya.
Antara bingung dan tak tahu harus bilang apa, saya langsung mengucapkan, "Arigatou de gozaimasu" atau "Terima kasih banyak" dengan oujigiatau menundukkan badan sekitar 45 derajat ke depan.
Akhirnya saya disuruh pulang sendirian ke apartemen dengan mengingat serta menyusuri jalanan yang tadi. Awalnya saya agak bingung arahnya ke mana dan semuanya tampak sama. Desain rumah orang Jepang rata-rata memiliki kemiripan satu dengan yang lain. Hal itu yang membuat saya bingung dan peraturan di jalanan juga belum saya mengerti.

Dengan berbekal kenekatan, saya pun mencoba kembali menelusuri jalanan itu dengan mengingat-ingat rute yang sudah saya lalui bersama sang bos. Membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit lebih untuk saya bisa berhasil menemukan "gubuk" saya itu. Padahal pada kenyataannya, jarak antara apartemen dan pabrik hanya membutuhkan waktu kurang dari 10 menit saja. Hahahaha....





0 comments:

Post a Comment